Death Monolog ....

I use a sad but beautiful font
To describe love that is too late to regret

DEATH MONOLOG #3

(based on a song by Jay Chou entitled ‘Ye Qu’ (Nocturne))

Angin bertiup sepoi. Dedaunan yang melayang di udara tersapu perlahan, hingga akhirnya gugur ke bumi. Di atas semen putih, bayangan pohon yang telah lama kerontang seperti berusaha menggapai-gapai matahari.

Langit biru kelabu. Atmosfer yang dingin diselimuti hening yang demikian pekat, memenuhi seluruh pelosok paru-paru yang kosong. Membuat udara terasa demikian berat membebani dan menyesakkan.

Ia berjalan.

Hazy fog is all around

I am at the vast and boundless cemetery

Selangkah demi selangkah.

Lambat sekali, seolah ia memang tak ingin cepat-cepat sampai. Di tangannya tergenggam sebuket mawar berwarna putih, yang masih harum. Mawar yang rapuh, serapuh hidup manusia…

The memories that are day-by-day becoming colder

Walk past

Di depan sebuah nisan putih yang tampaknya masih baru, ia berhenti dan berlutut.

Losing you

Love and hate start to become clear

Losing you

What else is there to care about?

Matanya memandangi sebuah foto kecil yang terpampang di nisan. Tatapan yang masih sama seperti dulu; begitu teduh dan hangat. Tatapan yang menyimpan sejuta makna indah di dalamnya. Tatapan yang menyaksikan segenap janji yang tak sempat berbuah menjadi kenyataan…

Ia tidak tersenyum. Tidak pula menangis. Atau sesungguhnya kepergian kekasihnyalah yang telah merenggut sesuatu dari hatinya, dan meninggalkan lubang besar di sana?

Tangannya tergerak merapikan serpihan kelopak putih mawar yang telah tiga hari terletak di sana.

In the park

The echo of the funeral

Flying in the boundless sky

0 komentar: