"Aku teramat mencintainya. Hingga kalau suatu saat nanti, ia membutuhkan transpalantasi jantung, aku akan merelakan jantungku untuknya..."
Aku terdiam, menatap jendela di hadapanku. Kudapati bayanganku di sana: sendiri, lusuh, dan tak bercahaya. Semua pengharapan dan binar seperti tertelan dalam kesunyian panjang, yang tak menunjukkan tanda-tanda bertepi, atau berdasar. Kesunyian yang membuatmu merasa seperti tengah melayang, dalam jurang lebar yang gulita, yang membuatmu bertanya-tanya, kapan aku akan sampai di dasar, seperti apa dasarnya, akankah aku mati? Tetapi dalamnya jurang itu akhirnya membuatmu mati rasa, dan tak lagi bertanya-tanya.
"Meskipun dia tak pernah mencintaimu..?"
"Aku tak peduli. Karena hidupku, hanya untuknya.."
Aku bosan. Aku merana. Aku tak ingin lagi hanya menjadi penonton, yang menyaksikan bagaimana cinta ada, bagaimana cinta dipersembahkan. Dalam bentuk apapun. Aku juga ingin menjadi bagian dari cinta. Aku ingin merasakan lagi seperti apa mencintai seseorang, dan seperti apa dicintai. Aku ingin merasakan lagi seperti apa membiarkan seseorang memasuki pintu hatiku, dan berdiam di sana.
Dan yang ada dalam dunia kecilku, hanyalah gelap. Sunyi.
Di luar sana, hujan telah turun. Butir-butir airnya menetes di jendela kaca.
Apakah Dexter Benar-Benar Psikopat?
1 week ago