Life and Lesson




6 years ago,
I was this little boy, who taught he has planned his entire future well.
I was this little boy, who taught that he has had the world, on his hand.

6 years ago,
I let my pride get in the way.

Then time passes by.
It changes everything. Me, my family, my hometown, and everything from my past.
It is, indeed, unavaoidable, for we live in a perishable world, where impermanence has become its second name.

6 years ago,
I failed, I fell, once.
Once, and I would remember it for the rest of my life.
The valuable lesson taught me one good thing - called mistake.

6 years ago,
I taught I have learnt my lesson.

And now,
Everything comes back, pieces to pieces.
So many what if.
So much pain.
So much things have happened, without even letting me have the opportunity to think, or to enjoy... Like the ice-cream in your hand, and you're competing with time before it melts away and you get nothing.

Yet now,
I dont think I am mature enough...

(lagi) tentang hujan




Seorang teman pernah mengirimkan SMS:

Jika nanti hujan deras, cobalah kamu keluar

Hitung dan rasakan

Titik-titik air hujan yang banyak itu jatuh dari langit


Sebanyak itulah aku bersyukur telah mengenalmu

sampai saat ini.


Hari ini, dan hari-hari kemarin, hujan terus berjatuhan. Membuat bumi basah. Membuat jalanan kuyup. Aku teringat temanku itu, lalu kukirim SMS:

Aku sedang menatap hujan. Menghitung rinainya.
Mungkin dengan begitu, aku bisa lebih mengerti..

Dia pun mengirimkan balasan:

Adakah bayangan wajahku di antara percikan air hujan?
Hujan, ajarkan aku arti kasih yang sesungguhnya
A
ngin, katakan padanya aku sangat merindukannya


Dan aku, tercenung. Masih menatap hujan itu, terus menghujam bumi.. Betapa inginnya aku mengurai benang kusut ini. Betapa inginnya aku berhenti berlari..

Payung Biru: Prekuel..


dedicated to. KL.

Pagi itu, hujan turun. Rinainya beramai-ramai menghujam bumi. Kelabu. Pucat. Suram. Melarikan sinar matahari, dan berkompromi menciptakan pelangi, nanti. Dingin. Menggigil. Tak ada yang luput dari basah di luar sana. Jalanan, taman, gedung. Kuyup. Sendiri.

Dari balik jendela yang mengabur, aku menatap semua pemandangan itu. Diam-diam, jauh di dalam hati, aku merasa beruntung. Beruntung karena aku kini berada dalam dekapan seseorang yang mencintaiku, dan yang kucintai. Dekapan hangat, yang menjadikan dingin tak berarti. Dekapan erat, yang menjadikan sepi tak bermakna. Dekapan sederhana, yang menjadikan waktu cemburu.

Pagi itu, hujan turun. Meski matahari tak terlihat di langit, dalam semesta kecilku ada sebuah matahari yang masih tetap bersinar. Dan semoga aku juga menjadi matahari di harinya...

Napasnya naik turun. Begitu teratur. Seperti simfoni. Seperti surga.
Lalu ia terjaga. Matanya mencari-cari diriku. Mengisyaratkan kangen, setelah semalaman tidak saling bersua dalam alam nyata. Entah dalam mimpinya, karena dalam mimpiku, yang kulihat hanya dia...

"Hai," aku menyapanya.
Ia tersenyum. Bola matanya membulat, dan berbinar.
"Selamat pagi..."
"Pagi.."
"Hujan.."
"Ya.."

Tidak perlu payung biru. Tidak perlu jas hujan. Hanya perlu berada di sampingku. Di sini. Sekarang. Dan Selamanya.