"Aku ini siapamu?"
Aku menoleh, dan mendapatinya tengah menatapku. Ada rasa heran yang menyumpal di mulutku. Membuat aksara serasa melayang, dan kata-kata tak jua terucapkan. Dan ia masih menanti jawabanku.
Sebentar. Ijinkan aku berpikir.
Dia adalah rindu yang kukulum terlalu lama, hingga menyisakan rasa nyeri. Seperti permen karet yang mula-mula manis, lalu akhirnya berganti menjadi tawar. Sedikit pahit, malah. Kalau begitu, dia itu rindu, atau nyeri?
Dia adalah melankoli sentimentil, yang membuat malam yang merayap terasa nelangsa, semata karena rasa sepi terasa begitu menggerogoti. Dan fajar yang menyingsing mengundang senyum, terutama ketika aku memikirkan dirinya yang pasti sedang memikirkan diriku. Mungkinkah dua hati berpagut dalam alam relativitas yang tak menjejak nyata? Kembali, kalau begitu, dia itu rasa nelangsa, atau rasa bahagia?
Dia adalah rangkaian kata-kata yang tak teraksarakan. Tetapi sanggup membuat jemariku menari di atas keyboard komputer, atau menggerakan pena di atas coretan kertas. Untuk kemudian memaksaku menekan tuts backspace lama-lama dan menggumpalkan kertas itu ke dalam tong sampah. Kalau begini, dia itu inspirasi, atau masalah?
Aku tersenyum. Lalu merangkulkan lenganku ke bahunya.
Dia satu-satunya bagiku? Tidak juga. Karena dia menghadirkan begitu banyak paradoks.
Atau segalanya, bagiku? Tidak juga. Aku ingin dia hidup, walaupun tanpa diriku. Dan aku bisa hidup, walaupun tanpa dirinya.
"Kenapa kau begitu menginginkan label?" Aku mendengar diriku sendiri bersuara.
Dan persis yang kuduga, ia mendelik. Aku tersenyum lagi. Kali ini dengan harapan, semoga dia mengerti. ;-)
1 komentar:
met malam saya mampir setelah taraweh.
rangkaian kata-katanya bagus banget mas
Post a Comment