rumah baru

lately blogger ga bisa diakses di kantor.
jadi sementara, rumah ini pindah ke

http://selusinpuisi.wordpress.com

mungkin sementara, mungkin selamanya. siapa yang tahu?

dermaga

Semuanya berawal dari matahari
Yang melabuhkan cuaca dan musim di dermaga
Tatkala angin, membisikkan pengharapan pada layar-layar
Menjauh pelan-pelan hingga akhirnya
Tak terlihat lagi

Di dermaga hanyalah jejak-jejak yang berlawanan arah
Kapal-kapal yang kembali menerawang
Tetap saja tak seperti dermaga
Merindui daratan hijau di seberang sana…

-2003-

kapal kertas

1.
bocah-bocah melayarkan kapal kertas
begitu do’a yang terhimpit pada
layar, membelah arus
lalu tambatan akhirnya tertinggal di belakang
entah dengan bocah,
atau harapan
dan para penyongsong di seberang

“ semoga kamu sampai…”
tetapi hanya sebatas hari yang tak selesai
dan tatapan tengadah berlama-lama

memberikan padaku , aku yang lain lagi….

2. 

kapal kertas yang sekarang basah, di bawah terik
cuma sekadar bayangan samar
bertumpu pada laut yang gejolak…
terombang di antara sauh dan layar
***
Langit cuma sebatas laut yang biru
memanen asa, kecewa
menyalahkan  pandangan di depan sekali lagi
hanya hari yang tak kunjung selesai…

-2002-

Tepi Laut Biru

aku duduk di haribaan pasir bersama hari,
ketika air laut bertaut
penuh kerinduan
berbagi cahaya dalam terbit mentari pagi abadi

aku bersuka menyambut ombak berpulang,
memecah berderai
mengirimkan buihnya padaku lagi

tapi aku tak’kan takut melambai,
seandainya keindahan ‘kan tiada riak
gelombang kenangan

ke langit utara arus membawa pergi laguku
begitu jauh dan tersiksa
namun masih sempatkan sebelum ombak melarutkan
‘Aku ingin pulang,’ katanya….


-2001-

hawa


"pergilah,
sebelum Tuhan
tiba," engkau meminta. 

di atas eden, 
mendung menawarkan 
sedih, 
juga daun-daun zaitun 
yang gugur. 
betapa kita, tergoda untuk 
selalu 
jatuh. 

mungkin akan ada
tujuh puluh puisi, 
masa lalu yang tak hilang, 
dan iman 
yang asing. 

tapi pada 
sekerat apel 
yang tak menjadi 
barangkali juga akan kita
pahami: kita berdosa, maka kita ada. 

dongeng cahaya

cahaya pada 
dinding, bayang-bayang sepasang lengan
yang bersentuhan
ialah siluet yang tak selesai 

sebab 
dunia ini, katamu, dipenuhi orang-orang
yang ingin saling
melupakan 

di latar
sebuah tebing dingin, 
sesaat sebelum tuhan meletakkan keesaannya 
tak ada kematian siapa-siapa
hanya masa lalu 
separuh ilusi, 
separuh perpisahan 
lalu engkau 
menjatuhkan 
diri

masa lalu, ternyata, 
ialah juga waktu 
di antara orang-orang itu, kataku,
kita mungkin hanyalah sepasang orang
asing yang tak tahu
caranya melupakan. 

the random

secangkir kopi. secangkir segalanya. ia meneguk segalanya itu tanpa ragu, tanpa berhenti. 

dari pojok cafe, tinggal cahaya yang berwarna kekuningan, suhu ruangan yang diatur sehingga mencapai sekitar 20 derajad celcius, dan orang-orang yang berbincang dengan suara rendah. sebuah jendela kaca besar di sisi kirinya memungkinkannya melihat segala yang lain, di luar sana: malam yang gelap, cahaya lampu mobil yang melaju kencang, juga      gedung-gedung pencakar langit lainnya yang menjulang dingin. 

gedung-gedung tinggi membuatnya ketakutan sedikit, terutama setiap dia melongok ke bawah. ia gemar membayangkan dirinya terjatuh; bukan dalam sebuah upaya bunuh diri - ia sungguhan menentang ide-ide bunuh diri- melainkan dalam sebuah kecelakaan. bayangan-bayangan seperti itulah yang juga telah mengantarkannya mengunjungi tebing-tebing tinggi dan tempat-tempat bungee-jumping. ia memikirkan banyak hal ketika sedang menjatuhkan diri: seperti inikah rasanya jatuh dan mencintai? atau, seperti inch terjatuh dengan kecepatan yang sangat tinggi, yang tak bisa kita kendalikan? 

dua tahun yang lalu, idolanya memutuskan untuk membunuh diri. idolanya itu, meloncat dari apartemennya di lantai 30 sebuah gedung bergengsi. berbagai koran meliput berita tersebut, menjadikannya topik-topik di halaman pertama. televisi menayangkan duka-cita itu besar-besaran, dan beberapa bahkan menghadirkan orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai teman dekat si korban. ia merasa gamang, dan tersesat: bagaimana bisa orang yang memiliki segalanya di dunia ini, seperti idolanya itu, memutuskan untuk mengakhirinya begitu saja? dan terutama, ia bertanya-tanya: dalam perjalanannya menemui maut, apakah yang ia pikirkan? apakah yang ia kenangkan? apakah yang terlintas di benaknya? bahkan mendaki tebing dan menjatuhkan diri melalui bungee-jumping, ia tahu tak akan menjawab pertanyaan itu. 

kopinya sudah habis. ia menatap lagi gedung-gedung pencakar langit di seberang sana. gedung-gedung itu bercahaya; seperti kunang-kunang. kunang-kunang yang melayang bergerombol dan mencari entah apa. jika satu titik cahaya itu melambangkan kesepian dan titik cahaya lainnya melambangkan sebuah jiwa manusia, dan seterusnya dan seterusnya, lebih banyak mana: kesepian atau jiwa-jiwa manusia? 

ia berdiri: menempelkan wajahnya ke kaca jendela. jejak-jejak uap. ia tersenyum. 
dan berjalan mundur beberapa langkah. berlari. dan menerobos kaca jendela itu. 

waktu berhenti. 

hening yang lama. 
.
.
.
.

*sebuah upaya gagal mengetik sebuah cerita random tanpa menggunakan backspace. i need to practice more. 




Seekor Anjing Mati di Bala Murghab

Seekor anjing mati di Bala Murghab. Demikian judul antologi ini, dan barangkali seketika itu juga pertanyaan itu muncul: memang kenapa dengan seekor anjing yang mati di Bala Murghab? Apakah anjing itu milik seseorang dan seseorang itu sangat menyayanginya? Atau anjing ini ternyata metafora untuk hal-hal yang lain? Di manakah Bala Murghab itu?

Bala Murghab, seperti juga Gilbatar-nya Avianti Armand (dalam antologi Kereta Tidur), adalah desa yang sungguhan ada. Terletak di Afganistan, sebuah negara yang tahun 2010 lalu jatuh ke dalam konflik peperangan, desa ini juga menjadi salah satu basis militer AS (koreksi jika saya salah). Karena itu, dalam ceritanya, Linda menuturkan bagaimana seorang prajurit menembak seekor anjing, dan bagaimana tokoh utamanya, seorang yang barangkali juru kamera dengan banyak tanggungan, ditempatkan dalam konflik psikologis; tentu masih dengan gayanya yang khas: anti-dogmatis. Linda tidak menghadirkan begitu banyak cerita yang melatari si tokoh utama itu, tidak pula menghadirkan bagaimana seseorang seharusnya bertindak; seekor anjing kesayangan seorang anak lelaki bernama Alef telah ditembak mati, dan dunia tidak berhenti untuk Alef atau siapapun untuk turut bersimpati.. Ini kenyataan hidup, dan Linda tidak melakukan apapun untuk memperbaikinya kecuali hanya dengan menuturkannya dengan gaya pengamatannya yang khas seorang jurnalis.

Dari Afganistan kita dibawa mengarungi beberapa belahan dunia lainnya; Jepang, Jerman, Maroko.. dan barangkali mungkin Aceh dan beberapa daerah lain di Indonesia, seperti melalui cerita Zakaria dengan azimat kucingnya, juga catatan tentang Luta, seorang manusia yang berusia 350 tahun. Yang patut dicatat tentang Catatan Tentang Luta ini, adalah keluwesan Linda bermain-main di perbatasan fiksi-non fiksi. Cerita pendek terakhir ini memang lebih terkesan sebagai sebuah artikel dibandingkan fiksi; dan meski pada akhirnya saya menemukan diri saya bertanya-tanya apakah Luta itu sungguhan ada, saya juga sadar; tidak penting apakah cerita itu berdasarkan data aktual atau tidak.

Meski Linda banyak menempelkan twist dan perasaan 'sendiri' dan mungkin pada tingkatan tertentu 'terasing', seringkali Linda tidak menutup cerita dengan suatu konklusi yang pasti. Anehnya, cerita-cerita Linda memang tidak membutuhkan konklusi itu, dan sedikit-banyak, saya rasa, itulah yang membuat saya ketagihan dan ingin membaca lagi dan lagi, sebab di setiap pengalaman membaca itu, saya menemukan banyak kemungkinan alur cerita yang terbuka itu. Sata catatan pengecualian barangkali, ada pada cerita Perpisahan. Seorang lelaki bernama Hans dan seorang tokoh tak bernama bertemu di Jerman, dilatari cuaca dingin dan nostalgia. Benar-benar pengalaman yang membuatmu tak ingin sendiri, di dunia yang luas ini. Saya tak akan berbagi kesimpulan cerita itu di sini, tapi saya bisa menceritakan sedikit: buat saya, tak ada cerita tentang perpisahan yang semanis dan sekaligus segetir itu. Perpisahan, ternyata tak lebih dari segumpalan masa lalu yang tercekat di suatu tempat dan lalu membeku di sana.

Dibandingkan Rahasia Selma atau Kuda Terbang Maria Pinto, kumcer di sini menurut saya kalah kelas. Tapi ini berasal dari pendapat seorang yang melankolis, yang lebih menyukai kisah-kisah tragis dan romantis, dibanding satire atau cerita-cerita tentang konflik politik. Bila Anda menyukai Linda Christanty seperti saya, Anda pasti masih akan tetap menemukan penawar bagi kerinduan terhadap karya-karya fiksi yang berkualitas melalui antologi ini.

Kereta Tidur

Titik didih tidak bergeser ke mana-mana. Suara itu hanya menandai pagi yang terlalu dini. Jejak uap air tertera di jendela dapur yang dingin ... begitulah Avianti memulai cerpen Kereta Tidur, yang menutup (dan sekaligus membuka karena dipakai sebagai judul) kumcer ini. Sekilas, baris-baris yang sedemikian sederhana itu, bagi saya justru terasa sangat mencekam: seseorang sedang memasak air di suatu pagi yang masih terlalu dini, yang masih terlalu sepi, dan seseorang itu hanya sendiri melakukan aktivitas yang demikian manusiawi, melanjutkan hidup dengan berbagai 'meskipun' atau mungkin 'seandainya' di kepalanya..

Kerapuhan seorang manusia, buat saya terletak di dalam ingatannya. Kita selalu berusaha mengenggam erat apa yang kita rasakan sebagai kebahagiaan, dan ketika kebahagiaan itu direnggut dari kita, kita merasa demikian menderita. Barangkali, ingatan itu demikian sempurna diwakili oleh tokoh Naomi, seseorang yang 'dicari selama ini', atau bahkan melalui tiket-tiket ke suatu tempat yang jauh di masa lalu (Tiket ke Tangier).. Bukankah kita semua memiliki seseorang yang selalu kita cari?

Mungkin, karena itu juga, kata Avianti, ingatan adalah jarak yang memisahkan detik ini, juga sekaligus menghubungkannya, dengan cintanya (Matahari). Avianti tidak mencoba menggambarkan bagaimana seharusnya kita menghadapi kehilangan dalam sikap yang menggurui, ia hanya menggambarkan suasana, latar, dan hal-hal biasa lainnya. Tetapi buat saya, justru hal tersebut membuat kehilangan itu menjadi terasa nyata, terasa tak terelakkan dari kehidupan ini. Lalu, apakah kita (bisa) bahagia? Tidak ada yang muluk dari pertanyaan Mesaud ke Sania (Dongeng dari Gilbraltar - kota ini sungguhan ada) tersebut, tetapi di sinilah kita berhenti sejenak. "Mesaud, aku mencintaimu," demikian Sania membalas, yang kemudian membuat Mesaud berkata lagi: “Kita tahu, kita bisa saling mencintai tapi tidak merasa bahagia."

Sejak awal membaca judul 'Kereta Tidur', saya tahu saya akan berhadapan dengan bacaan yang tidak serta-merta bisa dicerna sebagaimana beberapa fiksi dan prosa lainnya. Di semua ekspetasi saya, saya menemukan bagaimana alur cerita yang disajikan Avianti begitu menguras rasa ingin tahu saya: apa yang terjadi dengan Mesaud dan Sania? Apa yang terjadi dengan anak laki-laki yang memiliki seorang perempuan tua dalam kepalanya? Lalu, apakah kereta tidur itu? Dan apakah kita semua, bisa bahagia? 

9 dari nadira

saya selalu berpendapat, alur flash-back dalam cerita fiksi hanya akan memberi efek yang dalam, seperti hempasan gelombang di tepi pantai dan bukannya semata-semata hanya riak-riak kecil, jika digunakan untuk memperkuat karakter di dalam cerita itu. ada banyak cara dan alat yang bisa digunakan untuk ini, dan salah-satunya adalah kumparan permasalahan psikologis, yang bila disusun dengan cermat, seolah-olah bisa menghadirkan sebuah dimensi alternatif buat pembacanya: bahwa karakter dalam cerita tersebut mungkin hidup dan mengada di antara kita.

kurang-lebih seperti itu yang saya rasakan selama membaca 9 dari Nadira. yang lebih menarik lagi, Leila menyusun masa lalu itu hanya menjadi kepingan-kepingan, dan menyisakan begitu banyak ruang bagi pembaca untuk menilai, menginterpretasi, dan membayangkan berbagai kemungkinan dan tanya yang seperti tak habis-habis- dan menariknya, Leila mampu melakukan itu semua tanpa mengorbankan kelugasan imaji dan bahasa di dalamnya.

saya jatuh cinta pada Nadira sejak cerita pertama. di dalam kumcer ini (sifat dualisme buku ini - terobosan baru kalau boleh dibilang, menyebabkan beberapa ahli menyebutnya sebagai novel; tapi sesuai pengantar dalam bukunya, saya memilih menyebutnya kumcer), ketika ia mencari seikat seruni berwarna putih untuk ibunya: ibunya yang memilih mati di hari itu. mengapa mesti seruni? dan mengapa mesti berwarna putih? mengapa pula ibunya, Kemala Yunus, yang sekilas tampak bahagia dan baik-baik saja itu, memilih mati? dari sana, kita dibawa menelusuri lorong-lorong gelap dalam kehidupan Nadira, perselisihan kecilnya dengan kakaknya Nina, kehadiran yang penuh kebungkaman seorang Utara Bayu, serta di kemudian hari, lelaki yang menyodorkan tangannya ke dalam dunia Nadira: Niko. 



Leila telah mewarnai masa lalu Nadira dengan warna abu-abu yang pekat, tapi dari kepekatan dan kepelikan itu, seperti bisa kita lihat, tetap bisa menumbuhkan seorang yang kuat, yang tak serta-merta lari dari masa lalunya. Sebab, bukankah memang setiap dari kita dibuat dari masa lalu? Dan masa depan, hanyalah pertanyaan, yang seringkali tidak membutuhkan jawaban..

the wall between us



sebuah monolog
dan dinding muram, 
setelah kau, cinta hanyalah
fresco 
yang tak menyunyikan apa-apa










image source: kaboodle.com

first of may





the fragrance in your hair
spring time
somewhere 


*image source: erywijaya.wordpress.com

segalanya

3 menit sebelum badai:
seekor kepompong
dan daun murbei,
mungkin juga
segalanya

sampai maut memisahkan

'selamanya',
hanyalah ingatan
yang kudus
pada sebuah epitaf
yang meminta
aku ingin menjadi tua, bersamamu...