‘Ri?’
Arina membuka matanya.
‘Kamu baik-baik, Ri?’
Ia menoleh. Dan menemukan wajah sahabat baiknya, sedang menatapnya penuh simpatik.
Butuh beberapa detik sebelum ia menyadari situasi di sekelilingnya: beberapa orang sedang membereskan meja-meja, lampu-lampu hias sudah tidak menyala lagi, juru foto masih sedang mengambil beberapa gambar. Sudah agak sepi. Berarti pesta telah selesai.
Malam ini, sekali lagi sepasang manusia telah dipersatukan oleh satu ikatan yang dinamai pernikahan. Dan setiap kali melihat raut-raut kebahagiaan yang menghiasi wajah mama-papa dan Mas Bimo, Arina mencoba meyakinkan dirinya sendiri, pernikahan memang pelabuhan paling sempurna untuk kapal-kapal cinta.
Tapi, ia tidak merasa pernikahan itu sesuatu yang perlu. Saat semua gadis seusianya di kampung ramai membicarakan pernikahan impian mereka, Arina akan mulai bertanya-tanya tentang kebahagiaan. Tentang cinta.
Tidak, ia bukannya membenci pernikahan. Mama-papa selalu harmonis dalam 25 tahun pernikahan mereka. Setidaknya, begitulah kata orang-orang. Arina bahkan selalu berharap yang terbaik untuk setiap pernikahan yang terjadi, dan turut merasa bahagia melihat kebahagiaan pasangan-pasangan baru itu. Ia juga cantik dan banyak cowok yang berminat padanya. Praktis, tidak ada alasan untuknya merasa benci atau pesimis terhadap pernikahan dan cinta.
Tetap saja, di atas semua kelebihannya, ia tidak bermimpi akan menikah. Karena itu juga, kadang ia merasa heran, mengapa wanita yang umurnya mendekati 30 tahun seharusnya gelisah mencari jodohnya. Kemudian ia mulai mengerti, pernikahan bukan hanya perkara cinta. Tetapi juga perkara ‘apa kata tetangga, sanak famili, dan orang-orang nanti’. Juga perkara kehormatan. Juga perkara punya anak yang diakui orang-orang, yang kemudian bisa jadi penerus keluarga. Untuk yang terakhir ini, harus ditebus suami dengan nafkah rutin setiap bulannya. Dan sang istri akan membayarnya dengan menjadi paket all-in-one: melayani suami dan melahirkan anak.
Makin lama, bagi Arina, semua itu makin terdengar seperti perdagangan.
Ia tak pernah bisa lama-lama menghadiri pesta pernikahan, sehingga mama tak pernah mengajaknya. Tapi kali ini, ia tak bisa kabur. Karena yang menikah adalah kakak laki-laki dengan sahabat baiknya. *