Another Tribute. to Ve.

Masihkah kau menangis tatkala kau memandang ke lautan?
Masihkah kau menghindar dari pertanyaan tentang masa lalu itu?
Masihkah kau memimpikan nostalgia manis yang pernah membuatmu insomnia itu? Heran, bila kau bermimpi bertemu dirinya setiap malam, mengapa kau malah memilih terjaga?
Masihkah kau berubah kelam setiap hujan menerpa jendelamu?
Masihkah kau mereguk bercangkir-cangkir kopi, terduduk di kursi meja Starbucks, mengetikkan entah apa di Mac-mu?
Masihkah kau berkelana, mengelilingi dunia, dan mengatakan kau bahagia, padahal ada lubang besar di hatimu, yang membuatmu sering hanya menatap cermin di kamar mandi lamalama, dan meyakinkan dirimu sendiri, bahwa kau baik-baik saja?

Aku masih menghela napas setiap kali membaca baris-baris aksara usang itu.
Aku masih takjub, aku masih sedih, aku masih gundah.
Aku masih bertanya-tanya, untuk kemudian menahan kata-kata itu di ujung lidahku...
Semoga kau cepat bahagia.

Lelah

Aku lelah bertanya-tanya. Lelah mereka-reka. Lelah berspekulasi. Lelah menduga-duga.
Mengapa tak kau datang saja ke hadapanku?
Dan mengatakan padaku, apa yang kau pikirkan, apa yang kau rasakan?

Menulis

Menulis sama seperti berperang. Kau menyiapkan amunisi; senapan, peluru, rompi-anti-peluru, helm baja, sepatu lars. Atau terkadang hanya sebilah samurai, berkilat dan tajam. Kau menyiapkan hatimu, jiwamu, dan seketika, berondongan katakata itu menghujam. Menumbuk. Menyobek. Mencabik. Kau berlindung. Tiarap. Sesekali, ledakan itu berdentum. Kau terlonjak. Terkaget.




Menulis sama seperti bercumbu. Kau merangkai aksara menjadi kata, kata menjadi frasa, frasa menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, dan paragraf menjadi wacana. Kau menabung waktu, mengurai makna, dan mencurahkan rasa. Hingga tulisan itu lahir, dari rahim benakmu. Dan kau mengalami orgasme dashyat. Kau tergoda. Ketagihan akan candunya.




Dan, di sinilah aku. Terkekeh sambil menghirup teh. Mengais-ngais kenangan remeh dan mengaduk bongkahan gula yang perlahan meleleh.