aku layang-layang




















aku layang-layang.
aku ingin terbang.

meski benangku putus.
meski angin kencang mengembus.
meski harap kian pupus.

aku layang-layang.
melanglang,
mengambang,
melenggang,
tiada kekang, tiada lekang..
*gambar dari boelansabit.wordpress.com

Pisau Untuk Hujan


Dan itu bukan sayap.

Bayangan yang berkilat di balik punggungnya itu bukan sayap. Meski putih. Meski berkelebat, dan terlihat siap mengepak.

Bukan pula sayap-sayap patah, seperti yang melindungi Selma dari tusukan derita karena cinta.


Benda itu adalah sebilah pisau. Tajam. Terasah. Dan terlihat baru.


Setiap hujan mendera, pisau itu siap terhunus.


Betapa inginnya ia menyilet hujan. Memotongnya menjadi apa aja. Lalu membuangnya. Menyingkirkannya.


Karena tak pernah ia ingin menyimpan apapun yang tak bisa ia miliki.


Tetapi hujan, turun terus. Menderas. Dan sekali lagi, hujan akan berlalu, meninggalkan dirinya. Menjejakkan basah yang berlumpur.


Noda.

Noktah.

Seperti kenangan tentang dirinya yang tak terhapus..



Wanita itu mencintai hujan





Engkau akan mengira ia jatuh cinta pada payung.

Spesifiknya, payung berwarna biru, yang ia genggam erat, meski hujan tak mencurahi bumi, atau matahari enggan bersinar terik.

Atau barangkali hanya aku yang berhalusinasi. Barangkali di tangannya memang tiada sesuatu. Atau sesuatu itu bukan payung, melainkan gumpalan perasaan. Sedih, bahagia, kecewa, haru, malu, sepi, takut, berani, gentar, dan sebagainya, bercampur menjadi satu. Berakumulasi, seperti flokulan yang menggenapkan kotoran, lalu terendapkan.

Tapi selalu tak ada ekspresi di wajahnya. Atau barangkali, mimik datar juga ekspresi?
Bahkan ketika matahari terlalu menyilaukan mata, atau klakson terlalu ribut. Semua seperti terserap ke dalam benda kecil di genggamannya. Hilang, lenyap. Tak ada jejaknya di udara.


Hingga hari itu tiba. Hari itu, hujan untuk pertama kalinya menetes.
Mencurah. Menderu. Mendebar.
Seperti detak jantung yang tersirami darah.
Bedanya, darah itu berwarna kelabu. Kelabu yang merekah, merenda, dan merengkuh.

Ia membuka benda itu.
Yang lalu bertransformasi menjadi payung.. aku benar.

Dan dia seperti penari. Penari yang meliukkan tubuhnya tanpa getar dan letar.
Penari yang menarikan hujan, mengalahkan pawang.
Penari yang air matanya barangkali lenyap, bersama hujan, karena ia harus tersenyum di hadapan penontonnya..

Ia berhenti melangkah.
Hujan menudunginya, selayak payung menadah semua gerimis.

Hari itu, aku tahu.
Wanita itu mencintai hujan lebih daripada payungnya.

Selamat Pagi..




Selamat pagi, dunia.
Tolong aku melewati hari ini....


Engkau tahu,
aku ingin tersenyum,
ketika tak mengingatnya,
ketika mengingatnya,
dan saat-saat di antaranya.


Karena itu,
tolong aku. hari ini.

Engkau bukan Milikku..


Seperti hujan yang tak tergenggam.
Seperti kabut yang mengejawantah dan menghilang.
Seperti bintang yang tak teraih.
Seperti panorma yang tak terengkuh..

tonight




Cintai aku malam ini.
Malam ini saja.

Karena tak pernah ada esok untuk kita..


.
.
.

Pertalian yang Tak Mengikat




tetapi bukankah cinta tak pernah mengikat?

Seorang ibu tak akan pernah menghalangi anaknya yang ingin terbang lepas..
atas nama darah?
Seorang sahabat tak akan sanggup meminta temannya untuk tinggal..
atas nama hati?
Lantas, bagaimana bisa seorang kekasih mengikat cintanya, bahkan atas nama cincin dan cinta itu sendiri?


Buka matamu. Sekalipun aku ada di hatimu, engkau ada di hatiku, kita tak pernah saling mengikat.
Karena darah, hati, dan cinta, tak butuh ikatan...

Bahagia.



Aku memilih bahagia.
Meski itu bukan dengannya.

tentang senja




kukira aku telah selesai berbicara tentang senja. tentang bagaimana senja hanyalah secarik kertas yang dilapisi warna kuning keemasan yang disebut sebagai lembayung. Atau biru pekat yang menggigil, yang ia sebut indigo. tentang bagaimana burung-burung pulang petang, dan nelayan bersiap-siap berlayar.



tetapi, sama seperti kemarin, dan hari-hari sebelumnya, aku masih menemukan diriku duduk di tepi pantai, memeluk kedua lututku, merasakan butir-butir pasir menggesek habis perasaan yang lara ini, yang kian menua dimakan waktu. memandangi ombak bergulung, dan memecah ketika kedalaman laut berubah. berdebur tatkala mencoba memecah karang, menjejak basah di udara, dan lenyap ditarik pulang ke laut.


Dan aku menangis. Masih menangis. Meluruh rasa yang menggenap di mata, di hati, dan di raga. Untuk apa, aku tak pernah betul-betul tahu. Barangkali karena senja indah akan segera dilahap oleh malam. Dan kembali menjalani siklus yang tanpa henti...

Bintang-bintang rungau





bintang-bintang rungau.
barangkali ia lupa menyalakan lampu,
atau generator di belakang rumah tak lagi mampu berlari..


bintang-bintang rungau.
dirimu terasa jauh,
dan ketika kugenggam dengan telapakku,
aku merasa mataku tengah menipu dengan ilusi optik.
Karena aku tak jua bisa memiliki....


bintang-bintang rungau.
bagaimana bisa sepi bercengkerama dengan dia,
sementara sunyi adalah pasangannya yang sama-sama bisu?
bintang-bintang rungau.
Mari bersama larut dalam insomnia,

secangkir kopi dan kafein yang tebal.


Karena setiap kupenjamkan mata,

dirimu

datang

menari..

Aku Ingin Hujan Berhenti




Justru aku ingin hujan berhenti..
menggenang tanah basah di muka bumi.


Justru aku ingin hujan berhenti..
meluruh di udara dan menjejak pelangi.


Justru aku ingin hujan berhenti..
karena ia menikam ulu jantungku
.
.
dengan kenangan akan dirimu...

Di dalam Matamu














Aku rela terbakar di dalam matamu.
Atau tersesat di dalamnya. Dan memilih tak pernah keluar lagi. Mungkin tepat bila kusebut matamu sebagai Eyes of No Return.

Aku rela ditelanjangi oleh matamu.
Bersetubuh dengan cara yang barangkali tak senonoh. Dan memuncak di dalam orgasme yang senyap. Sunyi, karena tak ada suara. Tak ada erangan, ataupun desahan. Itu yang kusebut intim.

Aku rela terkikis habis di dalam matamu.
Atau melayang-layang di dalamnya. Dan memilih melawan arus gravitasi. Meski itu cuma mimpi di siang bolong. Karena bersamamu, aku rela tertidur... Tak perlu ada putri cantik yang membangunkanku, seperti Snow White dibangunkan oleh pangerannya. Tak perlu.








Berasa ABG

Apakah perasaan membuncah yang kurasakan setiap mendapati sedang memandangiku, hanya kurasakan sendiri?
Apakah sensasi terbakar di wajahku, yang menciptakan warna merah untuk kemudian kau lihat, hanya terjadi padaku?
Apakah pemikiran bahwa dirimu memang sedang menatapku, hanya khayalan dan imajinasi konyol belaka?

Dan masih ada beribu-ribu APAKAH yang berseliweran di kepalaku. Begitu banyak pertanyaan yang jawabannya hanya sesederhana 'YA' atau 'TIDAK', tetapi mendadak selalu terasa konyol. Selalu tak bisa kuyakinkan diriku sendiri, bahwa jawaban darimu memang 'YA'. Membuatku kian nelangsa, kian senewen, dan kian ingin bertanya.

Meski begitu, Engkau tahu, diriku ini sedang menahan lidahku untuk tidak melontarkan abjad-abjad memalukan itu tatkala dirimu berada di dekatku, menanyakan kabarku, atau sekadar bertegur sapa. Kepiting rebus memang enak. Tetapi kalau wajahmu mendadak merah seperti kepiting rebus? Jangan tanya.

Jangan tanya. Jangan tanya. Jangan tanya.
Diulang tiga kali. Biar mantap.

Karena itu, aku akan hanya menunduk. Bukan karena tersipu. Bukan karena malu, mendadak menjadi ABG kembali.
Tetapi lebih karena aku menyerah pada substansi yang kau sebut sebagai CINTA, melalui binar-binar matamu.

Apakah binar-binar itu juga untukku?
@#$%^&*!!

Aku Ingin Tidur Saja

Aku menghela napas. Panjang.
Untung Oma tidak berada di sini sekarang. Kalau tidak, ia pasti akan menceramahiku. Anak kecil kok menghela napas panjang, seperti ada masalah besar saja. Ya, bagi Oma, anak kecil sepertiku bahkan belum benar-benar tahu, apa yang namanya masalah besar itu.

Kulemparkan pandangan ke luar jendela. Jalanan berdebu. Orang-orang tampak penat. Sebagian lainnya tampak lusuh dan tak bersemangat. Langit sama kusamnya. Abu-abu. Monokrom. Membuatmu segera merogoh tas atau ranselmu untuk mencari benda yang bernama payung.

Sesungguhnya, aku bukan punya masalah besar. Aku hanya punya beban berat, yang serasa menghimpit dadaku. Beban yang kadangkala kupikir hanyalah efek dramatisasi diriku sendiri, berkat sisi melankolis yang demikian kental mengalir dalam darahku.

Aku menghela napas lagi. Melemparkan pandangan ke jendela lagi.
Terasa lebih mudah untuk menghakimi orang lain daripada diri sendiri, bukan?
Entahlah. Aku ingin tidur saja.

Hingga Saatnya Nanti




Tidakkah kau ingin berhenti dari langkahmu yang tergesa untuk menerobos masa lalu? Tidakkah kau ingin berjenak dalam dirimu sendiri, yang selalu tergopoh dan tak berdaya ketika memikirkan dirinya?


Sudahlah. Lupakan dia. Lupakan masa lalumu. Ingat, kau terlalu berharga untuk disia-siakan oleh dirimu sendiri. Kau terlalu bermakna untuk seseorang di masa depanmu.


Maka, berteriaklah. Setelah itu, kemas dirimu kembali. Simpan dirimu kembali. Hingga saatnya nanti.
*picture courtesy of http://www.batailley.net/images/20090406075600__mg_5306.jpg, Sunset After the Rain

Kau tersenyum.




..

aku tergagu.

...

..

.

Berlari..





Abimanyu menyingkirkan gelas di tangan Marina. Ada yang terhempas di hati. Ada yang meluruh di raga.


Marina tertawa. Tawa yang membahana dan seperti bergema berulang-ulang. Ia melayang dalam badai serotonin. Ia lupa semua pahit. Dan sekali itu, membiarkan dirinya sendiri menjadi gadis yang amnesia. Abimanyu meraihnya dalam pelukan.


Saat itulah, ia mendengar Marina meracaukan sebuah nama..


Ia tertegun. Lama. Ada yang remuk, di hatinya. Ada yang pupus, di raganya.

Mendengarmu..





Aku merasa mendengarmu. Dalam gelap malam. Dalam desau angin. Dalam debur laut. Dalam tetes hujan. Suaramu terasa menggema dalam hingar-bingar simfoni alam. Terasa dekat, namun tak tersentuh. Tak tergapai. Membuatku kian frustasi, kian menggigil, dan kian remuk.

Ingin rasanya kupakai head-phone. Ingin rasanya aku membekap gendang telingaku dan memilih tuli. Tetapi sebagian besar diriku malah mengharapkan sebaliknya. Aku, si manusia paradoks, begitulah dirimu pernah berujar. Kini, aku berpagut dalam paradoks tentang dirimu. Tentang rasa yang menghinggapi hatiku, diriku, dan jiwaku, seperti parasit. Dan aku inang yang tak bisa hidup tanpa si parasit.

Aku merasa mendengarmu. Meski gelap malam pekat membungkus retina mata. Meski desau angin mendesir, dan membawa pergi semua mimpi. Meski debur laut memecah dan hilang ditimpa surut. Meski hujan mereda dan melarikan semua debu yang penat. Meski aku tak menginginkannya.............

Label

"Aku ini siapamu?"
Aku menoleh, dan mendapatinya tengah menatapku. Ada rasa heran yang menyumpal di mulutku. Membuat aksara serasa melayang, dan kata-kata tak jua terucapkan. Dan ia masih menanti jawabanku.
Sebentar. Ijinkan aku berpikir.
Dia adalah rindu yang kukulum terlalu lama, hingga menyisakan rasa nyeri. Seperti permen karet yang mula-mula manis, lalu akhirnya berganti menjadi tawar. Sedikit pahit, malah. Kalau begitu, dia itu rindu, atau nyeri?
Dia adalah melankoli sentimentil, yang membuat malam yang merayap terasa nelangsa, semata karena rasa sepi terasa begitu menggerogoti. Dan fajar yang menyingsing mengundang senyum, terutama ketika aku memikirkan dirinya yang pasti sedang memikirkan diriku. Mungkinkah dua hati berpagut dalam alam relativitas yang tak menjejak nyata? Kembali, kalau begitu, dia itu rasa nelangsa, atau rasa bahagia?
Dia adalah rangkaian kata-kata yang tak teraksarakan. Tetapi sanggup membuat jemariku menari di atas keyboard komputer, atau menggerakan pena di atas coretan kertas. Untuk kemudian memaksaku menekan tuts backspace lama-lama dan menggumpalkan kertas itu ke dalam tong sampah. Kalau begini, dia itu inspirasi, atau masalah?
Aku tersenyum. Lalu merangkulkan lenganku ke bahunya.
Dia satu-satunya bagiku? Tidak juga. Karena dia menghadirkan begitu banyak paradoks.
Atau segalanya, bagiku? Tidak juga. Aku ingin dia hidup, walaupun tanpa diriku. Dan aku bisa hidup, walaupun tanpa dirinya.
"Kenapa kau begitu menginginkan label?" Aku mendengar diriku sendiri bersuara.
Dan persis yang kuduga, ia mendelik. Aku tersenyum lagi. Kali ini dengan harapan, semoga dia mengerti. ;-)

Dense Cloud, Fuzzy Rain..

雲深深雨濛濛Dense Cloud, Fuzzy Rain
song by Ruby Lin..
清楚的是眼淚 濛濛的是雨水 what’s obvious is tears, what’s fuzzy is the rain drop..

清楚的是心碎 濛濛的是離別 what’s evident is heart-broken, what’s hazy is farewell..

清楚的是你和我吻別 what’s apparent is you and I kiss goodbye

濛濛的是我還不後悔 what’s vague is me not being regretful

你在我心裡究竟下了什麼藥 What drug are you actually using on my heart?

讓我渴望在你的懷抱裡死掉 that makes me wishing to die in your arms?

傷痕已拋不了 幸福只剩一秒 the scar is unable to be cast away, the happiness is only one-second left

眼睜睜看你在我淚眼中溶掉 looking helplessly at you, being dissolved in my tears

你在我心裡究竟下了什麼藥 What drug are you actually using on my heart?

讓我死心塌地覺得剎那也好 that makes me unswervingly feel that (even) one split-second (with you) is enough

任你是非顛倒 接受你對他好 No matter how you turn the right and wrong upside-down, accepting that you being gentle to her

為什麼你的幸福比我的 重要 why is your happiness more important to my own?

煙濛濛雨也濛濛 我濛濛你也濛濛 the fog is hazy, the rain is also fuzzy, I am blurred, you are also blurred

如果一切可以都不懂 If only everything could be needing no clarity..

(meski) Kau Keparat!




Seharusnya aku membencinya. Atau lebih baik lagi, melupakannya. Tetapi aku tak bisa. Karena itu, kukatakan padamu, aku nelangsa. Menyedihkan. Dan sedikit membuat kesal.

Namun, jangan sekali-kali kau bilang kau bersimpati. Atau meminta maaf, dan terlebih-lebih lagi, merasa kasihan padaku. Aku tak butuh itu, meski aku tak baik-baik saja. Hei, aku masih hidup di sini. Berusaha membuang-buang energiku untuk mencoba membencimu. Untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku baik-baik saja, tanpamu.

Tanpamu.
Bahkan mengucapkan kata ini saja, membuatku sesak. Membuat duniaku serasa runtuh. Dan ini membuatku malahan membenci diriku sendiri. Yang dengan gampangnya bertekuk lutut, dan mengangkat kedua tanganku di hadapanmu... hanya untuk membiarkan diriku sendiri terbakar dalam api cemburu. Karena bahkan melihatku saja kau tak mau. Menawanku sebagai pampasan perangmu saja, kau tak sudi. Aku benar-benar se-tak-berharga itu ya?

Aku gila. Aku neurotik. Aku delusional.
Karena memilih mencintaimu, di saat aku seharusnya membencimu.
Di saat seharusnya aku mengucapkan selamat atas kebahagiaanmu.
Di saat seharusnya aku melupakanmu dan melanjutkan hidupku.

(meski) Kau keparat! Aku mencintaimu.

Entahlah..

Berapa harga
yang
harus kubayar
untuk
tidak mengenal cinta?

I'm not fine.





Aku tidak baik-baik saja.
Seharusnya kau tahu itu.

Dia menangis..

Aku terpaku. Terhenyak.
Dan memeluknya. Berusaha menyalurkan bara semangat padanya.
Berusaha membuatnya paham aksara yang tak terbahasakan.
Bahwa akan selalu ada diriku...
.
.
.
Saat itu juga, aku paham.
Di dalam dirinya,
tak pernah ada aku...

Mengapa?

karena cinta ini,
tak pernah fana.

Lama Sudah...

.......ia mencoba rujuk dengan masa lalunya. Akur dengan sepotong kenangan yang berjenak di sudut jantungnya. Atau berdamai dengan gejolak halus yang berdesir di dadanya setiap ia teringat adegan silam itu. Tetapi, seperti matahari yang senantiasa mengkhianatinya karena terbit terlalu dini, seluruh raga dan jiwanya seolah meronta, menggelepar, dan menerabas jarak waktu, tak kuasa melepaskan semua manis dan pahit yang pernah dihadirkan lelaki itu. Dan saat-saat seperti ini, ia hanya bisa menggigit bibirnya sendiri, bersedekap dan menggulung dirinya ke dalam selimut tua. Bersembunyi dari tatapan hari. Mendekap dirinya sendiri, berharap dengan begitu, jiwanya tak lepas terbang ke masa lalu. Karena air matanya sudah menguap entah ke mana.

Ia tahu, ini semua tak sehat baginya. Ini semua tak baik baginya. Karena itu, pernah ia mencoba mendefinisikan kembali semua rasa. Merangkai jalinan kusut yang saling berpilin. Yang pada akhirnya, hanya bermuara ke entah apa. Dan ia kembali ke titik nol. Berputar-putar dalam lingkaran utuh yang sempurna. Ia nelangsa. Ia merana. Merana karena memilih mencintai dan tersesat dalam melankoli pahit...

Barangkali aku betulan harus angkat kaki dari rumah ini

Barangkali dengan mengganti deodoran yang kugunakan, pasta gigi yang kupakai, dan sabun mandi cair yang kubusakan ke tubuhku, aku bisa melupakanmu. Maksudku, benar-benar melupakanmu. Mencampakkan sampah-sampah ke tempat pembuangan yang semestinya, dan bukannya menumpuknya di sudut laci ingatanku, lalu membiarkannya membusuk di sana.
Sungguh, kukatakan padamu, aku ingin berhenti menatap langit yang biru, laut yang gagah, atau awan yang seperti kapas. Aku ingin berhenti mendengarkan irama Mozart atau Beethoven. Ingin berhenti menyiapkan secangkir kopi pekat di pagi hari yang akhirnya harus kubuang. Sama inginnya aku berhenti mengingat bagaimana kau menyukai langit, laut, dan awan. Atau bagaimana kita berdebat mengenai lagu apa yang akan diputar di tape mobil. Atau secangkir kopi yang kau seruput setiap pagi untuk berdamai dengan rasa kantuk dan aku yang menceramahimu tentang kafein.. Dan aku benci diriku yang kini sadar, bagaimana aku yang dengan tanpa sadarnya berketetapan menemanimu, memelukmu, dan bersama mengais-ngais keindahan langit, laut, dan awan. Atau diriku yang berjanji akan membiarkanmu memegang kendali pada remote tape, dan diriku yang akan berhenti menceramahimu tentang kafein yang bodoh itu.
Aku pasti sungguhan dungu. Gila. Kacau. Dan aku hanya bisa tertawa sambil mengangkat kaleng birku, menggeleng-geleng kepala dan mengacungkan jari tengah kepada langit yang keparat, karena mendadak terlihat begitu memukau. Aku ingin menjadi lebih tak peduli. Tetapi biarpun begitu banyak orang yang telah lalu lalang dalam hidupku, dari ranjangku, setelah kamu, tetap saja aku tak bisa menepis aromamu, manis bibirmu, dan bola matamu yang teduh.
Barangkali aku betulan harus angkat kaki dari rumah ini.

Hujan Tadi Malam

Tadi malam,
hujan turun.
Bergemuruh,
berderu.
Mendesau,
mendesir.

Dan aku,
bergelung dalam selimut tua
yang kau beri.

Aku,
kangen
padamu.

Perjalanan Kata


click to enlarge.

Hening

Namanya Hening. Aku memanggilnya Ning.
Dan selayak namanya, ia memilih bersetubuh dengan sunyi, alih-alih tenggelam dalam keramaian. Namun, bukan berarti ia asosial. Ia memiliki sejumlah orang yang ia sebut teman. Keluarga yang hangat. Kekasih yang pengertian, yang pelukannya ibarat pelabuhan teduh dari badai gelombang yang bergejolak. Ia memiliki aku, yang memanggilnya Ning.
Baginya, sunyi yang senyap mendekap damai. Menyimpan selaksa rahasia tentang hidup, tentang hati, dan tentang diri. Dan ia kecanduan. Ia sakau, sehingga setiap kali kembali ke kamarnya yang mungil, ia akan luruh ke dalam sunyi. Merasakan gemuruh yang sama, yang berdebur halus di dadanya. Ia berjenak kembali dengan dirinya sendiri, dengan sudut terdalam dan tergelap dalam jiwanya. Melepas semua rasa yang mengeruh, dan mengangkat bendera putih pada kecamuk dan sedih yang bergelayut sepanjang hari itu.
Terkadang, aku ingin memasuki ritual itu. Menghayati pengalaman dan segenap rasa, dan bukan lagi hanya sekadar menatap dunia kacanya. Tetapi, seperti rasa sesak urin, Engkau tak akan pernah bisa menitipkan cairan ekskresi itu melalui kemih orang lain. Engkau harus membuangnya sendiri. Sama seperti tubuhmu yang menghasilkannya, menampungnya.
Namanya Hening. Bukan Heni, Henny, Heny, Hany, atau Hanny. Bukan pula Bening. Bukan pula Eni, Enny, atau Eny. Dan aku memanggilnya, Ning.

Another Tribute. to Ve.

Masihkah kau menangis tatkala kau memandang ke lautan?
Masihkah kau menghindar dari pertanyaan tentang masa lalu itu?
Masihkah kau memimpikan nostalgia manis yang pernah membuatmu insomnia itu? Heran, bila kau bermimpi bertemu dirinya setiap malam, mengapa kau malah memilih terjaga?
Masihkah kau berubah kelam setiap hujan menerpa jendelamu?
Masihkah kau mereguk bercangkir-cangkir kopi, terduduk di kursi meja Starbucks, mengetikkan entah apa di Mac-mu?
Masihkah kau berkelana, mengelilingi dunia, dan mengatakan kau bahagia, padahal ada lubang besar di hatimu, yang membuatmu sering hanya menatap cermin di kamar mandi lamalama, dan meyakinkan dirimu sendiri, bahwa kau baik-baik saja?

Aku masih menghela napas setiap kali membaca baris-baris aksara usang itu.
Aku masih takjub, aku masih sedih, aku masih gundah.
Aku masih bertanya-tanya, untuk kemudian menahan kata-kata itu di ujung lidahku...
Semoga kau cepat bahagia.

Lelah

Aku lelah bertanya-tanya. Lelah mereka-reka. Lelah berspekulasi. Lelah menduga-duga.
Mengapa tak kau datang saja ke hadapanku?
Dan mengatakan padaku, apa yang kau pikirkan, apa yang kau rasakan?

Menulis

Menulis sama seperti berperang. Kau menyiapkan amunisi; senapan, peluru, rompi-anti-peluru, helm baja, sepatu lars. Atau terkadang hanya sebilah samurai, berkilat dan tajam. Kau menyiapkan hatimu, jiwamu, dan seketika, berondongan katakata itu menghujam. Menumbuk. Menyobek. Mencabik. Kau berlindung. Tiarap. Sesekali, ledakan itu berdentum. Kau terlonjak. Terkaget.




Menulis sama seperti bercumbu. Kau merangkai aksara menjadi kata, kata menjadi frasa, frasa menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, dan paragraf menjadi wacana. Kau menabung waktu, mengurai makna, dan mencurahkan rasa. Hingga tulisan itu lahir, dari rahim benakmu. Dan kau mengalami orgasme dashyat. Kau tergoda. Ketagihan akan candunya.




Dan, di sinilah aku. Terkekeh sambil menghirup teh. Mengais-ngais kenangan remeh dan mengaduk bongkahan gula yang perlahan meleleh.