Gorden yang Tertutup


Apa jadinya kalau selamat pagi bagimu berarti selamat malam bagi orang lain?
Apa jadinya kalau sinar matahari, yang memberi kehidupan bagi orang lain, ternyata bisa membunuhmu dalam sekejap?

Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas ga terdengar asing. Mungkin yang langsung terbayang di benak kita adalah para drakula-nya Bram Stroker, atau vampir-vampir dari negeri Cina yang biasa terlihat di film horror ala Cina.

Tapi kita semua tentu tau, yang namanya vampir atau drakula – seperti ala Tom Cruise ama Brad Pitt – ga bener-bener eksis di dunia, atau, setidaknya mungkin belum. Dan semoga ga akan pernah (!).

Jadi, pertanyaan di atas sama sekali bukan tentang vampir.

Lalu? Teringat film The Others, yang dibintangi ama Nicole Kidman? Ingat ama anak-anaknya di film itu yang ga bole kena sinar matahari? Jendela-jendela besar di rumah kuno itu selalu tertutup gorden, sepanjang waktu. Kegelapan seolah menjadi satu-satunya semesta...
Bukan tentang itu sih, tapi kira-kira mendekati, lha.

Gue ga pernah menganggap sinar matahari sebagai sesuatu yang menakutkan – kecuali mungkin bagi beberapa orang temen gue di kampus. Itu pun karena sebab yang sederhana : takut kulitnya jadi hitem!

Dan baru kemaren, gue bener-bener percaya, setelah sekian lama bersikap skeptis. Ada orang di dunia ini, yang bener-bener ga bole kena sinar matahari. Bukan sinar mataharinya yang bermasalah, sebenarnya, tapi sinar UV yang terkandung di dalamnya.

Sinar UV yang berlebihan memang menyebabkan kanker kulit – setidaknya itu yang gue tahu. Dan keadaan ini diperparah dengan rusaknya ozon di stratosfer di atmosfer kita.

Tapi, ini bukan tentang kanker kulit.
Ini tentang XP.

Ya, XP. Bukan XP yang keluaran Microsoft itu, lho.

XP, atau xeroderma pigmentosum, adalah suatu kelainan genetik yang menyebabkan penderitanya tidak boleh tereskpos sinar UV. Lebih dari 5 menit saja, bisa menyebabkan kematian.

Mungkin bagi beberapa orang, XP bukan barang baru. Gw sendiri baru ter-informasi mengenai penyakit ini karena nonton filmnya Sawajiri Erika, Taiyou no Uta (A Song to the Sun) – harusnya Anda-anda udah nonton, karena ini bukan serial yang baru-baru amat. Genrenya mirip-mirip Ichi Ritoru no Namida (One Litre of Tears). Di situ, Erika berperan sebagai Amane Kaoru, yang menderita XP tipe A, di mana ia tak akan melewati usia 20 tahun…


Sad? Well, harus diakui, ga sesedih dan se-mengharukan Ichi Ritoru. Tapi, seperti juga Ichi Ritoru, kesedihan bukan hal utama yang bisa dipelajari di sana. Semangat untuk mengejar mimpi, misalnya, adalah satu dari sekian banyak hal positif yang bisa dipetik. Dalam Taiyou, diceritakan Kaoru berusaha menggapai mimpinya menjadi seorang singer, dengan segala keterbatasannya. Baginya, hidup tanpa mimpi bukanlah hidup sama sekali.

Tapi yang ingin gw sorot bukanlah hanya itu.

Setelah Spinocerebellar Degeneration Disease, sekarang XP. Dan kedua penyakit ini belum ada obatnya. Belum lagi penyakit letal karena kelainan genetik lainnya, seperti sicklemia, talashemia (semoga nama penyakit yang disebutkan di atas-atas ga salah tulis..hehe), dan lain-lain (sebenarnya dan lagi ga tahu, sih ~~).

Mungkin tingkat kematian penyakit-penyakit yang incurable ini ga separah penyakit lainnya, semisal sakit jantung, kanker mulut rahim, kanker paru, AIDS, dan sekian banyak penyakit lainnya lagi. Yet, semua ini membuat gw bener-bener aware sama satu hal yang pernah gue pelajari : sebab kematian sangat banyak, sebab kelahiran sangat sedikit, dan tubuh kita ini sangat rapuh.

Didiagnosis menderita penyakit-penyakit letal ini berarti satu hal : preparing ourselves buat kematian.

Kebayang ga, kamu hidup dan mendadak suatu hari kamu udah tau, kapan kamu pasti akan mati? Diprediksi mati dalam usia tua sih, masih mending. Tapi kalo divonis mati di usia semisal 20 tahun? Alih-alih jadi bersemangat kayaq Aya atau Kaoru, mungkin gw bakal drop…Ah, diri gw yang belum juga dewasa-dewasa...


Gw pernah ikut satu kursus Inggris, dan pernah dikasih tugas ngarang ama guru bule gw itu, mengenai topic “What would you do if you had only one day left to live?”.
Jawaban gw ama temen2 sekelas gw waktu itu kurang lebih sama : Have fun dulu, trus minta maaf ama semua orang, dan pergi tidur.

Sekarang? Terus terang aja, gw belum pede untuk mati. Karena sebagai umat Buddhis, gw masih belum bisa menjawab satu pertanyaan; kamu sudah tahu, akan terlahir ke mana setelah mati?

Setelah mati, apa yang terjadi ama gw? Gw tau, gw akan bisa lari dari karma gw sendiri.. It’s true, kita harusnya lebih mikirin the present moment. Tapi gw lebih prefer menafsirkannya sebagai “gunakan present moment sepenuhnya untuk bekal di masa depan dan kelahiranmu kembali yang akan datang..”

Dan karena itu pula, gw harus bisa live my life to the fullest. Mungkin susah, tapi setidaknya, gw ga mau kalah dari Aya atau Kaoru.*


0 komentar: