inspired by Peluk, Dee feat Aqi Alexa.
Not as good as Dee's original piece, Peluk (Rectoverso), but enjoy. Bahasa Indonesia. Leave some feedback. ;-)
|Menahun, ku tunggu kata-kata, yang merangkum semuaDan kini ku harap ku dimengerti, walau sekali saja pelukku |
Dini hari. Sudah berapa jam bisu itu menjejak di atmosfer kita? Sudah berapa ratus menit pula kita habiskan hanya saling menatap, lalu berpaling, seolah dengan begitu semuanya akan usai? Tambahkan pula hitungan detik yang terus berdetak, berlari lamat-lamat, seolah ingin mengukir tanda-tanda nelangsa di wajah kita.
Atau, kebisuan ini malah sudah berlangsung selama bertahun-tahun? Di hari ketika kita berhenti saling memahami, dan malah berlari saling menjauh dan bersikap apatis. Atau, justru sejak tak ada aksara apapun yang bisa menggenapkan rasa yang ada di hati? Dan mendadak, cinta menjadi bahasa yang tak lagi kita pahami perbendaharaannya?
|Tiada yang tersembunyi, tak perlu mengingkariRasa sakitmu, rasa sakitku |
Tapi dini hari ini, hanya ada kita. Kita dan kebisuan kita. Yang mengairi relung-relung kita, dan bermuara seperti menjelma dalam secangkir kopi pekat yang pahit untuk sarapan di pagi hari. Yang mencuri pergi gula dan sendok-sendoknya, sehingga manis itu hanya menjadi sesuatu yang pernah ada..
Aku nelangsa, kau tahu itu.
Kau galau, aku tahu itu.
Tapi tak ada jembatan untuk menghubungkan rasa. Dan tahu tidak sama dengan paham.
Dini hari ini, tak perlu lagi bersembunyi dan bermain kucing-kucingan. Aku bukan kucing, kau bukan tikus. Kita lebih baik dari itu. Kau, lebih baik dari itu.
Aku menatapmu. Lekat-lekat. Mencerna lagi semua yang pernah ada. Melihat kembali bagaimana gulungan memori itu berputar - aku mencari-cari lagi rasa itu, berharap barangkali ada sorbitol yang bisa menawar. Lagi-lagi, yang terbayang hanya kopi kental keparat itu.
Aku mendengus.
|Tiada lagi alasan, inilah kejujuranPedih adanya, namun ini jawabnya |
Kau menatapku. Dalam-dalam.
Katanya, mata adalah jendela jiwa. Di dalamnya ada kejujuran yang mengalir, dan tak berhenti sekalipun didera kemarau dan dihadang karang. Seharusnya begitu. Dan itu menakutkan.
Karena di dalam matamu, ada kejujuran itu. Kejujuran yang membuat kita saling menghindar, seperti takut pada sengatan listrik.
Kau sadar. Aku sadar. Pedih itu tak hilang walau kita mencoba untuk lupa. Untuk amnesia. Tapi amnesia hanya ada dalam fiksi picisan - yang tak pernah gagal membuatmu menangis.
|Sadari diriku pun kan sendiri, di dini hari yang sepiTetapi apalah arti bersama, berdua
Namun semu semata|
Kakiku mengejang. Tanganku membeku.
Aku tak sanggup melangkah.
Aku tak bisa melewati jarak antara kita, yang meski dekat dalam satuan meter, sesungguhnya jauh tak terperi.
Aku menatapmu, lagi dan lagi.
Kau menatapku, lagi dan lagi.
Lidahmu kelu. Bibirmu terkunci rapat oleh waktu.
Aku berpaling, lagi dan lagi.
Kau berpaling, lagi dan lagi.
Kali ini, kau lihat tirai jendela yang menutupi selapis gelap yang pekat di luar.
Dan kudapati tembok yang sama bisunya. Kutinju sekali. Dua kali. Tiga kali. Dinding itu bergeming. Sakit di hati tak jua berkurang..
|Tiada yang terobati di dalam peluk iniTapi rasakan semua, sebelum kau kulepas selamanya
Tak juga kupaksakan setitik pengertian, bahwa ini adanya
Cinta yang tak lagi sama|
Tidakkah kau lelah?
Memaksakan seulas senyum.
Duduk semeja berdua untuk sarapan pagi yang selalu terasa hambar dan tawar.
Merasa pengap dalam ruangan yang sekarang terasa sumpek dan kecil, hingga ingin selalu berlama-lama di tepi langitmu yang selalu menunggumu membentanginya.
Tidakkah kau ingin bebas?
Sayapmu telah lama terkungkung. Rasanya pasti sakit.
Aku mengerti. Aku mengerti apa yang harus kulakukan.
Dan kulihat riak di wajahmu juga berubah, tatkala menatapku yang sedang memandangimu.
Aku tahu, kau juga telah mengerti.
Kuseret kakiku. Mendekatimu. Kini tak perlu lagi berpaling.
Kujulurkan tanganku. Menggapaimu. Merengkuhmu.
Kau membalasnya. Mendekapku erat-erat.
Kejujuran itu menemukan muaranya sudah. Kau tersedu. Air matamu menetes satu-satu, membasahi piyamaku.
Rasanya masih sakit..
Berhenti mencari aksara dan kata. Karena dalam kata selalu ada dusta. Dan kita tak lagi butuh alasan. Kita tak butuh rangkuman.
Lepaskanku segenap jiwamu, tanpa harus ku berdusta
Karena kaulah satu yang kusayang, dan tak layak kau didera
Dan kini ku berharap ku dimengerti, walau sekali saja pelukku
suatu sore, ketika hujan merintik dan lagu Peluk berputar diulang-ulang secara keji di mp3 player