Coba

ketika perpisahan...


[act 3]

Senja sudah melingsir ketika aku berjalan menapaki trotoar untuk pulang.
Semilir angin yang berembus menerbangkan beberapa helai daun, membuat mataku spontan mengikuti arah jatuhnya daun-daun itu. Aku selalu menyukai pemandangan ini.

Lalu mataku menangkap bayangannya.

Ia sedang berjalan ke arahku, dengan tatapan menerawang ke arah jalanan.

Aku terdiam. Semestaku hilang begitu saja ketika dia berhenti beberapa puluh senti di hadapanku. Untuk sesaat, kami hanya saling berpandangan.

Kulemparkan sebuah senyum getir. Tak pernah kukira bertemu kembali dengannya akan menyulitkan seperti ini.
***

Gimana kabar?’
Aku terperanjat. Setelah keheningan selama hampir 30 menit, tak kukira dia akan mulai bersuara.

Baik,’ kutatap wajahnya. Dan semua kenangan yang ingin kukunci rapat-rapat di hipokampusku segera meluber dan berhamburan keluar.
Segera kusedot es teh di hadapanku.

Apa kabarmu sekarang?’ Aku mencoba menetralisir seluruh kecamuk yang berprahara di benakku.
Aku baik. Sekarang sudah pindah kost.’
Kenapa?’
Dia tersenyum. ‘Tidak ada alasan khusus. Paling karena aku ngedapetin kos lain yang lebih murah.’

'Rumahnya gimana? Lebih nyaman?’

Dia mengangguk.

***

Kutatap punggungnya berlalu dari café. Sekali lagi, ia berlalu dari hidupku. Kupenjamkan mata.

Aku masih amat mencintainya. Tapi kata-kata itu kini hanya tinggal artefak usang, yang hanya menjadi penanda bahwa dia pernah hadir dalam hidupku. Tak pernah kukira bertemu kembali dengannya akan menyulitkan seperti ini.

Aku berbalik, menghadapi jalanku sendiri.

Kulangkahkan kakiku yang terasa berat. Sementara hatiku yang lemah sudah porak-poranda.

Aku harus terus…jangan menoleh lagi… itu hanya masa lalu..

Kupenjamkan mataku lagi. Betapa inginnya aku lari dari kenyataan ini.

Tapi…
Kugigit bibirku. Aku tak ingin mengingkari seluruh rasa ini. Aku menoleh.
Dan jalanan yang ramai itu terasa lengang. Aku tak menemukan bayangannya.

***

End of summer’06.
Help me, to be awaken from this long sweet but fake dream

If you’re not for me, why we had to meet? …

ketika perpisahan...

[act 2]

Kugeser sliding door.

Pemandangan malam dengan dinginnya segera menyapa seluruh reseptor rasa di tubuhku. Kudekap kedua lenganku.

Sudah berapa lama?

Balkon ini telah menjadi asosial sejak hari itu.

Aku pun menengadah, mencari kerlip bintang. Kulihat bintang seperti tengah berlomba memenuhi angkasa gelap.

Ada berapa jumlahnya? Seperti itulah dirinya yang tak terhitung di dalam benak kecilku…

*
“Jangan diam.”

Dia menatapku heran.

“Ketika kamu diam, kamu terlihat menerawang jauh… Dan aku takut, karena aku tak pernah bisa menebak apa yang sedang kau pikirkan. Aku takut tak bisa menyeretmu pulang ke alam nyata, alam di mana aku eksis secara nyata..”

Dia tersenyum. Lalu memelukku, seperti yang sudah-sudah.

*
Aku tak bisa memungkiri, dan tak ingin mungkir, betapa aku kangen padanya. Pada tawanya. Pada matanya yang begitu penuh kehangatan. Pada hari-hari ketika ada dirinya.

Semuanya….

Tapi masa lalu sampai kapanpun hanya akan menjadi masa lalu. Tidak ada apapun yang bisa menghadirkannya kembali.

*

Ada yang ingin kukatakan…”

“Katakanlah…”

Dia menatapku dengan tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Ketika sekian menit berlalu, dan dia masih membisu, aku mulai khawatir. Sesuatu yang buruk sedang terjadi.

Ada apa?”

“Mungkin sebaiknya kita berpisah saja…”

Berpisah? Kata-kata itu seperti air bah yang tiba-tiba menyeretku dari dataran kebahagiaan, dan menenggelamkanku dalam lautan penderitaan. Dadaku serasa sesak. Untuk sekian detik, aku tak mampu berkata-kata.

*

Aku tersenyum pahit. Tak seharusnya aku terus menghayati semua kenangan ini. Ketika perpisahan tiba, awal yang baru akan kembali bermula. Ketika perpisahan tiba, aku harus merelakan. Aku harus hidup dengan baik, seperti saat-saat sebelumnya.

Mungkin benar, tiada alasan bagi dua orang yang saling mencintai untuk berpisah, kecuali jika cinta itu tak ada lagi. Tapi, cinta saja tak cukup.

Aku yakin, dia pernah amat mencintaiku. Dan itu saja sudah cukup buatku. Semoga dia bisa menemukan mataharinya lagi. Semoga dia bisa menemukan seseorang yang bisa menemani perjalanan panjangnya. Asalkan dia bahagia….

Bandara 04:30


[inspired from the song by david tao, airport 10.30]

Kutengadahkan kepalaku. Mencoba mengusir sisa-sisa kantuk kemarin. Aku tersenyum samar tatkala kuingat kembali wajah Airin yang tengah tertidur pulas di pelukanku.

Sejak kami bersama dua tahun yang lalu, tak pernah kupikirkan hari ini akan tiba. Hari ketika aku akan beranjak untuk berpisah dengannya...

Rin, aku kangen...

Aku tahu, dengan segala logika, tak mungkin aku memintanya ikut bersamaku, betapapun aku mencintainya. Aku tahu ia pasti bersedia. Tapi, aku tak tega. Karena ikut bersamaku berarti dia harus meninggalkan semua kehidupannya di sini.

Jika perpisahan membuat kita masing-masing lebih dewasa.. aku akan belajar, Rin.. menjadi lebih baik...

Sepasang orang tua lewat dihadapanku, sambil bergandengan tangan. Kelihatannya mereka hendak berpergian. Aku kembali tersenyum. Alangkah bahagianya...

Aku bangkit dari tempatku duduk. Aku harus segera chek-in. Sebentar lagi pesawat akan berangkat.

Kumatikan ponselku. Airin pasti masih tidur.

Aku berangkat, Rin.. Tunggu aku...