Hari kemerdekaan RI. Ke-63.
Usia segito, untuk ukuran manusia, sudah tergolong tua. Sudah tergolong usia kakek-nenek, yang seharusnya sudah pensiun, membiarkan anak-anaknya bekerja membangun keluarga, dan menyaksikan cucu-cucunya bertransformasi dari bayi lucu menjadi anak-anak kecil yang badung.
Tapi, untuk ukuran sebuah negara, tua-mudanya usia itu, sangat relatif. Bandingkan dengan negara-negara seperti Amerika, atau Inggris, atau Prancis. Usia Indonesia yang masih berangka dua sebenarnya masih bole dibilang muda. Tapi coba bandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Rasanya, Indonesia boleh dibilang tua, meski mungkin hanya tua beberapa tahun. Tapi, Indonesia seperti tertinggal, seperti terseok-seok, dibandingkan, katakanlah Malaysia, atau Singapura.
Memang, umur tidak selamanya bisa dikaitkan dengan kemajuan atau pencapaian seseorang. Tetapi, paling tidak, umur yang lebih tua sering menandakan lebih banyaknya pengalaman. Umur yang lebih tua, dalam hal ini kemerdekaan, seharusnya memberikan lebih banyak kesempatan kepada pemuda negeri untuk membangun negeri dengan keringatnya sendiri.
Tapi, kenyataannya tidak begitu. Masih ingat lagu Ibu Pertiwi? Baris pertamanya begitu membuat trenyuh. Kulihat Ibu pertiwi..sedang bersusah hati.. (moga-moga ga salah lirik). Bayangkan Indonesia itu, ibu kita. Bayangkan pula Ibu kita, yang melahirkan kita, merawat kita, dan membesarkan diri kita dengan keringat dan darah, sedang bersusah hati. Dan bersusah hatinya karena kita pula. Kita, pemuda-pemuda bangsa, yang menggerogoti ibu kita perlahan-lahan. Miris.
Lalu, di usia Ibu Pertiwi yang sudah 63 tahun, apa yang bisa kita berikan? Hanya sebatas perayaan hari kemerdekaankah? Ucapan selamat dirgahayukah? Perlombaan-perlombaan tradisionalkah? Upacara benderakah, yang bahkan kita hadiri dengan setengah hati? Mimpi-mimpi dan doa-doakah, yang meski dibungkus dengan kata-kata indah, namun hanya ungkapan kosong belaka? Tulisan-tulisankah, yang bernafaskan patriotisme, tetapi tetap tak mampu memberikan solusi (seperti tulisan ini)? Rasa syukurkah, yang membuat kita punya negara sendiri, setelah mengorbankan banyak manusia yang kemudian kita sebut pahlawan, untuk kemudian memberikan kita kesempatan untuk melihat bagaimana harga diri kita sendiri terkoyak-koyak oleh krisis multidimensi? Yang mana? Lantas, di mana pula makna kemerdekaan itu, yang katanya bukan pemberian bangsa penjajah? Di mana momen-momen bersejarah yang terasa agung di buku sejarah itu?
Hari kemerdekaan RI. Memang pantas kita rayakan. Setahun sekali. Yang membuat cuti bersama terasa begitu wajar. Yang membuat semua kegiatan bole dihentikan sejenak.
Tapi, apa yang sesungguhnya kita rayakan di sini?
Usia segito, untuk ukuran manusia, sudah tergolong tua. Sudah tergolong usia kakek-nenek, yang seharusnya sudah pensiun, membiarkan anak-anaknya bekerja membangun keluarga, dan menyaksikan cucu-cucunya bertransformasi dari bayi lucu menjadi anak-anak kecil yang badung.
Tapi, untuk ukuran sebuah negara, tua-mudanya usia itu, sangat relatif. Bandingkan dengan negara-negara seperti Amerika, atau Inggris, atau Prancis. Usia Indonesia yang masih berangka dua sebenarnya masih bole dibilang muda. Tapi coba bandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Rasanya, Indonesia boleh dibilang tua, meski mungkin hanya tua beberapa tahun. Tapi, Indonesia seperti tertinggal, seperti terseok-seok, dibandingkan, katakanlah Malaysia, atau Singapura.
Memang, umur tidak selamanya bisa dikaitkan dengan kemajuan atau pencapaian seseorang. Tetapi, paling tidak, umur yang lebih tua sering menandakan lebih banyaknya pengalaman. Umur yang lebih tua, dalam hal ini kemerdekaan, seharusnya memberikan lebih banyak kesempatan kepada pemuda negeri untuk membangun negeri dengan keringatnya sendiri.
Tapi, kenyataannya tidak begitu. Masih ingat lagu Ibu Pertiwi? Baris pertamanya begitu membuat trenyuh. Kulihat Ibu pertiwi..sedang bersusah hati.. (moga-moga ga salah lirik). Bayangkan Indonesia itu, ibu kita. Bayangkan pula Ibu kita, yang melahirkan kita, merawat kita, dan membesarkan diri kita dengan keringat dan darah, sedang bersusah hati. Dan bersusah hatinya karena kita pula. Kita, pemuda-pemuda bangsa, yang menggerogoti ibu kita perlahan-lahan. Miris.
Lalu, di usia Ibu Pertiwi yang sudah 63 tahun, apa yang bisa kita berikan? Hanya sebatas perayaan hari kemerdekaankah? Ucapan selamat dirgahayukah? Perlombaan-perlombaan tradisionalkah? Upacara benderakah, yang bahkan kita hadiri dengan setengah hati? Mimpi-mimpi dan doa-doakah, yang meski dibungkus dengan kata-kata indah, namun hanya ungkapan kosong belaka? Tulisan-tulisankah, yang bernafaskan patriotisme, tetapi tetap tak mampu memberikan solusi (seperti tulisan ini)? Rasa syukurkah, yang membuat kita punya negara sendiri, setelah mengorbankan banyak manusia yang kemudian kita sebut pahlawan, untuk kemudian memberikan kita kesempatan untuk melihat bagaimana harga diri kita sendiri terkoyak-koyak oleh krisis multidimensi? Yang mana? Lantas, di mana pula makna kemerdekaan itu, yang katanya bukan pemberian bangsa penjajah? Di mana momen-momen bersejarah yang terasa agung di buku sejarah itu?
Hari kemerdekaan RI. Memang pantas kita rayakan. Setahun sekali. Yang membuat cuti bersama terasa begitu wajar. Yang membuat semua kegiatan bole dihentikan sejenak.
Tapi, apa yang sesungguhnya kita rayakan di sini?