the random

secangkir kopi. secangkir segalanya. ia meneguk segalanya itu tanpa ragu, tanpa berhenti. 

dari pojok cafe, tinggal cahaya yang berwarna kekuningan, suhu ruangan yang diatur sehingga mencapai sekitar 20 derajad celcius, dan orang-orang yang berbincang dengan suara rendah. sebuah jendela kaca besar di sisi kirinya memungkinkannya melihat segala yang lain, di luar sana: malam yang gelap, cahaya lampu mobil yang melaju kencang, juga      gedung-gedung pencakar langit lainnya yang menjulang dingin. 

gedung-gedung tinggi membuatnya ketakutan sedikit, terutama setiap dia melongok ke bawah. ia gemar membayangkan dirinya terjatuh; bukan dalam sebuah upaya bunuh diri - ia sungguhan menentang ide-ide bunuh diri- melainkan dalam sebuah kecelakaan. bayangan-bayangan seperti itulah yang juga telah mengantarkannya mengunjungi tebing-tebing tinggi dan tempat-tempat bungee-jumping. ia memikirkan banyak hal ketika sedang menjatuhkan diri: seperti inikah rasanya jatuh dan mencintai? atau, seperti inch terjatuh dengan kecepatan yang sangat tinggi, yang tak bisa kita kendalikan? 

dua tahun yang lalu, idolanya memutuskan untuk membunuh diri. idolanya itu, meloncat dari apartemennya di lantai 30 sebuah gedung bergengsi. berbagai koran meliput berita tersebut, menjadikannya topik-topik di halaman pertama. televisi menayangkan duka-cita itu besar-besaran, dan beberapa bahkan menghadirkan orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai teman dekat si korban. ia merasa gamang, dan tersesat: bagaimana bisa orang yang memiliki segalanya di dunia ini, seperti idolanya itu, memutuskan untuk mengakhirinya begitu saja? dan terutama, ia bertanya-tanya: dalam perjalanannya menemui maut, apakah yang ia pikirkan? apakah yang ia kenangkan? apakah yang terlintas di benaknya? bahkan mendaki tebing dan menjatuhkan diri melalui bungee-jumping, ia tahu tak akan menjawab pertanyaan itu. 

kopinya sudah habis. ia menatap lagi gedung-gedung pencakar langit di seberang sana. gedung-gedung itu bercahaya; seperti kunang-kunang. kunang-kunang yang melayang bergerombol dan mencari entah apa. jika satu titik cahaya itu melambangkan kesepian dan titik cahaya lainnya melambangkan sebuah jiwa manusia, dan seterusnya dan seterusnya, lebih banyak mana: kesepian atau jiwa-jiwa manusia? 

ia berdiri: menempelkan wajahnya ke kaca jendela. jejak-jejak uap. ia tersenyum. 
dan berjalan mundur beberapa langkah. berlari. dan menerobos kaca jendela itu. 

waktu berhenti. 

hening yang lama. 
.
.
.
.

*sebuah upaya gagal mengetik sebuah cerita random tanpa menggunakan backspace. i need to practice more. 




0 komentar: