Maafkan Aku, Mei

Senja melingsir di ufuk barat. Warna lembayungnya memayungi langit, membiaskan rona merah yang menggurat angkasa sore.
Spontan kulirik jam di mobil. Angka-angkanya berkedip menunjukkan pukul 5 sore. Kemacetan di hadapan mengisyaratkan aku akan sampai di rumah sekitar jam 9 malam. Kuhela napas. Risiko jalan-jalan ke Bandung di malam minggu.
Sesekali kupalingkan wajahku ke kiriku. Ia telah tertidur rupanya. Kuulas senyum samar.
Mungkin dia terlalu lelah…

Wajah itu begitu polos. Begitu indah. Kubelai anak-anak rambut yang menjuntai di dahinya.

Kugenggam erat kemudiku. Di dalam hatiku sedang berkecamuk satu episode yang lain.

*
Kamu akan pergi?’
Kutatap wanita itu. ‘Iya.’

Ke mana?’
Perlukah kujawab?’
Aku menginginkan jawaban, Re.’
Aku mendengus. ‘Untuk apa?’

Untuk diriku.’
Kali ini, aku berpaling. Menghadap wanita itu.

*
Kupelankan mobil begitu mencapai gerbang tol. Aku takut membangunkannya. Aku takut membuyarkan mimpi indah yang membuatnya mengulas senyuman.

Aku sayang kamu… karena itu kau harus percaya, aku tak akan pernah menyakitimu
Kuhayati kembali kenangan perjumpaanku yang pertama dengannya. Sudah berapa lama sejak pertemuan di toko buku itu? Aku kembali tersenyum.

Betapa kehadirannya telah menyajikan kehangatan dan keceriaan dalam kegersangan hidupku.
Tol Cipularang yang sepi membuatku leluasa melajukan mobilku. Aku ingin melarikan diri dari waktu. Dari kenangan. Dari hipokampusku. Tapi betapa pun kerasnya aku berusaha, satu episode lain itu tetap terngiang di kepalaku.
*

Kau tak percaya padaku?’
Ini bukan soal percaya atau tidak, Re..’
Lalu?’
Ia memalingkan wajah.

Tak bisakah kau mengerti?’
Apa yang harus kupahami, Re?’ Kali ini ia menentang mataku. Dan kulihat sorot yang dibebani kesedihan yang sarat.
Percayalah padaku…Aku mencintaimu.’
Dengan semua kenyataan ini, Re?’
*
Sebentar kemudian angkasa merah telah berganti dengan senyapnya biru gelap. Kunyalakan lampu kabut, yang membelah aerosol yang didispersikan oleh udara.
Kupelankan AC mobil sambil meliriknya sejenak. Kedua matanya terpenjam.
Aku menyukai binar-binar di matanya yang bulat. Binar-binar yang menyiratkan perasaan gembiranya. Binar-binar yang membuatku tenggelam di dalamnya.
Tapi aku rela. Sekalipun aku harus lenyap demi dirinya, aku rela…
Aku mencintaimu tidak hanya dengan dua kata itu, Re
katanya suatu ketika. Dan sejak itu pula aku berhenti membanding-bandingkan. Berhenti mencari perbedaan antara dua orang yang menitipkan hatinya padaku.
Untuk apa? Toh aku tak pernah bisa memilih.
*

Kenyataan apa?’
Masih perlu kau tanyakan, Re? Keabsenanmu! Semua ketidakhadiranmu!’
Sudah kukatakan, aku tak bisa menemanimu terus-menerus!’
Ia terhenyak. ‘Bukan cuma sekali-dua kali, Re! Selalu! Kau tak pernah hadir dalam sedihku! Bahagiaku! Semua keseharianku!’

Bukankah sudah kukabari? Aku sibuk! Mengertilah!’
Ia kembali terperangah. Lalu menggelengkan kepalanya.
Hening. Kuhela napas.

Rasanya sakit, Re.. Semua kesendirian ini… semua kepahitan ini… Dan kau tak pernah ada…’ Ia memalingkan wajahnya lagi. Sebentar kemudian, kulihat bahunya bergetar.
*
Kerlip lampu hias kota menyambut kedatanganku di Jakarta. Malam yang gulita terasa demikian meriah. Kulirik kedipan jam digital di mobil. Sudah jam 9.
Kuhela napas. Aku tahu, betapa tak adilnya aku pada mereka berdua. Betapa egoisnya aku.
Tapi, perasaanku tulus pada keduanya.

Truth hurts… Dan kadang, lebih baik bagi semua orang jika aku tetap diam. Untuk apa mengetahui kebenaran jika itu menyakitkan?
*

Kuhela napas panjang. Aku tahu, kesedihan itu telah bermuara tanpa dapat dicegah.
Jangan menangis untukku.’
Hening.

Aku harus pergi.’ Kulangkahkan kakiku. Dan tepat di depan pintu, ia memanggilku.
Re..’
Aku menoleh.

Re, kau mencintaiku?’
Aku diam.

Re, aku akan menunggumu…’
*
Aku turun dari mobil untuk membuka pintu pagar rumah Airin. Ia masih tidur, dan aku belum ingin membangunkannya.
Kukeluarkan ponselku untuk menelepon orang rumahnya. Lalu kusadari, ada sebuah SMS masuk.

Mei
07/07/06 20:30
When nite comes
Let the twinkle stars
Send my love for you
***End***

Baru saja ingin kubalas. Tapi aku teringat Airin. Kuhapus SMS itu.

Maafkan aku, Mei …


1 komentar:

Meita Win said...

*senyum*
thank YOU!

what a really nice story,
I'm touched!

:)