terjaga

tERJAGA

(Chapter 1 from my upcoming novel..)

KAMAR berukuran 2 x 4 m itu tidak kelihatan gelap sekalipun lampu yang menjadi penerangan satu-satunya di sana dipadamkan. Lewat jendela yang cukup besar, lampu jalan masih dapat menerobos masuk, meneranginya samar-samar. Dan karena kebanyakan benda di sana adalah translusan, terefleksikanlah bayangan. Sesekali lampu kendaraan yang lalu lalang menciptakan siluet yang bergerak.

Sosok itu masih duduk terjaga di ranjangnya, yang berada tepat di bawah jendela. Matanya menerawang, seakan sedang mencari-cari dalam kegelapan. Pikirannya sekarang adalah sebentuk kanvas putih yang tidak melompong sekalipun kosong. Dan otaknya adalah Sang Pelukis, yang menggenggam kuas dan cat di tangannya. Tapi tangan itu belum juga bergerak, tidak tahu hendak melukis apa. Atau mungkin…inspirasinya terlalu liar, datang bersamaan seperti air bah yang meluap dan menyeret kreativitas pergi bersamanya, sehingga dia merasa blur?

Teng! Jam di dinding berdentang pelan, sekaligus membawa dia pulang dari kesadaran pasifnya. Medula Spinalisnya serentak memberi refleks untuk melirik jam tua itu. Jarum pendeknya sudah sampai di angka tiga. Berarti sudah hampir 240 menit dia duduk di sana. Duduk dalam suasana yang hampir statis dalam pandangan seorang manusia.

Ia menguap lebar. Matanya terasa berair.

Saat itu juga disadarinya, suara-suara televisi ribut dari suatu tempat di sebelah tidak lagi terdengar.

Senyap yang tiba-tiba segera melingkupinya, sebelum dalam jeda sepersekian detik, ia kembali menangkap suara detik jam : Sang kakek tua yang memberi definisi detik, menit, dan jam hanya dengan 3 tongkatnya.

Tik-tak-tik-tak—suaranya bahkan kedengaran lebih teratur daripada detak jantung. Tidak dipengaruhi oleh hormon, akitivitas, dan lain-lain. Hanya bertumpu pada baterai. Tidak seribet jantung manusia yang sekepal tangan tapi merepotkan.

Ah, sudahlah!

Laki-laki itu mencoba mengacuhkan bunyi detik yang membuat senewen.

Dibaringkan tubuhnya. Di belakang kepala, kedua lengannya tersilang menopang. Kembali berusaha untuk terlelap.

Satu menit…. Dua menit… Tapi entah mengapa mata itu masih enggan terlelap. Kalau saja dia tahu bagian otak mana yang mengatur rasa kantuk…meskipun dia sadar, mengetahuinya pun tidak akan membawa perubahan apa-apa. Hanya saja, sejak lama topik mengenai otak dan saraf-saraf sudah menarik perhatiannya, sekalipun dia bukan lulusan spesialis saraf. Baginya, menarik sekali mempelajari harta utama manusia itu. Apalagi ternyata manusia belum mampu memanfaatkan potensi otaknya sampai 100 persen.

Sudah lelah dia menepis anggapan insomnia dari rekan-rekannya. Atau saran-saran berlumer rasa simpatik, untuk menggunakan obat-obatan sedatif. Dia merasa belum memerlukannya. Lagipula, tidak akan ada gunanya. Ini adalah masalah yang lain.., dia yakin itu.

Bukan itu saja. Dia masih harus mendengar komentar-komentar soal iris birunya yang kontradiktif dengan kantung matanya yang hitam. Ya, tanpa berkaca pun, dia tahu bagaimana tak karuannya wajahnya.

Eh, bukannya aku sudah hampir tidak pernah berkaca lagi?

Edward tersenyum sendiri. Senyum yang mungkin akan dilabeli senyum orang gila kalau dilihat d i a .

Baru saja ia hendak menutup matanya, sekali lagi, kala gerimis jatuh satu-satu. Hujan membuat angin yang bertiup memasuki kamarnya terasa basah. Dingin. Dingin yang membuat siapa pun akan merindukan matahari, dan berhenti mengeluhkan tentang siang yang terlalu terik. Dibandingkan dengan musim dingin di Mannheim atau Ottawa sana, masih tak seberapa. Tapi John mungkin sudah meringkuk di bawah selimutnya. Reseptor kulitnya paling tidak tahan dingin. Dalam hatinya Edward mereka-reka berapa jumlah selimut yang dipakai oleh John. Dan membandingkannya dengan piyamanya yang hanya berupa singlet dan bokser pendek.

Hey, by the way, what’s the Indonesian for ‘cold’? … dia mulai mengolah otaknya. Sekali lagi, senyum itu tersungging di bibirnya begitu ia mendapatkan jawabannya.

Tiga bulan sudah ia di sini. Kemampuannya berbahasa Indonesia sudah bisa mengundang decak kagum, biarpun logatnya masih terbawa-bawa. Memang benar, bahasa Indonesia termasuk mudah.

Three months already… Tiga bulan yang terasa seperti sudah selamanya. Bagaimana tidak? Hari ini adalah pengulangan kemarin. Yang berbeda mungkin hanya waktu saja. Kata Einstein, semua ini relatif.

Tapi, peduli apa?

Meski begitu, sebagian nuraninya menyuruhnya untuk tetap tinggal di sini. Nuraninya yang bahkan belum tentu menjejak nyata itu enggan meninggalkan Indonesia, untuk alasan yang…

… tidak ada. Atau tidak tahu? Em..

Padahal kalau bicara logika, sudah 30 hari yang lalu dia angkat kaki. Mungkin ke Papua sana. Kepulauan Fiji. Bertualang. Dan meninggalkan orang-orang itu di sini dengan sejumlah kenangan yang menjejal di cerebrum mereka. Yang terpenting, dengan pergi- pergi begitu, dia tak perlu lagi ber-formalitas. Dia paling membenci segala macam bentuk formalitas. Menurutnya, formalitas hanya bentuk lain dari keterikatan yang hakikatnya membatasi kebebasan ekspresi. Kata orang lain, dia terlalu kaku.

Well, adalah tidak mungkin seratus persen mengabaikan opini orang. Karena memang begitu nasib manusia sebagai makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri. Ironis, kalau dikaji lagi pepatah homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Manusia yang satu juga sudah membatasi kebebasan manusia yang lain, secara tidak langsung. Tapi pada kondisi ini, manusia tidak punya pilihan lain selain menerima. Menerima.

Ahhhh…..Edward menggeliat. Dengan bertopang pada satu lengannya, ia bangkit melirik jendela sekilas. Sapuan warna terang menyembul di cakrawala. Sebentar lagi pagi. Dan itu cuma berarti satu hal : K E R J A.

Pagi nanti dia harus mengajar. Lewat jalan satu-satunya yang notabene tidak pernah kelihatan berubah setiap harinya. Sia-sia saja berharap alien akan mencul mendadak. Tambahan lagi, dia harus menghadapi orang-orang asing yang masih juga menatapnya seperti menatap seorang turis bodoh. Atau pedagang kaki lima yang menganggapnya gudang udang berjalan. Padahal, tanpa membuka mata pun, dia mungkin bisa sampai ke kantornya. Seperti seorang juru ketik yang bisa mengetik dengan 10 jari tanpa kesalahan, walaupun tidak melihat keyboardnya. Hanya saja, dia masih ingin menikmati wajah orang-orang yang ditemuinya tiap pagi. Semuanya hanya punya satu tujuan yang terukir jelas di keningnya : UANG. Tanpa disadari akhirnya mereka diperbudak oleh benda mati itu, sementara di luar tubuhnya, mereka sibuk mengutuk-ngutuk segala bentuk perbudakan. Ujung-ujungnya, tercipta manusia-manusia buta yang tidak terpuaskan. Lalu keserakahan, dan pada puncaknya tindakan-tindakan manipulatif.

What’s in it?

Alangkah naifnya kalau menyalahkan kondisi sebagai penyebabnya. Kondisi bukan hantu, bukan pula Tuhan. Kondisi tidak berkuasa atas manusia.

Dia sendiri mengakui, uang memang hebat : tanpa uang, kau bisa apa? Edward menghela nafas. Materi sudah seperti darah dan daging dalam kehidupan manusia. Tidak heran kalau manusia mengorbankan fisik, mental, dan waktu untuk mengejarnya. Kehidupan sendiri telah berevolusi dalam tangan-tangan yang tak terlihat, sehingga manusia akhirnya lupa. Lupa kalau seharusnya manusia hanya mencari materi, bukan mengejarnya.

Sekonyong-konyong, Edward merasa konyol sendiri. Memangnya siapa dia, yang berhak menghakimi manusia-manusia? Ia sendiri juga manusia. Dia tersenyum lagi. Dan didapatinya lagi dinding kamarnya yang sunyi.

Rutinitas memang membosankannya. Tidak ada yang terlihat benar-benar baru di sini…atau dia saja yang belum menemukannya? Tapi apa yang harus ia temukan? Di mana semua pengalaman baru itu di saat ia ingin mencicipinya? Semua yang terjadi di sini seperti hanya mengikuti sebuah pola sama yang terlihat teratur, padahal sebenarnya tidak. Ketimpangannya berbaris dengan teratur, terlalu teratur untuk dideteksi, membagi manusia dalam dua jajaran besar : manusia yang ikut arus dan manusia yang tetap apa adanya.

Then what about me?...

Hidupnya sudah berubah demikian drastis kalau direferensikan lagi dengan saat-saat pertama kali dia menginjakkan kaki di Medan

0 komentar: