Betapa inginnya ia menyilet hujan. Memotongnya menjadi apa aja. Lalu membuangnya. Menyingkirkannya.
Dan itu bukan sayap.
Bayangan yang berkilat di balik punggungnya itu bukan sayap. Meski putih. Meski berkelebat, dan terlihat siap mengepak.
Bukan pula sayap-sayap patah, seperti yang melindungi Selma dari tusukan derita karena cinta.
Benda itu adalah sebilah pisau. Tajam. Terasah. Dan terlihat baru.
Setiap hujan mendera, pisau itu siap terhunus.
Betapa inginnya ia menyilet hujan. Memotongnya menjadi apa aja. Lalu membuangnya. Menyingkirkannya.
Karena tak pernah ia ingin menyimpan apapun yang tak bisa ia miliki.
Tetapi hujan, turun terus. Menderas. Dan sekali lagi, hujan akan berlalu, meninggalkan dirinya. Menjejakkan basah yang berlumpur.
Noda.
Noktah.
Seperti kenangan tentang dirinya yang tak terhapus..
Engkau akan mengira ia jatuh cinta pada payung.
Spesifiknya, payung berwarna biru, yang ia genggam erat, meski hujan tak mencurahi bumi, atau matahari enggan bersinar terik.
Atau barangkali hanya aku yang berhalusinasi. Barangkali di tangannya memang tiada sesuatu. Atau sesuatu itu bukan payung, melainkan gumpalan perasaan. Sedih, bahagia, kecewa, haru, malu, sepi, takut, berani, gentar, dan sebagainya, bercampur menjadi satu. Berakumulasi, seperti flokulan yang menggenapkan kotoran, lalu terendapkan.
Tapi selalu tak ada ekspresi di wajahnya. Atau barangkali, mimik datar juga ekspresi?
Bahkan ketika matahari terlalu menyilaukan mata, atau klakson terlalu ribut. Semua seperti terserap ke dalam benda kecil di genggamannya. Hilang, lenyap. Tak ada jejaknya di udara.
Hingga hari itu tiba. Hari itu, hujan untuk pertama kalinya menetes.
Mencurah. Menderu. Mendebar.
Seperti detak jantung yang tersirami darah.
Bedanya, darah itu berwarna kelabu. Kelabu yang merekah, merenda, dan merengkuh.
Ia membuka benda itu.
Yang lalu bertransformasi menjadi payung.. aku benar.
Dan dia seperti penari. Penari yang meliukkan tubuhnya tanpa getar dan letar.
Penari yang menarikan hujan, mengalahkan pawang.
Penari yang air matanya barangkali lenyap, bersama hujan, karena ia harus tersenyum di hadapan penontonnya..
Ia berhenti melangkah.
Hujan menudunginya, selayak payung menadah semua gerimis.
Hari itu, aku tahu.
Wanita itu mencintai hujan lebih daripada payungnya.
Spesifiknya, payung berwarna biru, yang ia genggam erat, meski hujan tak mencurahi bumi, atau matahari enggan bersinar terik.
Atau barangkali hanya aku yang berhalusinasi. Barangkali di tangannya memang tiada sesuatu. Atau sesuatu itu bukan payung, melainkan gumpalan perasaan. Sedih, bahagia, kecewa, haru, malu, sepi, takut, berani, gentar, dan sebagainya, bercampur menjadi satu. Berakumulasi, seperti flokulan yang menggenapkan kotoran, lalu terendapkan.
Tapi selalu tak ada ekspresi di wajahnya. Atau barangkali, mimik datar juga ekspresi?
Bahkan ketika matahari terlalu menyilaukan mata, atau klakson terlalu ribut. Semua seperti terserap ke dalam benda kecil di genggamannya. Hilang, lenyap. Tak ada jejaknya di udara.
Hingga hari itu tiba. Hari itu, hujan untuk pertama kalinya menetes.
Mencurah. Menderu. Mendebar.
Seperti detak jantung yang tersirami darah.
Bedanya, darah itu berwarna kelabu. Kelabu yang merekah, merenda, dan merengkuh.
Ia membuka benda itu.
Yang lalu bertransformasi menjadi payung.. aku benar.
Dan dia seperti penari. Penari yang meliukkan tubuhnya tanpa getar dan letar.
Penari yang menarikan hujan, mengalahkan pawang.
Penari yang air matanya barangkali lenyap, bersama hujan, karena ia harus tersenyum di hadapan penontonnya..
Ia berhenti melangkah.
Hujan menudunginya, selayak payung menadah semua gerimis.
Hari itu, aku tahu.
Wanita itu mencintai hujan lebih daripada payungnya.
Selamat pagi, dunia.
Tolong aku melewati hari ini....
Engkau tahu,
aku ingin tersenyum,
ketika tak mengingatnya,
ketika mengingatnya,
dan saat-saat di antaranya.
Karena itu,
tolong aku. hari ini.
Seperti hujan yang tak tergenggam.
Seperti kabut yang mengejawantah dan menghilang.
Seperti bintang yang tak teraih.
Seperti panorma yang tak terengkuh..
tetapi bukankah cinta tak pernah mengikat?
Seorang ibu tak akan pernah menghalangi anaknya yang ingin terbang lepas.. atas nama darah?
Seorang sahabat tak akan sanggup meminta temannya untuk tinggal..atas nama hati?
Lantas, bagaimana bisa seorang kekasih mengikat cintanya, bahkan atas nama cincin dan cinta itu sendiri?
Buka matamu. Sekalipun aku ada di hatimu, engkau ada di hatiku, kita tak pernah saling mengikat.
Karena darah, hati, dan cinta, tak butuh ikatan...
kukira aku telah selesai berbicara tentang senja. tentang bagaimana senja hanyalah secarik kertas yang dilapisi warna kuning keemasan yang disebut sebagai lembayung. Atau biru pekat yang menggigil, yang ia sebut indigo. tentang bagaimana burung-burung pulang petang, dan nelayan bersiap-siap berlayar.
tetapi, sama seperti kemarin, dan hari-hari sebelumnya, aku masih menemukan diriku duduk di tepi pantai, memeluk kedua lututku, merasakan butir-butir pasir menggesek habis perasaan yang lara ini, yang kian menua dimakan waktu. memandangi ombak bergulung, dan memecah ketika kedalaman laut berubah. berdebur tatkala mencoba memecah karang, menjejak basah di udara, dan lenyap ditarik pulang ke laut.
Dan aku menangis. Masih menangis. Meluruh rasa yang menggenap di mata, di hati, dan di raga. Untuk apa, aku tak pernah betul-betul tahu. Barangkali karena senja indah akan segera dilahap oleh malam. Dan kembali menjalani siklus yang tanpa henti...
picture courtesy of http://journeygotodie.files.wordpress.com/2009/04/senja-wailago.jpg
bintang-bintang rungau.
barangkali ia lupa menyalakan lampu,
atau generator di belakang rumah tak lagi mampu berlari..
bintang-bintang rungau.
dirimu terasa jauh,
dan ketika kugenggam dengan telapakku,
aku merasa mataku tengah menipu dengan ilusi optik.
Karena aku tak jua bisa memiliki....
bintang-bintang rungau.
bagaimana bisa sepi bercengkerama dengan dia,
sementara sunyi adalah pasangannya yang sama-sama bisu?
bintang-bintang rungau.
Mari bersama larut dalam insomnia,
secangkir kopi dan kafein yang tebal.
Karena setiap kupenjamkan mata,
dirimu
datang
menari..
Justru aku ingin hujan berhenti..
menggenang tanah basah di muka bumi.
Justru aku ingin hujan berhenti..
meluruh di udara dan menjejak pelangi.
Justru aku ingin hujan berhenti..
karena ia menikam ulu jantungku
.
.
dengan kenangan akan dirimu...
Aku rela terbakar di dalam matamu.
Atau tersesat di dalamnya. Dan memilih tak pernah keluar lagi. Mungkin tepat bila kusebut matamu sebagai Eyes of No Return.
Aku rela ditelanjangi oleh matamu.
Bersetubuh dengan cara yang barangkali tak senonoh. Dan memuncak di dalam orgasme yang senyap. Sunyi, karena tak ada suara. Tak ada erangan, ataupun desahan. Itu yang kusebut intim.
Aku rela terkikis habis di dalam matamu.
Atau melayang-layang di dalamnya. Dan memilih melawan arus gravitasi. Meski itu cuma mimpi di siang bolong. Karena bersamamu, aku rela tertidur... Tak perlu ada putri cantik yang membangunkanku, seperti Snow White dibangunkan oleh pangerannya. Tak perlu.
Atau tersesat di dalamnya. Dan memilih tak pernah keluar lagi. Mungkin tepat bila kusebut matamu sebagai Eyes of No Return.
Aku rela ditelanjangi oleh matamu.
Bersetubuh dengan cara yang barangkali tak senonoh. Dan memuncak di dalam orgasme yang senyap. Sunyi, karena tak ada suara. Tak ada erangan, ataupun desahan. Itu yang kusebut intim.
Aku rela terkikis habis di dalam matamu.
Atau melayang-layang di dalamnya. Dan memilih melawan arus gravitasi. Meski itu cuma mimpi di siang bolong. Karena bersamamu, aku rela tertidur... Tak perlu ada putri cantik yang membangunkanku, seperti Snow White dibangunkan oleh pangerannya. Tak perlu.
Subscribe to:
Posts (Atom)