Dingin.
Dingin pagi yang menggigil, yang membuat selimut terasa begitu nyaman.
Dingin pagi yang menghujam raga, namun juga terasa begitu hidup. Begitu menyegarkan.
Dingin pagi yang menghapus kantukku. Aku mengusap kedua lenganku, mencoba mengumpulkan sedikit kehangatan.
Panorama pagi dari balkonku selalu terlihat baru, biarpun sudah bertahun-tahun aku menghuni rumah ini. Hijaunya dedaunan, merahnya mawar, kuningnya krisan, coklatnya tanah, beningnya air, birunya langit, serta kadang-kadang, pelangi yang dibiaskan air.
Pemandangan yang seperti mengisyaratkan, di sini waktu tak beranjak… Meski hari terus terseret oleh detik, namun warna-warna yang familiar ini seperti tak lekang oleh waktu.
Dari dasar hatiku, terbersit sedikit rasa cemburu.
Karena ketidakkekalan seperti telah menjadi bayanganku semenjak aku lahir.
Aku tak menyesalinya, hanya…aku hanya ingin bisa terus bersamanya… memeluknya dari belakang tiap bangun pagi, melihat senyumnya, dan mengucapkan selamat pagi yang pertama untuknya…. Melihatnya terlelap setiap malam, menggenggam jemarinya, dan mengucapkan harap agar kami dapat bertemu dalam mimpi… melindunginya dari kepahitan dunia, merasakan tawanya menerpa hatiku.. merasakan.. Ah! Kutepis sedih ini. Di hari terakhir ini, ia tak boleh melihat air mataku.
Maafkan aku, sayang.. aku tak pernah berharap kau bisa mengerti. Tapi aku ingin kamu tau, 18 bulan terakhir ini adalah masa paling indah dalam hidupku…
Aku telah menyerah. Bukan karena aku lelah berperang dengan dunia yang tak adil ini. Bukan karena aku tak mencintainya lagi…
Aku hanya tak bisa melihatnya menderita karenaku…untukku….
Ia telah meninggalkan semua miliknya untukku. Dan aku akan mengembalikannya… utuh. Ia seharusnya berada bersama keluarga yang mencintainya…bukan dengan seorang pesakitan…
Karena tidak ada tempat di dunia ini, untuk cinta kita, sayang….
*