Negeri Hujan: Petrichor dan Geosmin (part 1)

@eswlie untuk @writingsession
Untuk informasi lanjut, kunjungi writingsession.tumblr.com


Tahukah kamu, dalam satu detik, kira-kira 16 juta ton air menguap dari bumi?

Di negeri itu, hujan selalu turun. Setiap detik setiap hari. Langit selalu mendung; mendung yang berwarna biru indigo pekat, menggelayut menutupi segalanya yang seharusnya terlihat dari tempat itu. Hujan yang turun mengguyur bumi berwarna biru, sebiru lautan, dan tidak berasal dari awan, karena di tempat itu, di kala itu, belum ada yang dinamai awan, melainkan jatuh begitu saja, seperti bah yang tercurah dari atap yang bocor.

Banyak yang memilih untuk mengangkat kaki dari tempat itu, tetapi pada akhirnya mereka selalu kembali, beranak-pinak di tempat itu, beranjak tua, dan mati. Seperti ditarik oleh kekuatan misterius yang membuat mereka terus ingin kembali. Atau barangkali evolusi telah membuat mereka menjadi makhluk-makhluk yang mencintai hujan sedemikian rupa, dan perpisahan dengan hujan menjelma sesuatu yang menyakitkan.

Tak terkecuali Petrichor. Pemuda ini berasal dari keluarga sederhana yang menjual payung dan jas hujan beraneka rupa. Mulai dari payung-payung yang melayang sendiri sehingga Engkau tak perlu capek-capek menggenggamnya, sampai jas hujan transparan, yang tak akan menutupi busana super indah yang kau kenakan di baliknya. Usaha ini telah dimulai sejak 7 turunan yang lalu; dan meskipun tak sekaya rinai hujan, mereka bahagia.

Tahun ini, Petrichor berusia genap 20 tahun. Matanya sebiru langit di atas sana dan seteduh payung-payung yang dijualnya. Dan pagi itu, sepasang mata indahnya begitu sarat menyiratkan kesedihan. Berkali-kali sudah ia melongok ke luar jendela, seolah berharap ada sesuatu yang akan berubah. Tetapi langit masih tetap membiru beku, dan hujan masih tetap turun menganyam.

Ia menghela napas. Kekasih hatinya, Geosmin, sedang jatuh sakit. Menurut tabib Tellus, satu-satunya obat hanyalah sesuatu yang disebut Keping Kristal Hujan Terakhir. Tetapi senyawa itu, sepanjang sejarah Negeri Hujan, belum pernah ditemukan. Bahkan beberapa cerdik-cendekia menganggap Keping Kristal Hujan Terakhir hanyalah legenda dan mitos yang dibuat para nenek moyang.

Di negeri itu, rinai hujan memang bisa ditambang, diambil kristal-kristalnya setelah dibekukan, atau sekadar dijadikan jarum-jarum perak. Kristal-kristal hujan beraneka rupa, dan bisa dijadikan apa saja. Berlian, kalung mutiara, lampu hias, atau manik-manik. Harganya tergantung rupa struktur kristalnya: semakin kompleks dan langka, semakin mahal pula nilainya. Sedang jarum-jarum perak hujan bisa digunakan untuk menjahit luka. Kaca-kaca yang pecah. Air yang membeku. Penangkal petir. Tinggal pilih.

Maka Petrichor membekukan semua rinai hujan yang mendarat di genggamannya. Membuatkan kristal-kristal indah dan Tabib Tellus mencobakannya pada Geosmin. Tapi sepasang mata indah tetap tertutup rapat. Petrichor hampir putus asa, ketika akhirnya Tabib Tellus, yang bersimpati pada mereka, memberikan petunjuk, “Pergilah ke tempat hujan berasal. Ke Samudera Tantalus. Aku tak menjamin keberhasilanmu, tapi barangkali itulah harapan satu-satunya. Jawaban mengenai apa sebenarnya Keping Kristal Hujan Terakhir.”

Petrichor gelisah. Ranselnya sudah disiapkan sejak kemarin malam.  Ia sudah memutuskan, apapun yang terjadi ia harus menyembuhkan Geosmin. Maka ia pun berangkat, tanpa menoleh lagi.. 

1 komentar:

Jia Effendie said...

huyaaah, would you mind sending this story to us after you finished this?

Kalau bagus, Atria mau lho nerbitin :)