Tak pernah sebelumnya aku menganggap hujan adalah simfoni yang pilu. Bagiku, hujan adalah melodi yang merintik, menceritakan pada bumi tentang perjalanan sang air mengarungi angkasa. Membawa segenap rahasia alam, yang hanya bisa dimengerti sang bumi. Mungkin karena itu pula, bumi dengan sabar dan tenang mendengarkan, menampung semua curahannya…Satu malam itu, hujan tengah mengguyur Bandung dengan lebatnya. Menyisakan hanya secuil ruang kecil yang kering, yang hangat. Jalanan, atap, rumah, gedung, semuanya basah tanpa kecuali. Termasuk payung biru di genggamannya.
Aku menatapnya lemah. Baru saja ia menceritakan padaku tentang seorang dia yang mengisi hatinya empat tahun terakhir ini. Seorang yang ia katakan tak akan bisa ia miliki, tak akan bisa ia peluk, tak akan ada di saat paling sedih dan bahagia hidupnya. Seorang yang ia cintai diam-diam, seorang yang bisa setiap hari ia temui, seorang yang mungkin hampir setiap saat berada di sampingnya.
Dan, aku tertawa. Tertawa yang teramat pahit, karena perasaan lara itu mengusik hatiku lagi. Ah, bukan hanya lara. Segala macam perasaan; entah itu gembira, entah itu salut, entah itu cemburu, entah itu sedih, entah itu sepi. Semuanya bercampuk aduk menjadi satu.
Kukatakan padanya, “Aku tak percaya tentang cinta, tentang hubungan dua insan manusia lagi…”
“Kenapa?”
Aku tersenyum, lelah. Ada beribu ‘karena’ yang bisa kuucapkan. Tapi pada akhirnya, hanya perasaan sentimental usang itu yang lagi-lagi kutemui. Perasaan sentimental yang menolak seluruh rasio dan akal sehat. Yang membuatku membuang semua mimpi yang ada di depan sana, dan justru memunguti satu per satu serpihan masa lalu yang retak.
Aku menghela napas. Dan ia tersenyum simpatik.
“Kenapa juga kamu masih mengharapkannya?” tanyaku.
“Karena aku cukup puas dengan perasaan ini. Tanpa beban, tanpa keresahan, dan tanpa kecurigaan..”
“Pernahkah kamu merasa sangat sepi?”
“Tidak..”
“Itulah yang kurasakan sekarang….”
Ia tertegun. Dan itulah terakhir kali aku mendengar kabar darinya.