Menelusuri Jejak Sejarah

Sejarah ibarat awan, kata Dee dalam bukunya Filosofi Kopi. Ia tampak kokoh dari kejauhan, namun begitu disentuh barulah terlihat kerapuhannya. Kira-kira seperti itu metaforanya, soale gw rada lupa persisnya gimana.

Dan aku pun teringat kembali pertanyaan guru Bahasa Inggrisku di kelas 2 SMU dulu (masih pake SMU, bukannya SMA), which subject do you dislike the most? Gw lupa konteksnya apa, yang membuat kelas kami ketika itu menuju ke topik tersebut. Yang pasti, waktu itu gw termasuk satu dari sedikit orang yang ditanyai beliau. Jawaban gw sederhana saja : History. She was surprised, for a reason I didnt know. Still then she asked me why. I told her that I had no particular reason, except that I just prefered to let bygones be just bygones.

Mungkin dalam beberapa hal, bygones lebih dari sekadar bygones. Kita bisa mengambil hikmah dari semua kesalahan kita, untuk menjadi a better person, idealnya begitu. Atau terkadang, masa lalu demikian indah untuk dilupakan begitu saja. Mungkin juga, di dalam sejarah dan seluruh masa lalu tersebut, tersimpan berjuta-juta kejayaan dan kebesaran yang tidak kita ketahui.
Dengan anggapan sederhana itu, gw akhirnya memutuskan untuk turut serta dalam semacam wisata budaya ke Jawa Timur, bersama dengan rombongan KCB, sebuah Dharma Center di Bandung, dengan tujuan utama : menelusuri jejak sejarah di sana.

Ada beberapa kerajaan di masa lalu Indonesia yang dibangun di Jawa Timur. Salah satu di antaranya adalah Majapahit, yang sekarang kira-kira terletak di Trowulan.
If you're an Indonesian, and even if you did not learn your history well, I am quite sure that you have ever heard about Majapahit. Kerajaan ini adalah kerajaan Buddhis terakhir yang berjaya di Pulau Jawa, sebelum akhirnya Islam memasuki Indonesia. Bukan kerajaan Buddhis sih, sebenarnya, lebih tepatnya Siwa Buddha.
Di Trowulan, rombongan kami mengunjungi petilasan Patih Gajah Mada dan petilasannya Raden Wijaya. It is believed that both of the royal highness of Majapahit sat on the soil before. And at this moment, I have finally seen buah Maja, a bitter fruit yang tumbuh di Desa Tarik, desa asal-muasal kerajaan ini. Buah Maja yang pahit inilah juga asal mula nama kerajaan Majapahit.

Lalu, ada pula kerajaan Kahuripan, dengan rajanya yang ternama Prabu Airlangga. Prabu ini turun tahta dan kemudian menjadi pertapa. Sempat pula kami mengunjungi Candi Jolo Tundro, yang merupakan tempat pemandian Prabu tersebut. Candinya masih utuh, kecuali patung garuda wisnu kencananya, yang seharusnya bertahta di puncak candi. Garuda wisnu kencana adalah patung yang menggambarkan Airlangga, dalam wujud Wisnu, yang sedang menunggangi garuda. Patung itu kini ada di museum Trowulan.

Tentu saja kerajaan Singosari, yang terkenal dengan Ken Dedesnya tak boleh ketinggalan. Sayangnya Candi Singosari telah tutup sore itu, sehingga kami tak sempat mengunjunginya.
Namun begitu, beberapa candi yang kami kunjungi antara lain Candi Jawi, candi Tikus, dan candi Brahu. Candi Tikus dan Candi Brahu agak berbeda dengan candi lainnya, yang mencolok tentunya dari penampilan luarnya, yang berwarna merah bata. Candi Tikus sendiri juga merupakan tempat pemandian, yang letaknya menurun ke bawah tanah (sunken). Ada mitos yang menyebutkan kalau kita memasuki candi tersebut, maka proyek yang sedang kita kerjakan saat itu, akan mengalami kegagalan. Benar apa ndak-nya, saya tidak tahu.

Pulang dari Surabaya, kami mampir ke Blitar, untuk mengunjungi makam Bung Karno. Seperti situs sejarah lainnya (baca : candi Borobodur), di situs ini beredar macam-macam pedagang souvenir khas Bung Karno. Untungnya, kami tiba di spot agak sore, sehingga suasana sudah 'agak' sepi. Biarpun begitu, pengunjung makam terbilang banyak, mengingat hari itu bukan hari peringatan atau semacamnya. Daerah itu juga dilengkapi perpustakaan modern, dengan desain interior yang WAH. Eksteriornya dihiasi sebuah kolam, sayangnya sudah kotor banget, dengan pilar-pilar di satu sisi kolom. Di kedua tembok pembatas kolom, bsia dilihat relief yang menggambarkan sejarah perjuangan Bung Karno. Meski gue bukan pengamat arsitektur Indonesia, tapi gw yakin kalo siapapun pasti akan kagum2 melihat desain kompleks makam Bunga Karno tersebut.
Dan pulang dari wisata sejarah ini, gw menemukan perspektif baru. Bangsa Indonesia sesungguhnya bangsa yang besar. Lihat saja bangunan candi berusia ratusan tahun, yang menghiasi sejarah kerajaan Indonesia. Candi-candi itu dibangun tanpa teknologi.
Bukan rahasia pula kalau alam Indonesia subur dan kekayaan alamnya luar biasa. Posisinya strategis... kalau saja manusianya berpotensi... Mungkin Indonesia bisa jadi negara adikuasa menyaingi Amerika. Mungkin. Siapa tahu?

1 komentar:

vee said...

hiks, gw nyesel banget ga ikut waktu itu. padahal, harusnya gw minta cuti aja y.

vivi --