Kereta Tidur

Titik didih tidak bergeser ke mana-mana. Suara itu hanya menandai pagi yang terlalu dini. Jejak uap air tertera di jendela dapur yang dingin ... begitulah Avianti memulai cerpen Kereta Tidur, yang menutup (dan sekaligus membuka karena dipakai sebagai judul) kumcer ini. Sekilas, baris-baris yang sedemikian sederhana itu, bagi saya justru terasa sangat mencekam: seseorang sedang memasak air di suatu pagi yang masih terlalu dini, yang masih terlalu sepi, dan seseorang itu hanya sendiri melakukan aktivitas yang demikian manusiawi, melanjutkan hidup dengan berbagai 'meskipun' atau mungkin 'seandainya' di kepalanya..

Kerapuhan seorang manusia, buat saya terletak di dalam ingatannya. Kita selalu berusaha mengenggam erat apa yang kita rasakan sebagai kebahagiaan, dan ketika kebahagiaan itu direnggut dari kita, kita merasa demikian menderita. Barangkali, ingatan itu demikian sempurna diwakili oleh tokoh Naomi, seseorang yang 'dicari selama ini', atau bahkan melalui tiket-tiket ke suatu tempat yang jauh di masa lalu (Tiket ke Tangier).. Bukankah kita semua memiliki seseorang yang selalu kita cari?

Mungkin, karena itu juga, kata Avianti, ingatan adalah jarak yang memisahkan detik ini, juga sekaligus menghubungkannya, dengan cintanya (Matahari). Avianti tidak mencoba menggambarkan bagaimana seharusnya kita menghadapi kehilangan dalam sikap yang menggurui, ia hanya menggambarkan suasana, latar, dan hal-hal biasa lainnya. Tetapi buat saya, justru hal tersebut membuat kehilangan itu menjadi terasa nyata, terasa tak terelakkan dari kehidupan ini. Lalu, apakah kita (bisa) bahagia? Tidak ada yang muluk dari pertanyaan Mesaud ke Sania (Dongeng dari Gilbraltar - kota ini sungguhan ada) tersebut, tetapi di sinilah kita berhenti sejenak. "Mesaud, aku mencintaimu," demikian Sania membalas, yang kemudian membuat Mesaud berkata lagi: “Kita tahu, kita bisa saling mencintai tapi tidak merasa bahagia."

Sejak awal membaca judul 'Kereta Tidur', saya tahu saya akan berhadapan dengan bacaan yang tidak serta-merta bisa dicerna sebagaimana beberapa fiksi dan prosa lainnya. Di semua ekspetasi saya, saya menemukan bagaimana alur cerita yang disajikan Avianti begitu menguras rasa ingin tahu saya: apa yang terjadi dengan Mesaud dan Sania? Apa yang terjadi dengan anak laki-laki yang memiliki seorang perempuan tua dalam kepalanya? Lalu, apakah kereta tidur itu? Dan apakah kita semua, bisa bahagia? 

9 dari nadira

saya selalu berpendapat, alur flash-back dalam cerita fiksi hanya akan memberi efek yang dalam, seperti hempasan gelombang di tepi pantai dan bukannya semata-semata hanya riak-riak kecil, jika digunakan untuk memperkuat karakter di dalam cerita itu. ada banyak cara dan alat yang bisa digunakan untuk ini, dan salah-satunya adalah kumparan permasalahan psikologis, yang bila disusun dengan cermat, seolah-olah bisa menghadirkan sebuah dimensi alternatif buat pembacanya: bahwa karakter dalam cerita tersebut mungkin hidup dan mengada di antara kita.

kurang-lebih seperti itu yang saya rasakan selama membaca 9 dari Nadira. yang lebih menarik lagi, Leila menyusun masa lalu itu hanya menjadi kepingan-kepingan, dan menyisakan begitu banyak ruang bagi pembaca untuk menilai, menginterpretasi, dan membayangkan berbagai kemungkinan dan tanya yang seperti tak habis-habis- dan menariknya, Leila mampu melakukan itu semua tanpa mengorbankan kelugasan imaji dan bahasa di dalamnya.

saya jatuh cinta pada Nadira sejak cerita pertama. di dalam kumcer ini (sifat dualisme buku ini - terobosan baru kalau boleh dibilang, menyebabkan beberapa ahli menyebutnya sebagai novel; tapi sesuai pengantar dalam bukunya, saya memilih menyebutnya kumcer), ketika ia mencari seikat seruni berwarna putih untuk ibunya: ibunya yang memilih mati di hari itu. mengapa mesti seruni? dan mengapa mesti berwarna putih? mengapa pula ibunya, Kemala Yunus, yang sekilas tampak bahagia dan baik-baik saja itu, memilih mati? dari sana, kita dibawa menelusuri lorong-lorong gelap dalam kehidupan Nadira, perselisihan kecilnya dengan kakaknya Nina, kehadiran yang penuh kebungkaman seorang Utara Bayu, serta di kemudian hari, lelaki yang menyodorkan tangannya ke dalam dunia Nadira: Niko. 



Leila telah mewarnai masa lalu Nadira dengan warna abu-abu yang pekat, tapi dari kepekatan dan kepelikan itu, seperti bisa kita lihat, tetap bisa menumbuhkan seorang yang kuat, yang tak serta-merta lari dari masa lalunya. Sebab, bukankah memang setiap dari kita dibuat dari masa lalu? Dan masa depan, hanyalah pertanyaan, yang seringkali tidak membutuhkan jawaban..