Ia bersin-bersin ketika setangkup debu terbang menggelitik hidungnya. Sekali, dua kali, tiga kali. Ia mendengus, lalu beranjak membuka satu jendela yang menghadap ke jalan raya.
Cahaya siang yang berlomba-lomba masuk membuatnya menyipitkan mata. Jalanan di luar selengang ruangan kecil yang tengah ia bersihkan itu. Aroma pepohonan dan bau aspal kering terbawa angin yang mengembus. Segar.
Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum, memamerkan gingsul di pipinya. Usianya baru menginjak 16 tahun, namun binar kekanakan di matanya seolah memfosilkan masa silam yang penuh keceriaan. Sesekali, ia mengusap peluh yang menitik di dahi.
Ya, Mama akhirnya mengijinkan ia memakai kamar di attic, yang sebelumnya digunakan sebagai gudang penyimpanan barang-barang. Sejak dulu, ia memang menyukai ruangan ini, terutama karena sebuah tingkap kaca kecil di atapnya, yang membuat langit terlihat jelas. Di siang yang terik seperti sekarang ini, cahaya yang menerobos tingkap itu menyerupai lampu sorot di panggung balet. Waktu kecil dulu, ia sering menganggap dirinya seorang balerina cantik, yang menari di hadapan begitu banyak penonton. Ia paling suka berpura-pura menjadi Odette, putri cantik yang dikutuk menjadi angsa. Dan di malam penuh gemintang, setelah beranjak remaja, ia gemar membaringkan tubuhnya di lantai persis di bawah tingkap kaca. Dengan posisi terlentang dan sunyi yang memuai di udara, ia betah berlama-lama mengira-ngira konstelasi. Andromeda, Perseus, hingga ke Waluku dan Gubuk Penceng.