Life and Lesson




6 years ago,
I was this little boy, who taught he has planned his entire future well.
I was this little boy, who taught that he has had the world, on his hand.

6 years ago,
I let my pride get in the way.

Then time passes by.
It changes everything. Me, my family, my hometown, and everything from my past.
It is, indeed, unavaoidable, for we live in a perishable world, where impermanence has become its second name.

6 years ago,
I failed, I fell, once.
Once, and I would remember it for the rest of my life.
The valuable lesson taught me one good thing - called mistake.

6 years ago,
I taught I have learnt my lesson.

And now,
Everything comes back, pieces to pieces.
So many what if.
So much pain.
So much things have happened, without even letting me have the opportunity to think, or to enjoy... Like the ice-cream in your hand, and you're competing with time before it melts away and you get nothing.

Yet now,
I dont think I am mature enough...

(lagi) tentang hujan




Seorang teman pernah mengirimkan SMS:

Jika nanti hujan deras, cobalah kamu keluar

Hitung dan rasakan

Titik-titik air hujan yang banyak itu jatuh dari langit


Sebanyak itulah aku bersyukur telah mengenalmu

sampai saat ini.


Hari ini, dan hari-hari kemarin, hujan terus berjatuhan. Membuat bumi basah. Membuat jalanan kuyup. Aku teringat temanku itu, lalu kukirim SMS:

Aku sedang menatap hujan. Menghitung rinainya.
Mungkin dengan begitu, aku bisa lebih mengerti..

Dia pun mengirimkan balasan:

Adakah bayangan wajahku di antara percikan air hujan?
Hujan, ajarkan aku arti kasih yang sesungguhnya
A
ngin, katakan padanya aku sangat merindukannya


Dan aku, tercenung. Masih menatap hujan itu, terus menghujam bumi.. Betapa inginnya aku mengurai benang kusut ini. Betapa inginnya aku berhenti berlari..

Payung Biru: Prekuel..


dedicated to. KL.

Pagi itu, hujan turun. Rinainya beramai-ramai menghujam bumi. Kelabu. Pucat. Suram. Melarikan sinar matahari, dan berkompromi menciptakan pelangi, nanti. Dingin. Menggigil. Tak ada yang luput dari basah di luar sana. Jalanan, taman, gedung. Kuyup. Sendiri.

Dari balik jendela yang mengabur, aku menatap semua pemandangan itu. Diam-diam, jauh di dalam hati, aku merasa beruntung. Beruntung karena aku kini berada dalam dekapan seseorang yang mencintaiku, dan yang kucintai. Dekapan hangat, yang menjadikan dingin tak berarti. Dekapan erat, yang menjadikan sepi tak bermakna. Dekapan sederhana, yang menjadikan waktu cemburu.

Pagi itu, hujan turun. Meski matahari tak terlihat di langit, dalam semesta kecilku ada sebuah matahari yang masih tetap bersinar. Dan semoga aku juga menjadi matahari di harinya...

Napasnya naik turun. Begitu teratur. Seperti simfoni. Seperti surga.
Lalu ia terjaga. Matanya mencari-cari diriku. Mengisyaratkan kangen, setelah semalaman tidak saling bersua dalam alam nyata. Entah dalam mimpinya, karena dalam mimpiku, yang kulihat hanya dia...

"Hai," aku menyapanya.
Ia tersenyum. Bola matanya membulat, dan berbinar.
"Selamat pagi..."
"Pagi.."
"Hujan.."
"Ya.."

Tidak perlu payung biru. Tidak perlu jas hujan. Hanya perlu berada di sampingku. Di sini. Sekarang. Dan Selamanya.

Aku insomniak. Aku fobia. Dalam malam-malam yang terjaga. Dalam gulita dan kesendirian yang membalut kamarku.
Mataku terbuka lebar-lebar. Hatiku berdebar tak karuan. Aku... menolak terlelap. Aku... menolak terbuai.

Sudah lama kusingkirkan selimut, bantal, dan guling. Tidak matras. Entah kenapa harus kusisakan matras itu. Sekadar pembuktiankah aku masih waras? Sekadar kompromikah pada salah satu ruang di benak kecilku yang menyuruhku tidur? Aku tak tahu.

Aku neurotik. Aku terkafeinasi.... Aku lelah..

Coffee & Cigarette




Kepulan asap. Kental. Memusingkan. Dan benakku langsung berputar, mengingat kembali pelajaran koloid di Kimia SMA.

Segelas kopi. Kental. Hitam. Panas. Pekat. Dan mengisyaratkan pahit, yang pasti, teramat sangat. Aku teringat kembali pelajaran Kimia di SMA. Kopi adalah genangan kafein. Asupannya membuatmu tenang, mengalihkan stres dan depresi, entah bagaimana caranya.

Sebatang rokok. Menyala. Merah. Baranya begitu menghipnotis. Kembali, buku Kimia itu seperti terpampang di otakku. Nikotin. Tar. Karbonmonoksida. Aku masih takjub, bagaimana sebatang rokok kecil itu bisa mengandung sekian banyak zat yang berbahaya. Tapi, aku sudah berhenti menghakimi para perokok, sama seperti aku berhenti menghakimi para penikmat kopi.

Karena kini aku tahu. Bagaimana segelas kopi dan sebatang rokok membawamu mengarungi sebuah perjalanan. Semu, mungkin. Eskapis, mungkin. Tapi adakah yang nyata dalam hidup ini? Siapakah pula yang tak pernah bersikap eskapis?

Aku tertawa. Sinis. Pahit. Getir. Sedih. Ironis. Meski aku tak tahu, untuk apa dan siapa aku tertawa.

Kepulan asap. Membumbung sejenak, lalu lenyap. Bersenyawa.
Kopi di hadapanku mendingin. Bara di tanganku meredup. Ada yang harus usai.

Aku gamang. Aku lelah.
Kapan prahara ini akan selesai? ...





"Aku teramat mencintainya. Hingga kalau suatu saat nanti, ia membutuhkan transpalantasi jantung, aku akan merelakan jantungku untuknya..."

Aku terdiam, menatap jendela di hadapanku. Kudapati bayanganku di sana: sendiri, lusuh, dan tak bercahaya. Semua pengharapan dan binar seperti tertelan dalam kesunyian panjang, yang tak menunjukkan tanda-tanda bertepi, atau berdasar. Kesunyian yang membuatmu merasa seperti tengah melayang, dalam jurang lebar yang gulita, yang membuatmu bertanya-tanya, kapan aku akan sampai di dasar, seperti apa dasarnya, akankah aku mati? Tetapi dalamnya jurang itu akhirnya membuatmu mati rasa, dan tak lagi bertanya-tanya.

"Meskipun dia tak pernah mencintaimu..?"
"Aku tak peduli. Karena hidupku, hanya untuknya.."

Aku bosan. Aku merana. Aku tak ingin lagi hanya menjadi penonton, yang menyaksikan bagaimana cinta ada, bagaimana cinta dipersembahkan. Dalam bentuk apapun. Aku juga ingin menjadi bagian dari cinta. Aku ingin merasakan lagi seperti apa mencintai seseorang, dan seperti apa dicintai. Aku ingin merasakan lagi seperti apa membiarkan seseorang memasuki pintu hatiku, dan berdiam di sana.

Dan yang ada dalam dunia kecilku, hanyalah gelap. Sunyi.

Di luar sana, hujan telah turun. Butir-butir airnya menetes di jendela kaca.


17 Agustusan...

Hari kemerdekaan RI. Ke-63.
Usia segito, untuk ukuran manusia, sudah tergolong tua. Sudah tergolong usia kakek-nenek, yang seharusnya sudah pensiun, membiarkan anak-anaknya bekerja membangun keluarga, dan menyaksikan cucu-cucunya bertransformasi dari bayi lucu menjadi anak-anak kecil yang badung.
Tapi, untuk ukuran sebuah negara, tua-mudanya usia itu, sangat relatif. Bandingkan dengan negara-negara seperti Amerika, atau Inggris, atau Prancis. Usia Indonesia yang masih berangka dua sebenarnya masih bole dibilang muda. Tapi coba bandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Rasanya, Indonesia boleh dibilang tua, meski mungkin hanya tua beberapa tahun. Tapi, Indonesia seperti tertinggal, seperti terseok-seok, dibandingkan, katakanlah Malaysia, atau Singapura.

Memang, umur tidak selamanya bisa dikaitkan dengan kemajuan atau pencapaian seseorang. Tetapi, paling tidak, umur yang lebih tua sering menandakan lebih banyaknya pengalaman. Umur yang lebih tua, dalam hal ini kemerdekaan, seharusnya memberikan lebih banyak kesempatan kepada pemuda negeri untuk membangun negeri dengan keringatnya sendiri.

Tapi, kenyataannya tidak begitu. Masih ingat lagu Ibu Pertiwi? Baris pertamanya begitu membuat trenyuh. Kulihat Ibu pertiwi..sedang bersusah hati.. (moga-moga ga salah lirik). Bayangkan Indonesia itu, ibu kita. Bayangkan pula Ibu kita, yang melahirkan kita, merawat kita, dan membesarkan diri kita dengan keringat dan darah, sedang bersusah hati. Dan bersusah hatinya karena kita pula. Kita, pemuda-pemuda bangsa, yang menggerogoti ibu kita perlahan-lahan. Miris.

Lalu, di usia Ibu Pertiwi yang sudah 63 tahun, apa yang bisa kita berikan? Hanya sebatas perayaan hari kemerdekaankah? Ucapan selamat dirgahayukah? Perlombaan-perlombaan tradisionalkah? Upacara benderakah, yang bahkan kita hadiri dengan setengah hati? Mimpi-mimpi dan doa-doakah, yang meski dibungkus dengan kata-kata indah, namun hanya ungkapan kosong belaka? Tulisan-tulisankah, yang bernafaskan patriotisme, tetapi tetap tak mampu memberikan solusi (seperti tulisan ini)? Rasa syukurkah, yang membuat kita punya negara sendiri, setelah mengorbankan banyak manusia yang kemudian kita sebut pahlawan, untuk kemudian memberikan kita kesempatan untuk melihat bagaimana harga diri kita sendiri terkoyak-koyak oleh krisis multidimensi? Yang mana? Lantas, di mana pula makna kemerdekaan itu, yang katanya bukan pemberian bangsa penjajah? Di mana momen-momen bersejarah yang terasa agung di buku sejarah itu?

Hari kemerdekaan RI. Memang pantas kita rayakan. Setahun sekali. Yang membuat cuti bersama terasa begitu wajar. Yang membuat semua kegiatan bole dihentikan sejenak.
Tapi, apa yang sesungguhnya kita rayakan di sini?

a tribute to ve



Setiap kali perasaan sentimental itu melandaku, aku akan kembali membuka url itu. Lalu di monitor akan terpampang sebuah catatan berisi puisi-puisi. Kadang singkat, kadang panjang, dan terkadang prosa singkat, yang dirangkai dengan indah, membentuk untaian makna. Kadang menghujam, kadang mengharukan, kadang membuatku mengulas senyum. Setiap kunjungan ke url itu selalu memberiku nuansa yang berbeda, rasa yang berbeda, dan inspirasi yang berbeda, meskipun sudah lama penulisnya tidak aktif.

Ada yang telah lama mati…

Puisi itu melukiskan lara hati seseorang yang ditinggalkan orang yang dicintainya. Bukan karena perselingkuhan, perselisihan, tetapi semata karena waktu. Garis waktu yang bernama kematian telah memisahkan dua orang yang saling mencintai, menyisakan salah satunya dalam kefanaan dan kesedihan. Dalam kesunyian dan sejuta andai.

Dan bagiku, puisi itu memberiku rasa penasaran yang tak kunjung terjawab. Apa yang terjadi? Bagaimana kematian merenggut sang kekasih darinya? Ah, sang pujangga pasti sangat mencintai kekasihnya. Pernah, dan masihkah? Sudahkah ada orang yang menggantikan posisi sang kekasih? Atau tidak akan pernah ada?

Aku sangat ingin menemuinya. Bukan karena mengagumi karyanya, ketabahan hatinya, atau untuk memberinya kekuatan. Tetapi karena aku ingin berhadapan dengan personifikasi cinta. Aku ingin tahu, seperti apa cinta itu. Aku ingin melihat bagaimana sorot matanya akan selalu memancarkan kerinduan yang sangat pada kekasihnya, setiap nostalgia itu berputar dari gulungan memori di hatinya. Aku ingin melihat apa yang bisa diperbuat kematian pada cinta. Mungkin aku terlalu egois.. tidak, aku memang egois.


Untuk si Belut...




Tak pernah sebelumnya aku menganggap hujan adalah simfoni yang pilu. Bagiku, hujan adalah melodi yang merintik, menceritakan pada bumi tentang perjalanan sang air mengarungi angkasa. Membawa segenap rahasia alam, yang hanya bisa dimengerti sang bumi. Mungkin karena itu pula, bumi dengan sabar dan tenang mendengarkan, menampung semua curahannya…Satu malam itu, hujan tengah mengguyur Bandung dengan lebatnya. Menyisakan hanya secuil ruang kecil yang kering, yang hangat. Jalanan, atap, rumah, gedung, semuanya basah tanpa kecuali. Termasuk payung biru di genggamannya.

Aku menatapnya lemah. Baru saja ia menceritakan padaku tentang seorang dia yang mengisi hatinya empat tahun terakhir ini. Seorang yang ia katakan tak akan bisa ia miliki, tak akan bisa ia peluk, tak akan ada di saat paling sedih dan bahagia hidupnya. Seorang yang ia cintai diam-diam, seorang yang bisa setiap hari ia temui, seorang yang mungkin hampir setiap saat berada di sampingnya.

Dan, aku tertawa. Tertawa yang teramat pahit, karena perasaan lara itu mengusik hatiku lagi. Ah, bukan hanya lara. Segala macam perasaan; entah itu gembira, entah itu salut, entah itu cemburu, entah itu sedih, entah itu sepi. Semuanya bercampuk aduk menjadi satu.

Kukatakan padanya, “Aku tak percaya tentang cinta, tentang hubungan dua insan manusia lagi…”

“Kenapa?”

Aku tersenyum, lelah. Ada beribu ‘karena’ yang bisa kuucapkan. Tapi pada akhirnya, hanya perasaan sentimental usang itu yang lagi-lagi kutemui. Perasaan sentimental yang menolak seluruh rasio dan akal sehat. Yang membuatku membuang semua mimpi yang ada di depan sana, dan justru memunguti satu per satu serpihan masa lalu yang retak.

Aku menghela napas. Dan ia tersenyum simpatik.

“Kenapa juga kamu masih mengharapkannya?” tanyaku.

“Karena aku cukup puas dengan perasaan ini. Tanpa beban, tanpa keresahan, dan tanpa kecurigaan..”

“Pernahkah kamu merasa sangat sepi?”

“Tidak..”

“Itulah yang kurasakan sekarang….”

Ia tertegun. Dan itulah terakhir kali aku mendengar kabar darinya.

Melodi Hujan




Tak pernah sebelumnya aku menganggap hujan adalah simfoni yang pilu. Bagiku, hujan adalah melodi yang merintik, menceritakan pada bumi tentang perjalanan sang air mengarungi angkasa. Membawa segenap rahasia alam, yang hanya bisa dimengerti sang bumi. Mungkin karena itu pula, bumi dengan sabar dan tenang mendengarkan, menampung semua curahannya…

Tapi pemandangan di depanku sedang mengisyaratkan sesuatu yang lain. Di bawah payung biruku, kulihat punggung yang familiar. Dari semua tempat di kota, tak pernah kukira akan kutemukan dia di sini.

Punggung itu kuyup. Dan hatiku trenyuh. Mengapa mesti hujan sekarang? Apakah langit juga tengah bersedih?

Aku berjalan mendekat, dan memayunginya. Kukira ia akan menggigil; cuaca begitu menusuk. Tapi ia membisu di sana, seperti tenggelam dalam kesunyian panjang. Seperti menceburkan diri dalam beku, dalam waktu yang seakan berhenti berdetak.

Di luar dugaanku, ia tak lagi menepis payungku, seperti yang sudah-sudah. Ia hanya diam. Pipinya yang basah membuatku tak tahu, apakah ia masih menangis menatap selembar foto bisu di hadapannya.

Ingin rasanya aku merengkuhnya. Mengatakan bahwa ia masih akan memiliki diriku. Tapi, aku tahu, terlalu banyak yang mesti dikorbankan dengan keegoisanku ini. Dan, jadilah aku yang sekarang; alien yang datang ke bilik kecil permenungannya. Dunia asing yang tak akan pernah bisa kumasuki…

“Ayo pulang…” bisikku lirih, sambil menggandeng tangannya.

Lalu ia akan berpaling, menatapku dengan matanya yang teduh. Mata yang begitu dalam, mata yang disarati kesepian dan luka.

Ia mengangguk samar. Lalu kami akan berjalan meninggalkan pemakaman itu, sambil membawa sesuatu dalam hati masing-masing.

Dan sore itu, hujan memang sedang memainkan simfoni yang lara, yang entah kapan selesai. *

Cuap-cuap Ga jelas...




Sekarang Bandung sedang musim hujan.

Setiap gerimis mulai menetes, aku pasti akan mulai menggerutu. Kenapa sih hujan? Lalu orang-orang akan mulai berkata, koq elo egois? Bukannya hujan itu baik, ya? Mikirin donk para petani...

Aku hanya bisa tersenyum kecut. Ingin rasanya menjelaskan, aku bukannya melarang hujan turun. Aku juga tidak terbuat dari kertas, yang akan segera basah dan rapuh begitu diterpa hujan. Tapi, di detik terakhir, aku selalu hanya mengurungkan niat itu. Karena penjelasan detail hanya akan menambah satu predikat untukku: cerewet! Sungguh orang-orang yang judgemental!

Jujur saja, aku suka hujan. Suka rinainya yang menghujam bumi. Udah pernah gw ceritain di friendster gw seh.
Dan begitu hujan turun, aku suka menatap jalanan, yang mendadak jadi jauh lebih semrawut. Aku suka melihat bagaimana orang-orang kemudian berjalan dengan bergegas, mencoba mencari tempat yang teduh, atau mungkin untuk segera sampai di rumah....

Lalu, kenapa aku menggerutu?
Ya, aku heran. Kenapa sih hujan tidak turun di malam hari saja?
Tapi siklus hidrologi tidak pernah bisa berkompromi, kan?


Pernikahan

Ri?’

Arina membuka matanya.

Kamu baik-baik, Ri?’

Ia menoleh. Dan menemukan wajah sahabat baiknya, sedang menatapnya penuh simpatik.

Butuh beberapa detik sebelum ia menyadari situasi di sekelilingnya: beberapa orang sedang membereskan meja-meja, lampu-lampu hias sudah tidak menyala lagi, juru foto masih sedang mengambil beberapa gambar. Sudah agak sepi. Berarti pesta telah selesai.


Malam ini, sekali lagi sepasang manusia telah dipersatukan oleh satu ikatan yang dinamai pernikahan. Dan setiap kali melihat raut-raut kebahagiaan yang menghiasi wajah mama-papa dan Mas Bimo, Arina mencoba meyakinkan dirinya sendiri, pernikahan memang pelabuhan paling sempurna untuk kapal-kapal cinta.


Tapi, ia tidak merasa pernikahan itu sesuatu yang perlu. Saat semua gadis seusianya di kampung ramai membicarakan pernikahan impian mereka, Arina akan mulai bertanya-tanya tentang kebahagiaan. Tentang cinta.


Tidak, ia bukannya membenci pernikahan. Mama-papa selalu harmonis dalam 25 tahun pernikahan mereka. Setidaknya, begitulah kata orang-orang. Arina bahkan selalu berharap yang terbaik untuk setiap pernikahan yang terjadi, dan turut merasa bahagia melihat kebahagiaan pasangan-pasangan baru itu. Ia juga cantik dan banyak cowok yang berminat padanya. Praktis, tidak ada alasan untuknya merasa benci atau pesimis terhadap pernikahan dan cinta.

Tetap saja, di atas semua kelebihannya, ia tidak bermimpi akan menikah. Karena itu juga, kadang ia merasa heran, mengapa wanita yang umurnya mendekati 30 tahun seharusnya gelisah mencari jodohnya. Kemudian ia mulai mengerti, pernikahan bukan hanya perkara cinta. Tetapi juga perkara ‘apa kata tetangga, sanak famili, dan orang-orang nanti’. Juga perkara kehormatan. Juga perkara punya anak yang diakui orang-orang, yang kemudian bisa jadi penerus keluarga. Untuk yang terakhir ini, harus ditebus suami dengan nafkah rutin setiap bulannya. Dan sang istri akan membayarnya dengan menjadi paket all-in-one: melayani suami dan melahirkan anak.

Makin lama, bagi Arina, semua itu makin terdengar seperti perdagangan.

Ia tak pernah bisa lama-lama menghadiri pesta pernikahan, sehingga mama tak pernah mengajaknya. Tapi kali ini, ia tak bisa kabur. Karena yang menikah adalah kakak laki-laki dengan sahabat baiknya. *


Cinta Bukanlah Sesal





Nyolong kalimat Wild06 di kaskus. Kalimatnya simple sekali, tapi kena banged!

Ketika kita terluka karena kita mencintai seseorang, sedikit banyak pasti ada secuil sesal di hati. Entah itu berharap tak pernah bertemu dengan si dia, entah itu berharap waktu bisa kembali untuk mengulang dari awal, entah itu kesempatan kedua untuk menjadi orang yang lebih baik lage.


Dan gw lalu inget lage kata-kata mantan gw, ‘saat kau jatuh cinta, saat itu pula kau harus sudah siap terluka..’. Ya, saat kita jatuh dan mencinta, saat itu pula kita bisa merasa terluka. Merasa sakit hati. Merasa patah semangat. Merasa berada paling down. Frustasi. Kecewa. Dan berjuta perasaan tidak menyenangkan lainnya.


Tapi itu semua juga menandakan kalau kita tak pernah benar-benar siap untuk jatuh cinta. Kita tak pernah benar-benar dewasa menghadapi cinta. Dan keinginan untuk menghindari perasaan luka itu juga berarti kita adalah makhluk yang egois.

Memang, sangat manusiawi kalau mengaku kecewa atau sedih saat patah hati. Hati ini kan terbuat dari daging dan darah. Lalu, apakah harus berlarut-larut dalam kesedihan itu? Lalu, apakah itu semua harus merenggut kepercayaan kita bahwa di dunia ini masih ada yang namanya cinta? Lalu, apakah itu semua harus membuat kita enggan memulai suatu hubungan yang baru lagi?


Gw pribadi akan dengan yakin menjawab, TIDAK! Aku tidak akan jera, dan tak boleh jera. Mimpi harus diperjuangkan, ia tidak jatuh dan datang sendiri padamu. Ia akan menjelma nyata suatu saat nanti.

Mendadak, aku merasa jauh lebih baikan. Cinta tak melantunkan sesal, seperti judul novelnya Mira W. Dan aku tak menyesal telah bertemu dengan seorang dia, telah mengatakan aku menyayanginya, dan kemudian harus berpisah dengannya. So, buat si DIA, semoga kamu bahagia ya, karena aku tahu, kamu layak mendapatkannya.

Gone




Dua hari tanpa kabar.

Ia menghilang, seperti ditelan bumi. Tanpa jejak. Tanpa pamitan. Dan tanpa kejelasan apapun.

Aku termangu. Terdiam. Tak mampu memahami. Tak bisa mencerna semua ini. Apa artinya?

Palsukah semua itu? Semukah? Tapi ia tampak begitu nyata. Atau dirikukah yang membiarkan diriku sendiri tertipu?

Tak yang bisa kulupakan. Karena tak ada kenangan apapun tentang dia.

Tak ada yang bisa kuhayati kembali. Karena tak ada alur dan cerita untuk hubungan ini.

Awal yang mungkin tak pernah bermula. Entahlah!

Jika ia memang ingin menghindariku, ia telah berhasil.

Inikah...selamat tinggal darinya?

Negatively Charged ME




Gw selalu negatif. Kadang bisa sangat sensitif. Ga pernah bisa berpikiran baik mengenai orang. Selalu menganggap diri sendiri adalah yang terbaik. Rasanya kuping ini sudah terlalu terbiasa dengan berjuta-juta pujian, hingga akhirnya gw lupa diri.


Memang ego gw terlalu besar. Besar sekali – setiap saat rasanya siap meledak. Tapi berkali-kali gw hanya terhempas dashyat ke bumi. Terhempas dari ketinggian yang tak terlihat. Terhempas ke tanah yang luar biasa keras. Tidak mati, memang. Tapi sakitnya itu, lho! Mak jang….


Gw selalu negatif. Saking negatifnya, gw bisa memperkeruh suasana yang memang sudah keruh. Gw bisa semakin terjerumus ke dalam lubang hitam kekesalan. Dulu, sampai sekarang rasanya masih, gw bisa ngumpat-ngumpat ke orang, bisa ngomel panjang tanpa henti kalo udah ketemu mood jelek. Parahnya, pendendam pula. Ga gampang memaafkan dan ga gampang melupakan kesalahan orang.


..

Gw ingin berubah. Ingin bisa berpikir positif. tapi gimana caranya menyelamatkan si pungguk yang sudah busuk ini? (keluh)..


IMissMyCellPhone



HP gw ilang. Yah, Sony Ericcson W810i tercinta gw mendadak raib. Dan waktu gw ngasih tau ke orang-orang, reaksi mereka umumnya sama: ‘Hilang di mana?’ Reaksi yang kadang bikin gw sedikit sebel. Kenapa sebel? Pertama, bayangin, kalo gw kasih tau ke semua orang hp gw ilang, dan pertanyaan mereka yang pertama pasti itu, artinya gw harus menjawab dengan jawaban yang sama. Bosen ga sih? Rasanya lebih parah daripada menghapal bahan ujian, karena it’s definitely kalo gw ga mau ngingat-ngingat lagi kenangan yang menyakitkan itu. Lalu, kedua, gw sedikit heran, apa orang ga nyimak ya, kalo gw bilang hp gw ilang? Ya itu artinya gw kaga tau donk, ilangnya di mana. Kalo gw tau ilangnya di mana, itu namanya KECECER! Dan pastinya, dalam kasus gw, ga bakal terjadi karena gw pasti bakal balik ke tempat itu buat nyari hp gw…

Anyway, gw ga perlu lagi ngulang cerita dan detail yang sama di sini. But, jauh di dalam lubuk hati gw, gw kangen sama hp gw itu. Kangen ama bunyi alarmnya yang tak kenal menyerah membangunkan gw, meski udah gw snooze berulang kali. Kangen ama MP3 yang gw putar, satu lagu saja dan kaga loop, setiap malam buat nganterin gw ke alam mimpi. Kangen ama kameranya yang bisa gw pake buat narsisan. Kangen ama modem terintegrasi yang bisa gw pake surfing di net.. biarpun kaga sering2.. Sumpah, hidup gw jadi sunyi. Banget.

Lalu, kapan beli hp baru?

Guys, gw besok ultah loh. Dan gw lagi ngincer hp P990i atau P1i…karena touch screen ama udah bisa wifi! Hehehe, gile aja kalo nyokap atau engko gw tau. Sudah ngilangin hp, berani pula minta hp mahal.. hehe. Tapi, serious, selain nunggu keadaan di pasar, gw juga sedang memberi pelajaran buat diri gw sendiri. Buat short term memory lost gw yang parah abis…

So, doain gw ya, dalam kesunyian hidup gw. Semoga gw bisa survive…^^ -END

HariIniTakAdaTulisan



Layar monitor yang berpendar. Secangkir kopi dingin yang tinggal separuhnya. Malam gelap pekat yang sunyi…

Kutatap nanar satu layar putih di hadapnku. Judul atasnya masih Document1.

Entah sudah berapa kali aku mengetik, untuk kemudian kuhapus kembali dengan satu tombol backspace yang kupencet lama-lama.

Entah sudah berapa kali pula layar itu menampilkan kata-kata yang kuketik, untuk kemudian menjadi putih melompong kembali.

Kuhela napas. Kulepas kaca mataku, dan kupijat-pijat mataku.

Tidak ada deadline yang mesti dikejar.

Tidak ada kantung kosong yang mesti dipenuhi dengan honor hasil menulis.

Bahkan mungkin tidak ada orang yang merasa kehilangan, karena aku tak punya pembaca. Kecuali diri sendiri, yang kadang membutuhkan nostalgia. Yang kadang butuh membuka kembali lembaran-lembaran lama.

Tapi selalu ada ego untuk bertemu dan berbincang dengan diri sendiri. Selalu ada hasrat, entah itu hasrat untuk menulis atau sekadar melarikan diri dari kepenatan sehari-hari. Selalu ada kejujuran yang menunggu untuk bermuara.

Lalu, haruskah itu semua menjadi beban?

Aku menggeliat. Jam weker kecil di hadapanku sudah menunjukkan pukul 3 pagi.

Hari ini tak ada tulisan. Biar sesekali diam yang berbicara. –END