Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang. Ada pekak masa lalu yang bercampur dengan desing masa depan yang bergerak melalui roda kereta api yang terus berputar cepat. Aku berbalik, mendapatinya mencoba mengulas senyum. Senyum yang canggung tetapi membuat sesuatu di hati meluruh.
Sejenak, aku ingin memeluknya, dan kurasa dia pun begitu. Tetapi akhirnya tanganku hanya mengejang di tempatnya, sekaku air mata beku yang lama sudah mengering di pelupuk. Kuulas sebuah senyum, sambil menganggukkan kepala padanya. Sedang kerumunan kian riuh sesak seperti merampas oksigen, dan aku sungguhan tak tahu, mana yang lebih berat: kedua koper di lengan atau kenangan yang kusandang di bahu.
Ketika adzan mulai terdengar, kuperhatikan lampu-lampu mulai dinyalakan. Di bawah sorot cahaya yang melemah, kulihat wajahnya yang lusuh dan lelah. Kusam dimakan usia, menyisakan artefak yang secarut keriput dan sekelabu uban-uban di kepalanya. Sesuatu itu kembali hilang dari ulu hatiku..
Aku membopongnya duduk di bangku-bangku yang tersedia di peron. Dia masih terus membisikkan masa lalunya ke telingaku; salah satu tangannya menggamit lengan bajuku. Betapa dia pernah punya seorang suami yang mencintainya, seorang anak lelaki yang paling lucu di dunia, dan sebuah rumah mungil yang bermandikan cinta. Lalu, di satu hari yang naas, perang revolusi merampas segalanya. Suaminya ditembak tentara pemberontak ketika berangkat ke ladang. Mayatnya tak pernah ditemukan.
Ia tetap menjanda, sembari bekerja ke sana kemari, menghidupi anak semata wayangnya. Dan di peron yang sama ini, ia pernah mengantarkan anak lelakinya itu pergi merantau, mencecap ilmu. Wanita itu, renta dalam kesendirian, membayar kepergian anaknya dengan doa-doa setiap malam, setampuk rindu yang membuntu, dan secangkir gelisah setiap pagi. Kudengar dari petugas stasiun, wanita itu setiap hari selalu ke peron, menantikan anaknya pulang…
Dan di matanya kulihat diriku. Bertahun-tahun bergulat dengan waktu, semata untuk menapakkan kedua kaki ke bumi fana, sebelum menemukan diri yang lama sudah tersesat di belantara hidup....
“Engkau mirip anakku..,” Ia berkata. Jelas. Tegas. Dan membuat hatiku mencelos. Aku tersenyum padanya, mengusap lengannya.
“Aku rindu padanya. Aku ingin mendengarnya memanggilku Ibu lagi. Seperti malam-malam ketika petir bergemuruh dan dia ketakutan.” Ada senyum yang tulus dari bibirnya. “Aku memimpikannya semalam. Ia berkata akan pulang. Sudahkah kamu melihatnya hari ini?”
Aksara dan kata kembali melayang dari mulutku. Kelu. Bisu. Berganti panggilan terakhir yang menggema di seluruh stasiun. Kereta api ke Jakarta akan berangkat.
“Mari, Bu…,” Aku menggamit lengannya. “Kita pergi.”
“Tapi aku ingin tetap di sini, menunggu anakku…” Ia menatap dengan matanya yang polos membulat....
Aku terdiam.
Ada sesak yang menyeruak, seolah menimpali pikuk yang memekik, dan aroma perpisahan yang menggantung di udara.
Menghempas seluruh dayaku hingga retak. Pecah. Berkeping-keping. Berserakan..
Bu, ini aku. Anakmu……
12 Detik Prasangka
5 years ago
5 komentar:
back soundnya harus lagu2 india ala kuch kuch hota hei gitu Ed, biar tambah haru biru...
*tumpas se'a'eeeeee.. yumuskera'eeee...
baiklah. Habis itu JaeHo ya. :))
yah ediboi... kamu merusak mood yang melow ahhh... padahal ini kan postingan yg mengharukan =)
jadi pengen pulang...
Hahaha.. Ini kan dalam rangka lebaran juga, Feb.. xD
Huhuhuu mammaaa
(T_T)
Thx ya, tulisannya keren n mengharukan hikz hikz
*nyanyi lagu Mari Pulang*
Post a Comment