Barangkali dengan mengganti deodoran yang kugunakan, pasta gigi yang kupakai, dan sabun mandi cair yang kubusakan ke tubuhku, aku bisa melupakanmu. Maksudku, benar-benar melupakanmu. Mencampakkan sampah-sampah ke tempat pembuangan yang semestinya, dan bukannya menumpuknya di sudut laci ingatanku, lalu membiarkannya membusuk di sana.
Sungguh, kukatakan padamu, aku ingin berhenti menatap langit yang biru, laut yang gagah, atau awan yang seperti kapas. Aku ingin berhenti mendengarkan irama Mozart atau Beethoven. Ingin berhenti menyiapkan secangkir kopi pekat di pagi hari yang akhirnya harus kubuang. Sama inginnya aku berhenti mengingat bagaimana kau menyukai langit, laut, dan awan. Atau bagaimana kita berdebat mengenai lagu apa yang akan diputar di tape mobil. Atau secangkir kopi yang kau seruput setiap pagi untuk berdamai dengan rasa kantuk dan aku yang menceramahimu tentang kafein.. Dan aku benci diriku yang kini sadar, bagaimana aku yang dengan tanpa sadarnya berketetapan menemanimu, memelukmu, dan bersama mengais-ngais keindahan langit, laut, dan awan. Atau diriku yang berjanji akan membiarkanmu memegang kendali pada remote tape, dan diriku yang akan berhenti menceramahimu tentang kafein yang bodoh itu.
Aku pasti sungguhan dungu. Gila. Kacau. Dan aku hanya bisa tertawa sambil mengangkat kaleng birku, menggeleng-geleng kepala dan mengacungkan jari tengah kepada langit yang keparat, karena mendadak terlihat begitu memukau. Aku ingin menjadi lebih tak peduli. Tetapi biarpun begitu banyak orang yang telah lalu lalang dalam hidupku, dari ranjangku, setelah kamu, tetap saja aku tak bisa menepis aromamu, manis bibirmu, dan bola matamu yang teduh.
Barangkali aku betulan harus angkat kaki dari rumah ini.
2 komentar:
kisah nyata kah ini?
yah kagalah, yo.. haha
Post a Comment