Selalu seperti ini...

Lamat-lamat ritme circadian dalam tubuhku membangunkanku dari mimpi. Kubuka mata. Kuhirup napas panjang.
Sinar matahari yang keemasan menembus celah-celah tirai jendela di samping tempat tidurku. Sudah pagi.
Kulirik bantal di sebelahku. Kosong. Seperti biasa. Sekali lagi, kutarik napas panjang.
Aku bangkit, lalu berjalan menuju ke jendela. Kusibak tirai, membiarkan sinar matahari menyengat mataku. Di ufuk timur sana, matahari baru saja menampakkan diri, menjanjikan aroma kesegaran untuk satu hari yang baru.
Kupeluk kedua lenganku. Meresapi sendiri rasa kagum yang membanjiri benak kecilku, meluap tanpa mampu menemukan tempat bermuara.

Ya, karena engkau tak pernah ada di sini bersamaku…
Selalu saja seperti ini.
*

Kupandangi lekat-lekat dua gelas minuman yang tersaji di depanku. Satunya cappuccino, yang lainnya es lemon.
Tiga jam yang lalu, proposal proyekku diterima. Itu berarti aku juga berhak memperoleh promosi. Untuk itu, rekan-rekanku membuatkan sebuah pesta kecil untukku di kantin kantor.
Tapi acara itu belum selesai ketika aku beranjak pergi. Aku ingin merayakannya bersama seseorang.
Dan di sinilah aku sekarang. Di café yang tiap jamnya kian bertambah sepi.
Aku tertawa pahit. Kutinggalkan kehangatan teman-temanku untuk menyongsong dinginnya rasa sepi.
Kuteguk habis kopi yang telah mendingin itu.
Sementara gelas es lemon itu selalu masih utuh dan penuh berisi.

Selalu saja seperti ini.
*

Kunyalakan lampu kamarku. Pemandangan yang sama membentang di hadapanku. Semuanya terasa kosong dan hambar.
Kuambil sekaleng coke dingin dari dalam kulkas. Perlahan aku berjalan ke arah jendela.
Malam terlihat gemerlapan. Tetapi cahayanya tak akan pernah mencapai kegelapan di hatiku. Gelap itu akan terus teronggok dan terlupakan. Gelap yang selamanya akan tetap menjadi gulita.
Mengapa mesti selalu seperti ini?
*
Mimpi buruk yang menggigit kesadaranku membangunkanku dari tidur.
Aku terengah, mencoba memasukkan sebanyak mungkin oksigen ke dalam paru-paru. Jantungku seolah terus berpacu dengan waktu.
Kuseka peluh dingin yang membasahi keningku, lalu kuraih botol minum di samping ranjang.
Baru jam tiga pagi. Dan seperti biasa, bantal di sampingku masih rapi. Secuil perasaan takut meresap di hatiku, mengurung seluruh keberanianku.

Aku membutuhkanmu….

Kupeluk kedua lututku. Hanya kesunyian yang bergema memenuhi seluruh ruang kosong.
Selalu seperti ini.
*

Dari jendela kacaku, kutatap ia memasuki sedan putihnya dan melaju pergi.
Kuhela napas panjang.
Masih adakah arti semua yang kujalani saat ini? Dia tak pernah ada saat aku bahagia. Tak pernah hadir saat aku sedih. Dan tak pernah berada di sampingku, di saat aku paling membutuhkannya…

Aku lelah hidup dalam bayang-bayang seperti ini. Aku tak ingin hanya menjadi pelarian belaka…
Tapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku tak menginginkan perpisahan. Aku mencintainya, dan aku tak memerlukan dia juga mencintaiku.

Kugigit bibirku, berusaha menahan rasa getir yang menggerogoti perasaan sentimental di dalam hatiku.
Seperti biasa, aku gagal melakukannya.
*

Aku diam menatap kamarku.
Kamar yang pernah terasa demikian besar dan penuh, sekarang menjadi demikian lengang dan kecil.
Kuhela napas panjang. Baru setengah jam yang lalu, kuputuskan untuk mengakhiri semua kegetiran ini.
Rasanya demikian tidak adil. Sesuatu yang kubangun bertahun-tahun kini lenyap hanya dalam hitungan detik.
Dia telah berlalu dari kehidupanku. Seharusnya aku gembira dan bahagia. Tetapi hatiku malah dipenuhi rasa kangen. Kangen pada hari-hari yang pernah kumiliki dengannya…

Kutatap langit melalui jendela kaca. Kudapati lembar terakhir daun kuning pohon maple di halaman rumah gugur tertiup angin.
Kini aku mengerti. Pohon besar itu tidak pernah menolak daun-daunnya. Daun-daunnyalah yang memilih luruh ke bumi.. agar daun-daun yang baru dapat kembali bermula.
Aku harus segera membiasakan diri lagi. Karena semua tak akan pernah sama lagi…
*END

Di Pojok Cafe

Kuteguk kopi di cangkirku yang ketiga. Kali ini sampai habis. Dan tanganku kembali terangkat ke atas. Tak lama, cangkir keempatku pun datang, masih mengepulkan asap.
Kunyalakan pemantikku, untuk membakar tembakau rokok. Batang rokok yang kelima. Kuembuskan asapnya ke udara, yang segera berdifusi dan lenyap.
Aku sedang menunggu seseorang, dan menunggu selalu membuatku senewen. Spontan kulirik jam di dinding.

Sepuluh menit lagi…

Lalu gadis itu melangkah masuk. Pelan-pelan, selangkah demi selangkah. Tapi bagiku, saat itu pula seluruh momenku serasa terhenti. . . . .
. . . aku lupa pada diriku sendiri. Aku lupa tarikan napasku. Lupa kedipan mataku. Lupa debaran jantungku.
Ia akan duduk di tempat yang sama. Dan aku akan mengamatinya memberi seulas senyum yang sama pada bartender. Kemudian bibirnya bergerak, memesan segelas es lemon. Setelahnya, ia pun mulai mengamati tamu-tamu lain.
Sesekali ia tersenyum. Dan aku juga akan tersenyum.
Di kali lain, ia bersedih. Dan aku juga akan bersedih.
Ia seperti menularkan emosinya ke atmosfer café yang kecil ini. Dan hanya aku yang tak punya immunitas. Karenanya, hanya aku yang tertular.

But it’s okay…

Begitulah ritual itu melebur dalam rutinitas harianku. Aku, yang berada di pojok gelap kecilku, mungkin tak pernah memiliki arti apa-apa baginya. Ia tak pernah tahu aku eksis di dunia, mengamatinya, dan bahkan menunggu setiap kehadirannya di café ini.
Tapi sekali lagi,
it’s okay. Karena ia tak perlu tahu.

Sejam lebih ia di sana. Lalu ia bangkit, melangkah perlahan keluar dari café itu.
Rambut panjangnya yang tergerai begitu saja melambai-lambai di kornea mataku. Punggungnya berlalu ditelan oleh udara luar.

Kumatikan rokokku. Kuhampiri kursi tempat ia duduk tadi.
Aku mengambil posisi tepat di sampingnya. Memandangi segelas es lemon miliknya, yang seperti biasa, masih penuh dan utuh. Enigma yang tak kupahami hingga sekarang.
*end

It's a talk to myself

Aku ingin, mendekapmu dalam belaian waktu
yang berlalu diterpa detikan jam
ngilu di sudut jantungku


aku ingin, mendekapmu dalam lalu usia
menatap binar matamu kala bangun pagi
berdebar dan berdetak pelan
d a n m e s r a


aku ingin, mendekapmu di sisiku
menjadi bagian dari jiwa yang terlengkapi
Menjejak nyata dalam segenap rasa


Aku ingin, mendekapmu
sekali saja....


Biarpun seluruh mimpi serasa tak tergenggam
Namun nyata!
----------------------------------------------------------------------------------


aku tahu aku mencintaimu..


menerabas semak belukar dan belati tajam
menikam hatiku yang rapuh dengan hujamannya


Biar!
Biar air mataku yang membasuh lukaku yang berdarah
meneteskan segenap cerita tentang rasaku padamu




Aku hanya tahu aku mencintaimu
meski itu berarti tersayat beling
terhuyung dalam maya tak tergenggam,
tapi tak'kan pernah tersungkur


karena aku hanya tahu..
....aku mencintaimu..


------------------------------------------------------------------------


Kau dengar?


Jantungku tengah berdegup kencang


Tak perlu adrenalin. Cukup kau saja.


Ia akan berpacu dengan perasaan ini


Menandai lembaran-lembaran kangenku padaku.
24 lembar sehari, putri. Dan 24 lembar saja tak akan pernah cukup.


Kau dengar?


Jantungku tengah berdebar
dan setiap bunyinya adalah engkau, putri..
-----------------------------------------------------------------------------------


Rembulan mengawang dalam gelap
sinarnya lembut, memantul di permukaan daun yang basah
terasa mengkilat, menghantarkan sekepul ingatan
yang lama teronggok di sudut otak kecilku


Sejak malam itu,
aku sudah berhenti mengukur dan menghitung
;detik-detik yang kalap dan berlari dengan terburu-buru
;jarak yang menguak nasib antara


.................................................. ........................................
29.04.06
-------------------------------------------------------------------------------


izinkan aku,
mekar mewangi selamanya
menebar keindahan cintaku padamu


izinkan aku
menjadi kelopak terindah
yang tiada 'kan layu, mengabarkan hangatnya mentari
yang menerpaku..
-------------------------------------------------------------------------------------

Maafkan Aku, Mei

Senja melingsir di ufuk barat. Warna lembayungnya memayungi langit, membiaskan rona merah yang menggurat angkasa sore.
Spontan kulirik jam di mobil. Angka-angkanya berkedip menunjukkan pukul 5 sore. Kemacetan di hadapan mengisyaratkan aku akan sampai di rumah sekitar jam 9 malam. Kuhela napas. Risiko jalan-jalan ke Bandung di malam minggu.
Sesekali kupalingkan wajahku ke kiriku. Ia telah tertidur rupanya. Kuulas senyum samar.
Mungkin dia terlalu lelah…

Wajah itu begitu polos. Begitu indah. Kubelai anak-anak rambut yang menjuntai di dahinya.

Kugenggam erat kemudiku. Di dalam hatiku sedang berkecamuk satu episode yang lain.

*
Kamu akan pergi?’
Kutatap wanita itu. ‘Iya.’

Ke mana?’
Perlukah kujawab?’
Aku menginginkan jawaban, Re.’
Aku mendengus. ‘Untuk apa?’

Untuk diriku.’
Kali ini, aku berpaling. Menghadap wanita itu.

*
Kupelankan mobil begitu mencapai gerbang tol. Aku takut membangunkannya. Aku takut membuyarkan mimpi indah yang membuatnya mengulas senyuman.

Aku sayang kamu… karena itu kau harus percaya, aku tak akan pernah menyakitimu
Kuhayati kembali kenangan perjumpaanku yang pertama dengannya. Sudah berapa lama sejak pertemuan di toko buku itu? Aku kembali tersenyum.

Betapa kehadirannya telah menyajikan kehangatan dan keceriaan dalam kegersangan hidupku.
Tol Cipularang yang sepi membuatku leluasa melajukan mobilku. Aku ingin melarikan diri dari waktu. Dari kenangan. Dari hipokampusku. Tapi betapa pun kerasnya aku berusaha, satu episode lain itu tetap terngiang di kepalaku.
*

Kau tak percaya padaku?’
Ini bukan soal percaya atau tidak, Re..’
Lalu?’
Ia memalingkan wajah.

Tak bisakah kau mengerti?’
Apa yang harus kupahami, Re?’ Kali ini ia menentang mataku. Dan kulihat sorot yang dibebani kesedihan yang sarat.
Percayalah padaku…Aku mencintaimu.’
Dengan semua kenyataan ini, Re?’
*
Sebentar kemudian angkasa merah telah berganti dengan senyapnya biru gelap. Kunyalakan lampu kabut, yang membelah aerosol yang didispersikan oleh udara.
Kupelankan AC mobil sambil meliriknya sejenak. Kedua matanya terpenjam.
Aku menyukai binar-binar di matanya yang bulat. Binar-binar yang menyiratkan perasaan gembiranya. Binar-binar yang membuatku tenggelam di dalamnya.
Tapi aku rela. Sekalipun aku harus lenyap demi dirinya, aku rela…
Aku mencintaimu tidak hanya dengan dua kata itu, Re
katanya suatu ketika. Dan sejak itu pula aku berhenti membanding-bandingkan. Berhenti mencari perbedaan antara dua orang yang menitipkan hatinya padaku.
Untuk apa? Toh aku tak pernah bisa memilih.
*

Kenyataan apa?’
Masih perlu kau tanyakan, Re? Keabsenanmu! Semua ketidakhadiranmu!’
Sudah kukatakan, aku tak bisa menemanimu terus-menerus!’
Ia terhenyak. ‘Bukan cuma sekali-dua kali, Re! Selalu! Kau tak pernah hadir dalam sedihku! Bahagiaku! Semua keseharianku!’

Bukankah sudah kukabari? Aku sibuk! Mengertilah!’
Ia kembali terperangah. Lalu menggelengkan kepalanya.
Hening. Kuhela napas.

Rasanya sakit, Re.. Semua kesendirian ini… semua kepahitan ini… Dan kau tak pernah ada…’ Ia memalingkan wajahnya lagi. Sebentar kemudian, kulihat bahunya bergetar.
*
Kerlip lampu hias kota menyambut kedatanganku di Jakarta. Malam yang gulita terasa demikian meriah. Kulirik kedipan jam digital di mobil. Sudah jam 9.
Kuhela napas. Aku tahu, betapa tak adilnya aku pada mereka berdua. Betapa egoisnya aku.
Tapi, perasaanku tulus pada keduanya.

Truth hurts… Dan kadang, lebih baik bagi semua orang jika aku tetap diam. Untuk apa mengetahui kebenaran jika itu menyakitkan?
*

Kuhela napas panjang. Aku tahu, kesedihan itu telah bermuara tanpa dapat dicegah.
Jangan menangis untukku.’
Hening.

Aku harus pergi.’ Kulangkahkan kakiku. Dan tepat di depan pintu, ia memanggilku.
Re..’
Aku menoleh.

Re, kau mencintaiku?’
Aku diam.

Re, aku akan menunggumu…’
*
Aku turun dari mobil untuk membuka pintu pagar rumah Airin. Ia masih tidur, dan aku belum ingin membangunkannya.
Kukeluarkan ponselku untuk menelepon orang rumahnya. Lalu kusadari, ada sebuah SMS masuk.

Mei
07/07/06 20:30
When nite comes
Let the twinkle stars
Send my love for you
***End***

Baru saja ingin kubalas. Tapi aku teringat Airin. Kuhapus SMS itu.

Maafkan aku, Mei …


Pangeran Kodok

'Dia mengajarkan aku banyak hal.. tapi dia lupa mengajarkan padaku bagaimana caranya tidak bersedih pada saat aku harus menghadapi perpisahan dengannya..'

'Dia boleh ga ingat ama gw, tapi dia ga boleh ga ingat kalau dia harus jadi orang yang bahagia..'

'Gw ingat dia, tapi dalam hatinya, sama sekali ga ingat padaku.. Perasaan semacam ini, tahukah engkau betapa menyedihkannya? Untuk apa kusimpan semua kenangan ini?'