Monolog Lalat



Kedai itu selalu ramai setiap istirahat siang. Meskipun di sebelahnya ada satu café kopi hasil franchise dari sebuah outlet internasional, orang-orang yang berdatangan hampir selalu memesan kopi. Mulai dari kopi pahit yang sederhana sampai cappuccino atau espresso yang berbuih-buih di permukaannya.

Begitu pula aku. Aku selalu datang, mencicipi kafein sambil duduk di beranda kedai yang hanya beratapkan tenda itu, dengan bermodalkan uang beberapa ribu dan kata-kata plus senyuman yang sudah dihapal si ibu pemilik. Dan seperti biasa pula, aku akan duduk menatap langit yang biru untukku – kalau mendung biasanya aku malas datang –, menikmati suasana siang. Semuanya cukup menyenangkan, kecuali satu hal, yang akhir-akhir ini begitu mengganggu.

Tak lama, pesananku setiap istirahat siang itu pun datang. Masih mengepulkan uap panas. Tidak hanya kopi yang sampai ke mejaku, tetapi juga lalat.

Lalat. Ya, l-a-l-a-t. Kini engkau tahu, kan, apa yang membuat suasana siang ini menjadi tak nyaman?

Makhluk kecil bersayap yang berdengung setiap kali terbang itu dengan setia mengikuti aroma makanan. Kesetiaannya melebihi anjing ras apapun – pasti.

Aku tersenyum maklum. Andai saja makhluk kecil itu sedikit lebih bersih, - dan tentunya tidak membawa bakteri- , mungkin ia akan terlihat sedikit lebih lucu dan menggemaskan. Tetapi sayangnya, lalat-lalat itu terbang ke mana saja, dengan tujuan utama tempat-tempat berbau busuk, termasuk timbunan sampah. Dan bagiku, bau busuk identik dengan putrefaksi, yang menghadirkan terdakwa utama dan satu-satunya : bakteri.

Kuusir lalat-lalat itu dari meja dengan sekali kibasan.

Maaf yah, aku mengerti kau hanya bermaksud bertahan hidup. Sekadar survive. Tapi, tunggu sampai aku selesai. Setelah itu semuanya milikmu.

Tetapi lalat-lalat itu masih keras kepala, masih dengan santainya bertebaran di sekelilingku. Dengungannya seolah menegaskan kalau ia juga haus – atau apapun itu. Dan aku juga belum ingin menyerah. Akan kupastikan kopiku tetap utuh, sampai tetes terakhir. Biasanya aku selalu menang kalau adu keras kepala dengan makhluk itu.

Kuangkat cangkirku, sambil tetap menatap curiga lalat-lalat tak berdosa itu. Kuteguk perlahan.

Ouch, panas! Segera saja kuletakkan kembali cangkir itu di meja. Dan tahu-tahu, seekor lalat telah jatuh ke dalamnya. Tapi lalat itu tidak menggelepar, tidak pula mendengung-dengung untuk menunjukkan kesenangannya. Lalat itu hanya diam dan mengapung. Mengapung tapi tidak terlihat berniat terbang.

Lalat itu – mati. Mungkin karena kopinya masih panas sekali. Dan aku pun kehilangan seleraku, dan kopiku.

Aku tercengang. Oke, lat, kali ini kau menang. Aku pun bangkit, hendak pulang ke kantor. Dan saat itu, mataku langsung tertuju pada seorang pelayan yang membawa nampan berisi secangkir kopi lain. Matanya sedang mencari-cari nomor meja pemesannya, tapi aku sudah melihat lebih dari cukup.

Lalat-lalat itu, datang dan hinggap di mulut cangkit kopi. Spontan aku melirik ke cangkirku – yang sekarang juga TKP matinya seekor lalat. Kurasa aku perlu ke kamar mandi …

*
Dalam perjalanan pulang, aku membayangkan kembali lalat itu. Mendadak timbul secuil perasaan iba.

Lalat malang itu mati bahkan mungkin sebelum sempat mencicipi kopi yang sedikit pahit itu. Kopi yang pastinya menurut si lalat tidak enak sama sekali.

Diam-diam aku membayangkan kalau aku ada di posisi itu. Atau berjuta-juta orang-orang yang suatu waktu dulu pernah kukenal ternyata telah terlahir kembali sebagai lalat. Lalat yang sampai kini tak kutahu apa gunanya.

Ya, apa gunanya lalat? Sama seperti kecoa, aku tidak tahu apa manfaatnya mereka. Tapi toh mereka tetap ada. Dan aku tak mau terlahir kembali sebagai lalat dan sebangsanya….
Kuhela napas panjang. Dan telingaku kembali mendengar dengungan khas itu.
Lalat.

0 komentar: