Malam Terakhir

Airin menjulurkan kedua telapak tangannya, menyentuh pipi Ferre. Bola matanya yang bulat dan hitam memantulkan bayangan Ferre. "Kenapa kau memilihku?"

Ferre mengulum senyumnya. Disentuhnya kedua telapak tangan yang mungil itu. Diremasnya pelan. Rasanya hangat. "Perlukah alasan untuk mencintaimu?"

Airin menunduk. Direbahkannya tubuhnya ke dada bidang Ferre. Purnama di atas langit begitu cerah, menyinari malam yang pekat dengan selerat sinarnya.
"Aku takut, Re. Takut semua ini akan berakhir demikian cepat. Takut tak bisa lagi menjadi seorang Airin bagimu.." Suara itu kian lirih.

Ferre mengulum senyumnya kembali. Ia mempererat pelukannya. Berusaha menyalurkan semua kekuatannya. Ada berjuta kata-kata indah yang bisa ia keluarkan. Ada berjuta janji-janji yang bisa ia berikan. Tapi ia lebih memilih untuk diam.

Kadang, cara terbaik menyatakan sesuatu adalah dengan diam...

"Re.. "
"Yah?"
"Aku akan kangen."
"Mmm..Aku juga.."

***
Dan waktu juga yang memfosilkan masa lalu dalam rekening memori. Waktu juga yang menjadi algojo yang menggaris batas-batas bernama masa.

Pagi itu, Airin terbangun seperti biasa. Semuanya masih seperti semula, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Ia tersenyum samar. Ditatapnya langit pagi melalui jendela kamarnya. Aroma Ferre masih berjejak di atmosfer. Dan rasa kangen itu berdifusi perlahan-lahan mengisi ruang kosong.

Dirabanya dadanya. Rasanya hangat.

Ia tahu, Ferre akan kembali. Bukan untuk Airin, bukan untuk Ferre. Tetapi untuk cinta...

0 komentar: