Tak pernah sebelumnya aku menganggap hujan adalah simfoni yang pilu. Bagiku, hujan adalah melodi yang merintik, menceritakan pada bumi tentang perjalanan sang air mengarungi angkasa. Membawa segenap rahasia alam, yang hanya bisa dimengerti sang bumi. Mungkin karena itu pula, bumi dengan sabar dan tenang mendengarkan, menampung semua curahannya…
Tapi pemandangan di depanku sedang mengisyaratkan sesuatu yang lain. Di bawah payung biruku, kulihat punggung yang familiar. Dari semua tempat di kota, tak pernah kukira akan kutemukan dia di sini.
Punggung itu kuyup. Dan hatiku trenyuh. Mengapa mesti hujan sekarang? Apakah langit juga tengah bersedih?
Aku berjalan mendekat, dan memayunginya. Kukira ia akan menggigil; cuaca begitu menusuk. Tapi ia membisu di sana, seperti tenggelam dalam kesunyian panjang. Seperti menceburkan diri dalam beku, dalam waktu yang seakan berhenti berdetak.
Di luar dugaanku, ia tak lagi menepis payungku, seperti yang sudah-sudah. Ia hanya diam. Pipinya yang basah membuatku tak tahu, apakah ia masih menangis menatap selembar foto bisu di hadapannya.
Ingin rasanya aku merengkuhnya. Mengatakan bahwa ia masih akan memiliki diriku. Tapi, aku tahu, terlalu banyak yang mesti dikorbankan dengan keegoisanku ini. Dan, jadilah aku yang sekarang; alien yang datang ke bilik kecil permenungannya. Dunia asing yang tak akan pernah bisa kumasuki…
“Ayo pulang…” bisikku lirih, sambil menggandeng tangannya.
Lalu ia akan berpaling, menatapku dengan matanya yang teduh. Mata yang begitu dalam, mata yang disarati kesepian dan luka.
Ia mengangguk samar. Lalu kami akan berjalan meninggalkan pemakaman itu, sambil membawa sesuatu dalam hati masing-masing.
Dan sore itu, hujan memang sedang memainkan simfoni yang lara, yang entah kapan selesai. *
0 komentar:
Post a Comment