Kuteguk kopi di cangkirku yang ketiga. Kali ini sampai habis. Dan tanganku kembali terangkat ke atas. Tak lama, cangkir keempatku pun datang, masih mengepulkan asap.
Kunyalakan pemantikku, untuk membakar tembakau rokok. Batang rokok yang kelima. Kuembuskan asapnya ke udara, yang segera berdifusi dan lenyap.
Aku sedang menunggu seseorang, dan menunggu selalu membuatku senewen. Spontan kulirik jam di dinding.
Sepuluh menit lagi…
Lalu gadis itu melangkah masuk. Pelan-pelan, selangkah demi selangkah. Tapi bagiku, saat itu pula seluruh momenku serasa terhenti. . . . .
. . . aku lupa pada diriku sendiri. Aku lupa tarikan napasku. Lupa kedipan mataku. Lupa debaran jantungku.
Ia akan duduk di tempat yang sama. Dan aku akan mengamatinya memberi seulas senyum yang sama pada bartender. Kemudian bibirnya bergerak, memesan segelas es lemon. Setelahnya, ia pun mulai mengamati tamu-tamu lain.
Sesekali ia tersenyum. Dan aku juga akan tersenyum.
Di kali lain, ia bersedih. Dan aku juga akan bersedih.
Ia seperti menularkan emosinya ke atmosfer café yang kecil ini. Dan hanya aku yang tak punya immunitas. Karenanya, hanya aku yang tertular.
But it’s okay…
Begitulah ritual itu melebur dalam rutinitas harianku. Aku, yang berada di pojok gelap kecilku, mungkin tak pernah memiliki arti apa-apa baginya. Ia tak pernah tahu aku eksis di dunia, mengamatinya, dan bahkan menunggu setiap kehadirannya di café ini.
Tapi sekali lagi, it’s okay. Karena ia tak perlu tahu.
Sejam lebih ia di sana. Lalu ia bangkit, melangkah perlahan keluar dari café itu.
Rambut panjangnya yang tergerai begitu saja melambai-lambai di kornea mataku. Punggungnya berlalu ditelan oleh udara luar.
Kumatikan rokokku. Kuhampiri kursi tempat ia duduk tadi.
Aku mengambil posisi tepat di sampingnya. Memandangi segelas es lemon miliknya, yang seperti biasa, masih penuh dan utuh. Enigma yang tak kupahami hingga sekarang. *end
0 komentar:
Post a Comment