Cinta, kuberi nama ia hujan. Untuk titik-titiknya yang datang menghunjam, merajam, dan menajam. Menyentuh dengan caranya yang melingkupi, menyeluruh, dan menggenap. Turun dari langit, bertanggakan udara, meluruh dipeluk gravitasi, lalu berhenti di bumi.
Cinta, kusebut ia hujan. Bukan gerimis yang merintiki malu-malu. Bukan pula badai yang mengamuk bertalu-talu. Tetapi hujan, yang mendesau, mendesir, dan mendebar setiap mendung menjadi kelabu pekat. Yang membuat halilintar meronta dan mengerang, karena sakit yang tak tertahankan. Di sini, di dada. Di mana-mana.... Hujan, yang membuat air mataku serasa meleleh, tak tergenggam...
Cinta. Kuyup. Basah. Dan aku menadah...Menghitung. Nyatanya, aku tak sanggup mereda dalam kenangan akan engkau. Seperti hujan, tercurahkan bersama jenuh yang menggantung di awan.. Begitu saja. Dan di mana pawang?
19 november 2009, 03:18 PM
Apakah Dexter Benar-Benar Psikopat?
1 week ago