Kugeser sliding door.
Pemandangan malam dengan dinginnya segera menyapa seluruh reseptor rasa di tubuhku. Kudekap kedua lenganku.
Sudah berapa lama?
Balkon ini telah menjadi asosial sejak hari itu.
Aku pun menengadah, mencari kerlip bintang. Kulihat bintang seperti tengah berlomba memenuhi angkasa gelap.
*
“Jangan diam.”
Dia menatapku heran.
“Ketika kamu diam, kamu terlihat menerawang jauh… Dan aku takut, karena aku tak pernah bisa menebak apa yang sedang kau pikirkan. Aku takut tak bisa menyeretmu pulang ke alam nyata, alam di mana aku eksis secara nyata..”
Dia tersenyum. Lalu memelukku, seperti yang sudah-sudah.
*
Aku tak bisa memungkiri, dan tak ingin mungkir, betapa aku kangen padanya. Pada tawanya. Pada matanya yang begitu penuh kehangatan. Pada hari-hari ketika ada dirinya.
Semuanya….
Tapi masa lalu sampai kapanpun hanya akan menjadi masa lalu. Tidak ada apapun yang bisa menghadirkannya kembali.
*
“
“Katakanlah…”
Dia menatapku dengan tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Ketika sekian menit berlalu, dan dia masih membisu, aku mulai khawatir. Sesuatu yang buruk sedang terjadi.
“
“Mungkin sebaiknya kita berpisah saja…”
Berpisah? Kata-kata itu seperti air bah yang tiba-tiba menyeretku dari dataran kebahagiaan, dan menenggelamkanku dalam lautan penderitaan. Dadaku serasa sesak. Untuk sekian detik, aku tak mampu berkata-kata.
*
Aku tersenyum pahit. Tak seharusnya aku terus menghayati semua kenangan ini. Ketika perpisahan tiba, awal yang baru akan kembali bermula. Ketika perpisahan tiba, aku harus merelakan. Aku harus hidup dengan baik, seperti saat-saat sebelumnya.
Mungkin benar, tiada alasan bagi dua orang yang saling mencintai untuk berpisah, kecuali jika cinta itu tak ada lagi. Tapi, cinta saja tak cukup.
Aku yakin, dia pernah amat mencintaiku. Dan itu saja sudah cukup buatku. Semoga dia bisa menemukan mataharinya lagi. Semoga dia bisa menemukan seseorang yang bisa menemani perjalanan panjangnya. Asalkan dia bahagia….
0 komentar:
Post a Comment