Label

"Aku ini siapamu?"
Aku menoleh, dan mendapatinya tengah menatapku. Ada rasa heran yang menyumpal di mulutku. Membuat aksara serasa melayang, dan kata-kata tak jua terucapkan. Dan ia masih menanti jawabanku.
Sebentar. Ijinkan aku berpikir.
Dia adalah rindu yang kukulum terlalu lama, hingga menyisakan rasa nyeri. Seperti permen karet yang mula-mula manis, lalu akhirnya berganti menjadi tawar. Sedikit pahit, malah. Kalau begitu, dia itu rindu, atau nyeri?
Dia adalah melankoli sentimentil, yang membuat malam yang merayap terasa nelangsa, semata karena rasa sepi terasa begitu menggerogoti. Dan fajar yang menyingsing mengundang senyum, terutama ketika aku memikirkan dirinya yang pasti sedang memikirkan diriku. Mungkinkah dua hati berpagut dalam alam relativitas yang tak menjejak nyata? Kembali, kalau begitu, dia itu rasa nelangsa, atau rasa bahagia?
Dia adalah rangkaian kata-kata yang tak teraksarakan. Tetapi sanggup membuat jemariku menari di atas keyboard komputer, atau menggerakan pena di atas coretan kertas. Untuk kemudian memaksaku menekan tuts backspace lama-lama dan menggumpalkan kertas itu ke dalam tong sampah. Kalau begini, dia itu inspirasi, atau masalah?
Aku tersenyum. Lalu merangkulkan lenganku ke bahunya.
Dia satu-satunya bagiku? Tidak juga. Karena dia menghadirkan begitu banyak paradoks.
Atau segalanya, bagiku? Tidak juga. Aku ingin dia hidup, walaupun tanpa diriku. Dan aku bisa hidup, walaupun tanpa dirinya.
"Kenapa kau begitu menginginkan label?" Aku mendengar diriku sendiri bersuara.
Dan persis yang kuduga, ia mendelik. Aku tersenyum lagi. Kali ini dengan harapan, semoga dia mengerti. ;-)

Dense Cloud, Fuzzy Rain..

雲深深雨濛濛Dense Cloud, Fuzzy Rain
song by Ruby Lin..
清楚的是眼淚 濛濛的是雨水 what’s obvious is tears, what’s fuzzy is the rain drop..

清楚的是心碎 濛濛的是離別 what’s evident is heart-broken, what’s hazy is farewell..

清楚的是你和我吻別 what’s apparent is you and I kiss goodbye

濛濛的是我還不後悔 what’s vague is me not being regretful

你在我心裡究竟下了什麼藥 What drug are you actually using on my heart?

讓我渴望在你的懷抱裡死掉 that makes me wishing to die in your arms?

傷痕已拋不了 幸福只剩一秒 the scar is unable to be cast away, the happiness is only one-second left

眼睜睜看你在我淚眼中溶掉 looking helplessly at you, being dissolved in my tears

你在我心裡究竟下了什麼藥 What drug are you actually using on my heart?

讓我死心塌地覺得剎那也好 that makes me unswervingly feel that (even) one split-second (with you) is enough

任你是非顛倒 接受你對他好 No matter how you turn the right and wrong upside-down, accepting that you being gentle to her

為什麼你的幸福比我的 重要 why is your happiness more important to my own?

煙濛濛雨也濛濛 我濛濛你也濛濛 the fog is hazy, the rain is also fuzzy, I am blurred, you are also blurred

如果一切可以都不懂 If only everything could be needing no clarity..

(meski) Kau Keparat!




Seharusnya aku membencinya. Atau lebih baik lagi, melupakannya. Tetapi aku tak bisa. Karena itu, kukatakan padamu, aku nelangsa. Menyedihkan. Dan sedikit membuat kesal.

Namun, jangan sekali-kali kau bilang kau bersimpati. Atau meminta maaf, dan terlebih-lebih lagi, merasa kasihan padaku. Aku tak butuh itu, meski aku tak baik-baik saja. Hei, aku masih hidup di sini. Berusaha membuang-buang energiku untuk mencoba membencimu. Untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku baik-baik saja, tanpamu.

Tanpamu.
Bahkan mengucapkan kata ini saja, membuatku sesak. Membuat duniaku serasa runtuh. Dan ini membuatku malahan membenci diriku sendiri. Yang dengan gampangnya bertekuk lutut, dan mengangkat kedua tanganku di hadapanmu... hanya untuk membiarkan diriku sendiri terbakar dalam api cemburu. Karena bahkan melihatku saja kau tak mau. Menawanku sebagai pampasan perangmu saja, kau tak sudi. Aku benar-benar se-tak-berharga itu ya?

Aku gila. Aku neurotik. Aku delusional.
Karena memilih mencintaimu, di saat aku seharusnya membencimu.
Di saat seharusnya aku mengucapkan selamat atas kebahagiaanmu.
Di saat seharusnya aku melupakanmu dan melanjutkan hidupku.

(meski) Kau keparat! Aku mencintaimu.

Entahlah..

Berapa harga
yang
harus kubayar
untuk
tidak mengenal cinta?

I'm not fine.





Aku tidak baik-baik saja.
Seharusnya kau tahu itu.

Dia menangis..

Aku terpaku. Terhenyak.
Dan memeluknya. Berusaha menyalurkan bara semangat padanya.
Berusaha membuatnya paham aksara yang tak terbahasakan.
Bahwa akan selalu ada diriku...
.
.
.
Saat itu juga, aku paham.
Di dalam dirinya,
tak pernah ada aku...

Mengapa?

karena cinta ini,
tak pernah fana.

Lama Sudah...

.......ia mencoba rujuk dengan masa lalunya. Akur dengan sepotong kenangan yang berjenak di sudut jantungnya. Atau berdamai dengan gejolak halus yang berdesir di dadanya setiap ia teringat adegan silam itu. Tetapi, seperti matahari yang senantiasa mengkhianatinya karena terbit terlalu dini, seluruh raga dan jiwanya seolah meronta, menggelepar, dan menerabas jarak waktu, tak kuasa melepaskan semua manis dan pahit yang pernah dihadirkan lelaki itu. Dan saat-saat seperti ini, ia hanya bisa menggigit bibirnya sendiri, bersedekap dan menggulung dirinya ke dalam selimut tua. Bersembunyi dari tatapan hari. Mendekap dirinya sendiri, berharap dengan begitu, jiwanya tak lepas terbang ke masa lalu. Karena air matanya sudah menguap entah ke mana.

Ia tahu, ini semua tak sehat baginya. Ini semua tak baik baginya. Karena itu, pernah ia mencoba mendefinisikan kembali semua rasa. Merangkai jalinan kusut yang saling berpilin. Yang pada akhirnya, hanya bermuara ke entah apa. Dan ia kembali ke titik nol. Berputar-putar dalam lingkaran utuh yang sempurna. Ia nelangsa. Ia merana. Merana karena memilih mencintai dan tersesat dalam melankoli pahit...

Barangkali aku betulan harus angkat kaki dari rumah ini

Barangkali dengan mengganti deodoran yang kugunakan, pasta gigi yang kupakai, dan sabun mandi cair yang kubusakan ke tubuhku, aku bisa melupakanmu. Maksudku, benar-benar melupakanmu. Mencampakkan sampah-sampah ke tempat pembuangan yang semestinya, dan bukannya menumpuknya di sudut laci ingatanku, lalu membiarkannya membusuk di sana.
Sungguh, kukatakan padamu, aku ingin berhenti menatap langit yang biru, laut yang gagah, atau awan yang seperti kapas. Aku ingin berhenti mendengarkan irama Mozart atau Beethoven. Ingin berhenti menyiapkan secangkir kopi pekat di pagi hari yang akhirnya harus kubuang. Sama inginnya aku berhenti mengingat bagaimana kau menyukai langit, laut, dan awan. Atau bagaimana kita berdebat mengenai lagu apa yang akan diputar di tape mobil. Atau secangkir kopi yang kau seruput setiap pagi untuk berdamai dengan rasa kantuk dan aku yang menceramahimu tentang kafein.. Dan aku benci diriku yang kini sadar, bagaimana aku yang dengan tanpa sadarnya berketetapan menemanimu, memelukmu, dan bersama mengais-ngais keindahan langit, laut, dan awan. Atau diriku yang berjanji akan membiarkanmu memegang kendali pada remote tape, dan diriku yang akan berhenti menceramahimu tentang kafein yang bodoh itu.
Aku pasti sungguhan dungu. Gila. Kacau. Dan aku hanya bisa tertawa sambil mengangkat kaleng birku, menggeleng-geleng kepala dan mengacungkan jari tengah kepada langit yang keparat, karena mendadak terlihat begitu memukau. Aku ingin menjadi lebih tak peduli. Tetapi biarpun begitu banyak orang yang telah lalu lalang dalam hidupku, dari ranjangku, setelah kamu, tetap saja aku tak bisa menepis aromamu, manis bibirmu, dan bola matamu yang teduh.
Barangkali aku betulan harus angkat kaki dari rumah ini.

Hujan Tadi Malam

Tadi malam,
hujan turun.
Bergemuruh,
berderu.
Mendesau,
mendesir.

Dan aku,
bergelung dalam selimut tua
yang kau beri.

Aku,
kangen
padamu.

Perjalanan Kata


click to enlarge.

Hening

Namanya Hening. Aku memanggilnya Ning.
Dan selayak namanya, ia memilih bersetubuh dengan sunyi, alih-alih tenggelam dalam keramaian. Namun, bukan berarti ia asosial. Ia memiliki sejumlah orang yang ia sebut teman. Keluarga yang hangat. Kekasih yang pengertian, yang pelukannya ibarat pelabuhan teduh dari badai gelombang yang bergejolak. Ia memiliki aku, yang memanggilnya Ning.
Baginya, sunyi yang senyap mendekap damai. Menyimpan selaksa rahasia tentang hidup, tentang hati, dan tentang diri. Dan ia kecanduan. Ia sakau, sehingga setiap kali kembali ke kamarnya yang mungil, ia akan luruh ke dalam sunyi. Merasakan gemuruh yang sama, yang berdebur halus di dadanya. Ia berjenak kembali dengan dirinya sendiri, dengan sudut terdalam dan tergelap dalam jiwanya. Melepas semua rasa yang mengeruh, dan mengangkat bendera putih pada kecamuk dan sedih yang bergelayut sepanjang hari itu.
Terkadang, aku ingin memasuki ritual itu. Menghayati pengalaman dan segenap rasa, dan bukan lagi hanya sekadar menatap dunia kacanya. Tetapi, seperti rasa sesak urin, Engkau tak akan pernah bisa menitipkan cairan ekskresi itu melalui kemih orang lain. Engkau harus membuangnya sendiri. Sama seperti tubuhmu yang menghasilkannya, menampungnya.
Namanya Hening. Bukan Heni, Henny, Heny, Hany, atau Hanny. Bukan pula Bening. Bukan pula Eni, Enny, atau Eny. Dan aku memanggilnya, Ning.