Berasa ABG

Apakah perasaan membuncah yang kurasakan setiap mendapati sedang memandangiku, hanya kurasakan sendiri?
Apakah sensasi terbakar di wajahku, yang menciptakan warna merah untuk kemudian kau lihat, hanya terjadi padaku?
Apakah pemikiran bahwa dirimu memang sedang menatapku, hanya khayalan dan imajinasi konyol belaka?

Dan masih ada beribu-ribu APAKAH yang berseliweran di kepalaku. Begitu banyak pertanyaan yang jawabannya hanya sesederhana 'YA' atau 'TIDAK', tetapi mendadak selalu terasa konyol. Selalu tak bisa kuyakinkan diriku sendiri, bahwa jawaban darimu memang 'YA'. Membuatku kian nelangsa, kian senewen, dan kian ingin bertanya.

Meski begitu, Engkau tahu, diriku ini sedang menahan lidahku untuk tidak melontarkan abjad-abjad memalukan itu tatkala dirimu berada di dekatku, menanyakan kabarku, atau sekadar bertegur sapa. Kepiting rebus memang enak. Tetapi kalau wajahmu mendadak merah seperti kepiting rebus? Jangan tanya.

Jangan tanya. Jangan tanya. Jangan tanya.
Diulang tiga kali. Biar mantap.

Karena itu, aku akan hanya menunduk. Bukan karena tersipu. Bukan karena malu, mendadak menjadi ABG kembali.
Tetapi lebih karena aku menyerah pada substansi yang kau sebut sebagai CINTA, melalui binar-binar matamu.

Apakah binar-binar itu juga untukku?
@#$%^&*!!

Aku Ingin Tidur Saja

Aku menghela napas. Panjang.
Untung Oma tidak berada di sini sekarang. Kalau tidak, ia pasti akan menceramahiku. Anak kecil kok menghela napas panjang, seperti ada masalah besar saja. Ya, bagi Oma, anak kecil sepertiku bahkan belum benar-benar tahu, apa yang namanya masalah besar itu.

Kulemparkan pandangan ke luar jendela. Jalanan berdebu. Orang-orang tampak penat. Sebagian lainnya tampak lusuh dan tak bersemangat. Langit sama kusamnya. Abu-abu. Monokrom. Membuatmu segera merogoh tas atau ranselmu untuk mencari benda yang bernama payung.

Sesungguhnya, aku bukan punya masalah besar. Aku hanya punya beban berat, yang serasa menghimpit dadaku. Beban yang kadangkala kupikir hanyalah efek dramatisasi diriku sendiri, berkat sisi melankolis yang demikian kental mengalir dalam darahku.

Aku menghela napas lagi. Melemparkan pandangan ke jendela lagi.
Terasa lebih mudah untuk menghakimi orang lain daripada diri sendiri, bukan?
Entahlah. Aku ingin tidur saja.

Hingga Saatnya Nanti




Tidakkah kau ingin berhenti dari langkahmu yang tergesa untuk menerobos masa lalu? Tidakkah kau ingin berjenak dalam dirimu sendiri, yang selalu tergopoh dan tak berdaya ketika memikirkan dirinya?


Sudahlah. Lupakan dia. Lupakan masa lalumu. Ingat, kau terlalu berharga untuk disia-siakan oleh dirimu sendiri. Kau terlalu bermakna untuk seseorang di masa depanmu.


Maka, berteriaklah. Setelah itu, kemas dirimu kembali. Simpan dirimu kembali. Hingga saatnya nanti.
*picture courtesy of http://www.batailley.net/images/20090406075600__mg_5306.jpg, Sunset After the Rain