Peron


[act 1]
Zess… kereta api yang melambat bersuara dan menimbulkan goncangan kecil yang membangunkanku. Kukucek mataku yang lelah, sambil melirik ke jendela.

Langit sudah membiru pucat di atas sana. Dalam suasana yang remang-remang, kulihat rumah-rumah beratap ijuk seperti tengah diam dalam lelapnya, ketika rumput dan pepohonan telah menggeliat bangun karena dinginnya embun yang menetes. Alam terasa begitu hening… dan damai.

Sebentar kemudian, kereta kembali bergerak menyusuri relnya. Dan rumah-rumah itu tampak seperti ikut terseret oleh detik-detik yang dipacu oleh lokomotif waktu. Tapi mereka selalu ketinggalan jauh di belakang sana. Aku bangkit, mendekatkan diri ke jendela.

Dalam beberapa hal, aku seperti rumah-rumah yang berlari itu…

Jam di pergelangan baru menunjukkan pukul 4 subuh, tapi aku sudah kehilangan seleraku untuk terlelap.

*

[act 2]

Kutatap tiket kereta di telapak tanganku. Mendadak aku merasa bimbang. Merasa galau. Kutoleh ke belakang, tapi stasiun yang sepi di jam 12 tengah malam telah mengisyaratkan kesendirianku.

“Masuk?” Petugas di peron bertanya padaku, setelah sekian detik aku hanya mematung di depannya.

Kulirik wajah tua yang demikian simpatik itu. Dan aku teringat lagi senyum mama. Sekali lagi, aku menoleh ke belakang. Masa lalu seperti tengah berkelebat, memenuhi seluruh peron.

Aku paling benci memilih. Karena aku tahu, aku tak akan pernah bisa memilih.

Tapi sekarang, aku harus memilih.

*

[act 3]

‘Apa jadinya kalau kau harus memilih?’ dia bertanya sambil menatap lurus padaku.

Kupandangi sepasang mata teduhnya. Mata yang selalu mengisyaratkan kesedihan di dalamnya. ‘Apa maksudnya?’

Ia menghela napas berat.

Dan ketakutan itu segera menjalar di seluruh benakku. Ia mengakar, dan membuahkan kepanikan yang meneteskan adrenalin. Atmosfer ini sudah terlalu sering terjadi.

‘Antara aku, atau duniamu. Keluargamu…’ Pertanyaan yang sama. Lalu ia akan memberikan penjelasan yang sama. Penjelasan yang selalu menyudutkan perasaan yang dinamai cinta. Penjelasan bernama realita yang mampu menghamburkan semua mimpi.

Aku terdiam. Dan selama berbulan-bulan sesudahnya aku tetap bungkam. Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Sama seperti ketidakmampuannya untuk memilih : aku atau dunianya. Dua hal yang sama berartinya.

Tapi kali ini, jarak di antara kami pun membeku sudah. Terkunci rapat dalam istana gading waktu, dan kuncinya entah di mana.

***

[act 4]

Delapan jam lagi telah berlalu.

Lokomotif di depan akhirnya berhenti di stasiun transit. Aku beranjak dan turun. Lalu kupandangi lokomotif itu perlahan-lahan berlalu.

Perpisahan selalu menyakitkan. Bagiku, perpisahan menyisakan rasa asing yang tak mengenakkan.

Mungkin mama tak akan pernah memahami pilihanku. Pilihan yang mengharuskanku menuliskan secarik kertas salam perpisahan untuknya. Sejak dulu, aku tak pernah mampu mengucapkan kata-kata perpisahan…

Kutatap jalan di hadapanku. Pintu depan stasiun. Seluruh momenku yang sekarang dan akan datang ada di sana.

Aku telah memilih untuk datang padanya. Aku memilih cinta. Karena aku mencintainya. Dan itu adalah realita yang tak boleh kulupakan, di atas semua realita lainnya.

T

0 komentar: