Seekor Anjing Mati di Bala Murghab

Seekor anjing mati di Bala Murghab. Demikian judul antologi ini, dan barangkali seketika itu juga pertanyaan itu muncul: memang kenapa dengan seekor anjing yang mati di Bala Murghab? Apakah anjing itu milik seseorang dan seseorang itu sangat menyayanginya? Atau anjing ini ternyata metafora untuk hal-hal yang lain? Di manakah Bala Murghab itu?

Bala Murghab, seperti juga Gilbatar-nya Avianti Armand (dalam antologi Kereta Tidur), adalah desa yang sungguhan ada. Terletak di Afganistan, sebuah negara yang tahun 2010 lalu jatuh ke dalam konflik peperangan, desa ini juga menjadi salah satu basis militer AS (koreksi jika saya salah). Karena itu, dalam ceritanya, Linda menuturkan bagaimana seorang prajurit menembak seekor anjing, dan bagaimana tokoh utamanya, seorang yang barangkali juru kamera dengan banyak tanggungan, ditempatkan dalam konflik psikologis; tentu masih dengan gayanya yang khas: anti-dogmatis. Linda tidak menghadirkan begitu banyak cerita yang melatari si tokoh utama itu, tidak pula menghadirkan bagaimana seseorang seharusnya bertindak; seekor anjing kesayangan seorang anak lelaki bernama Alef telah ditembak mati, dan dunia tidak berhenti untuk Alef atau siapapun untuk turut bersimpati.. Ini kenyataan hidup, dan Linda tidak melakukan apapun untuk memperbaikinya kecuali hanya dengan menuturkannya dengan gaya pengamatannya yang khas seorang jurnalis.

Dari Afganistan kita dibawa mengarungi beberapa belahan dunia lainnya; Jepang, Jerman, Maroko.. dan barangkali mungkin Aceh dan beberapa daerah lain di Indonesia, seperti melalui cerita Zakaria dengan azimat kucingnya, juga catatan tentang Luta, seorang manusia yang berusia 350 tahun. Yang patut dicatat tentang Catatan Tentang Luta ini, adalah keluwesan Linda bermain-main di perbatasan fiksi-non fiksi. Cerita pendek terakhir ini memang lebih terkesan sebagai sebuah artikel dibandingkan fiksi; dan meski pada akhirnya saya menemukan diri saya bertanya-tanya apakah Luta itu sungguhan ada, saya juga sadar; tidak penting apakah cerita itu berdasarkan data aktual atau tidak.

Meski Linda banyak menempelkan twist dan perasaan 'sendiri' dan mungkin pada tingkatan tertentu 'terasing', seringkali Linda tidak menutup cerita dengan suatu konklusi yang pasti. Anehnya, cerita-cerita Linda memang tidak membutuhkan konklusi itu, dan sedikit-banyak, saya rasa, itulah yang membuat saya ketagihan dan ingin membaca lagi dan lagi, sebab di setiap pengalaman membaca itu, saya menemukan banyak kemungkinan alur cerita yang terbuka itu. Sata catatan pengecualian barangkali, ada pada cerita Perpisahan. Seorang lelaki bernama Hans dan seorang tokoh tak bernama bertemu di Jerman, dilatari cuaca dingin dan nostalgia. Benar-benar pengalaman yang membuatmu tak ingin sendiri, di dunia yang luas ini. Saya tak akan berbagi kesimpulan cerita itu di sini, tapi saya bisa menceritakan sedikit: buat saya, tak ada cerita tentang perpisahan yang semanis dan sekaligus segetir itu. Perpisahan, ternyata tak lebih dari segumpalan masa lalu yang tercekat di suatu tempat dan lalu membeku di sana.

Dibandingkan Rahasia Selma atau Kuda Terbang Maria Pinto, kumcer di sini menurut saya kalah kelas. Tapi ini berasal dari pendapat seorang yang melankolis, yang lebih menyukai kisah-kisah tragis dan romantis, dibanding satire atau cerita-cerita tentang konflik politik. Bila Anda menyukai Linda Christanty seperti saya, Anda pasti masih akan tetap menemukan penawar bagi kerinduan terhadap karya-karya fiksi yang berkualitas melalui antologi ini.