lately blogger ga bisa diakses di kantor.
jadi sementara, rumah ini pindah ke
http://selusinpuisi.wordpress.com
mungkin sementara, mungkin selamanya. siapa yang tahu?
Semuanya berawal dari matahari
Yang melabuhkan cuaca dan musim di dermaga
Tatkala angin, membisikkan pengharapan pada layar-layar
Menjauh pelan-pelan hingga akhirnya
Tak terlihat lagi
Di dermaga hanyalah jejak-jejak yang berlawanan arah
Kapal-kapal yang kembali menerawang
Tetap saja tak seperti dermaga
Merindui daratan hijau di seberang sana…
-2003-
"pergilah,
sebelum Tuhan
tiba," engkau meminta.
di atas eden,
mendung menawarkan
sedih,
juga daun-daun zaitun
yang gugur.
betapa kita, tergoda untuk
selalu
jatuh.
mungkin akan ada
tujuh puluh puisi,
masa lalu yang tak hilang,
dan iman
yang asing.
tapi pada
sekerat apel
yang tak menjadi
barangkali juga akan kita
pahami: kita berdosa, maka kita ada.
cahaya pada
dinding, bayang-bayang sepasang lengan
yang bersentuhan
ialah siluet yang tak selesai
sebab
dunia ini, katamu, dipenuhi orang-orang
yang ingin saling
melupakan
di latar
sebuah tebing dingin,
sesaat sebelum tuhan meletakkan keesaannya
tak ada kematian siapa-siapa
hanya masa lalu
separuh ilusi,
separuh perpisahan
lalu engkau
menjatuhkan
diri
masa lalu, ternyata,
ialah juga waktu
di antara orang-orang itu, kataku,
kita mungkin hanyalah sepasang orang
asing yang tak tahu
caranya melupakan.
secangkir kopi. secangkir segalanya. ia meneguk segalanya itu tanpa ragu, tanpa berhenti.
dari pojok cafe, tinggal cahaya yang berwarna kekuningan, suhu ruangan yang diatur sehingga mencapai sekitar 20 derajad celcius, dan orang-orang yang berbincang dengan suara rendah. sebuah jendela kaca besar di sisi kirinya memungkinkannya melihat segala yang lain, di luar sana: malam yang gelap, cahaya lampu mobil yang melaju kencang, juga gedung-gedung pencakar langit lainnya yang menjulang dingin.
gedung-gedung tinggi membuatnya ketakutan sedikit, terutama setiap dia melongok ke bawah. ia gemar membayangkan dirinya terjatuh; bukan dalam sebuah upaya bunuh diri - ia sungguhan menentang ide-ide bunuh diri- melainkan dalam sebuah kecelakaan. bayangan-bayangan seperti itulah yang juga telah mengantarkannya mengunjungi tebing-tebing tinggi dan tempat-tempat bungee-jumping. ia memikirkan banyak hal ketika sedang menjatuhkan diri: seperti inikah rasanya jatuh dan mencintai? atau, seperti inch terjatuh dengan kecepatan yang sangat tinggi, yang tak bisa kita kendalikan?
dua tahun yang lalu, idolanya memutuskan untuk membunuh diri. idolanya itu, meloncat dari apartemennya di lantai 30 sebuah gedung bergengsi. berbagai koran meliput berita tersebut, menjadikannya topik-topik di halaman pertama. televisi menayangkan duka-cita itu besar-besaran, dan beberapa bahkan menghadirkan orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai teman dekat si korban. ia merasa gamang, dan tersesat: bagaimana bisa orang yang memiliki segalanya di dunia ini, seperti idolanya itu, memutuskan untuk mengakhirinya begitu saja? dan terutama, ia bertanya-tanya: dalam perjalanannya menemui maut, apakah yang ia pikirkan? apakah yang ia kenangkan? apakah yang terlintas di benaknya? bahkan mendaki tebing dan menjatuhkan diri melalui bungee-jumping, ia tahu tak akan menjawab pertanyaan itu.
kopinya sudah habis. ia menatap lagi gedung-gedung pencakar langit di seberang sana. gedung-gedung itu bercahaya; seperti kunang-kunang. kunang-kunang yang melayang bergerombol dan mencari entah apa. jika satu titik cahaya itu melambangkan kesepian dan titik cahaya lainnya melambangkan sebuah jiwa manusia, dan seterusnya dan seterusnya, lebih banyak mana: kesepian atau jiwa-jiwa manusia?
ia berdiri: menempelkan wajahnya ke kaca jendela. jejak-jejak uap. ia tersenyum.
dan berjalan mundur beberapa langkah. berlari. dan menerobos kaca jendela itu.
waktu berhenti.
hening yang lama.
.
.
.
.
*sebuah upaya gagal mengetik sebuah cerita random tanpa menggunakan backspace. i need to practice more.
Kerapuhan seorang manusia, buat saya terletak di dalam ingatannya. Kita selalu berusaha mengenggam erat apa yang kita rasakan sebagai kebahagiaan, dan ketika kebahagiaan itu direnggut dari kita, kita merasa demikian menderita. Barangkali, ingatan itu demikian sempurna diwakili oleh tokoh Naomi, seseorang yang 'dicari selama ini', atau bahkan melalui tiket-tiket ke suatu tempat yang jauh di masa lalu (Tiket ke Tangier).. Bukankah kita semua memiliki seseorang yang selalu kita cari?
Mungkin, karena itu juga, kata Avianti, ingatan adalah jarak yang memisahkan detik ini, juga sekaligus menghubungkannya, dengan cintanya (Matahari). Avianti tidak mencoba menggambarkan bagaimana seharusnya kita menghadapi kehilangan dalam sikap yang menggurui, ia hanya menggambarkan suasana, latar, dan hal-hal biasa lainnya. Tetapi buat saya, justru hal tersebut membuat kehilangan itu menjadi terasa nyata, terasa tak terelakkan dari kehidupan ini. Lalu, apakah kita (bisa) bahagia? Tidak ada yang muluk dari pertanyaan Mesaud ke Sania (Dongeng dari Gilbraltar - kota ini sungguhan ada) tersebut, tetapi di sinilah kita berhenti sejenak. "Mesaud, aku mencintaimu," demikian Sania membalas, yang kemudian membuat Mesaud berkata lagi: “Kita tahu, kita bisa saling mencintai tapi tidak merasa bahagia."
Sejak awal membaca judul 'Kereta Tidur', saya tahu saya akan berhadapan dengan bacaan yang tidak serta-merta bisa dicerna sebagaimana beberapa fiksi dan prosa lainnya. Di semua ekspetasi saya, saya menemukan bagaimana alur cerita yang disajikan Avianti begitu menguras rasa ingin tahu saya: apa yang terjadi dengan Mesaud dan Sania? Apa yang terjadi dengan anak laki-laki yang memiliki seorang perempuan tua dalam kepalanya? Lalu, apakah kereta tidur itu? Dan apakah kita semua, bisa bahagia?
kurang-lebih seperti itu yang saya rasakan selama membaca 9 dari Nadira. yang lebih menarik lagi, Leila menyusun masa lalu itu hanya menjadi kepingan-kepingan, dan menyisakan begitu banyak ruang bagi pembaca untuk menilai, menginterpretasi, dan membayangkan berbagai kemungkinan dan tanya yang seperti tak habis-habis- dan menariknya, Leila mampu melakukan itu semua tanpa mengorbankan kelugasan imaji dan bahasa di dalamnya.
saya jatuh cinta pada Nadira sejak cerita pertama. di dalam kumcer ini (sifat dualisme buku ini - terobosan baru kalau boleh dibilang, menyebabkan beberapa ahli menyebutnya sebagai novel; tapi sesuai pengantar dalam bukunya, saya memilih menyebutnya kumcer), ketika ia mencari seikat seruni berwarna putih untuk ibunya: ibunya yang memilih mati di hari itu. mengapa mesti seruni? dan mengapa mesti berwarna putih? mengapa pula ibunya, Kemala Yunus, yang sekilas tampak bahagia dan baik-baik saja itu, memilih mati? dari sana, kita dibawa menelusuri lorong-lorong gelap dalam kehidupan Nadira, perselisihan kecilnya dengan kakaknya Nina, kehadiran yang penuh kebungkaman seorang Utara Bayu, serta di kemudian hari, lelaki yang menyodorkan tangannya ke dalam dunia Nadira: Niko.
Leila telah mewarnai masa lalu Nadira dengan warna abu-abu yang pekat, tapi dari kepekatan dan kepelikan itu, seperti bisa kita lihat, tetap bisa menumbuhkan seorang yang kuat, yang tak serta-merta lari dari masa lalunya. Sebab, bukankah memang setiap dari kita dibuat dari masa lalu? Dan masa depan, hanyalah pertanyaan, yang seringkali tidak membutuhkan jawaban..
sebuah monolog
dan dinding muram,
setelah kau, cinta hanyalah
fresco
yang tak menyunyikan apa-apa
image source: kaboodle.com