Cinta, kusebut ia hujan. Bukan gerimis yang merintiki malu-malu. Bukan pula badai yang mengamuk bertalu-talu. Tetapi hujan, yang mendesau, mendesir, dan mendebar setiap mendung menjadi kelabu pekat. Yang membuat halilintar meronta dan mengerang, karena sakit yang tak tertahankan. Di sini, di dada. Di mana-mana.... Hujan, yang membuat air mataku serasa meleleh, tak tergenggam...
Cinta. Kuyup. Basah. Dan aku menadah...Menghitung. Nyatanya, aku tak sanggup mereda dalam kenangan akan engkau. Seperti hujan, tercurahkan bersama jenuh yang menggantung di awan.. Begitu saja. Dan di mana pawang?
19 november 2009, 03:18 PM
pungguk yang terjaga
rembulan mengutuh
penuh
dan jauh
di manakah rindu kita
telah menjelma?
terjal
jejal
aku pendaki Sisifus, jatuh linang
menggenal
pada rindu yang
ajal
.
.
.
Ini bibirku, maukah kau melekungkan senyumnya?
Ini ciumanku, maukah kau melumat getirnya sekalian?
Ini lirih tawaku, maukah kau merenyahkan suaranya?
Ini nafasku, maukah kau meniupkan hela udara ke dalamnya?
Ini dadaku, maukah kau tinggal menyempitkan lapangnya?
Ini degup jantungku, maukah kau, membebatnya dengan kecup?
Ini degup yang sebat, kepergianmu membuatnya melambat?
Ini lukaku, maukah kau menggenggam erat pedihnya?
Ini rinduku, maukah kau, menjawab dengan candu?
Ini fanaku, maukah kau, mengekalkannya ke dalam cahaya?
buanglah sauhmu
padaku
sebab senja
enggan menunggu
*
di dermaga
jejakmu tak teraga
hanya jelaga
meniti dahaga
sebab senja tak pernah sampai tiga
sebelum gelap menganga
*
sebab aku hanya kabut
dihajar waktu hingga keriput
sebab aku hanya kabut
menunggu angin membawaku ke larut
saat itu
di manakah kamu?
*
sebab aku takluk
di sebelah hatimu aku mengetuk
sebab aku tekuk
menakuk hari hingga lubuk
adakah engkau
tak tergapai seperti pucuk?
Maukah kamu, menjadi bongkah-bongkah gula yang meleleh dalam bara yang mengurai? Entah pada kopiku, atau teh, mengisi cangkir tempatku menyeruput rasa.
Maukah kamu, mengurai irama yang berima sebagai tuts piano? Lantas kita nyanyikan serenada tentang hidup, dan chorus-nya adalah sesuatu bahagia yang melonjak-lonjak lincah.
Maukah kamu, menjelma udara tempatku menghela sebuah takdir yang sesungguhnya teramat sederhana: bahwa aku tak akan pernah bisa tanpamu?
Maukah kamu, menjeda bersama tanda baca di alinea tentang kita? Entah itu seru yang teguh! Koma yang menggelitik, titik yang membintik. Atau bahkan tanya ragu? Aku, menunggumu seperti ke-26 aksara menanti untuk menjejak nyata.
Maukah kamu, menggelung mesra seperti setangkup selimut hangat? Lantas kupeluk erat dirimu saat cuaca dingin atau sepi menderit. Lelapku, adalah di dalam dekapmu.
Maukah kamu, bersama mengabadi di dalam album foto? Membingkai seluruh kenangan ke dalam senyum, lalu kita kecoh waktu. Maka malaikat maut hanya bisa mendengus cemburu: ada yang tak terpisahkan oleh ajal.
Lantas, maukah kamu, bila kuberikan padamu perca-perca rindu? Biar kita menambal waktu dengan perban yang tak akan usang dan lekang..
inspired by Peluk, Dee feat Aqi Alexa.Not as good as Dee's original piece, Peluk (Rectoverso), but enjoy. Bahasa Indonesia. Leave some feedback. ;-)
|Menahun, ku tunggu kata-kata, yang merangkum semuaDan kini ku harap ku dimengerti, walau sekali saja pelukku |
|Tiada yang tersembunyi, tak perlu mengingkariRasa sakitmu, rasa sakitku |
|Tiada lagi alasan, inilah kejujuranPedih adanya, namun ini jawabnya |
|Sadari diriku pun kan sendiri, di dini hari yang sepiTetapi apalah arti bersama, berdua
Namun semu semata|
|Tiada yang terobati di dalam peluk iniTapi rasakan semua, sebelum kau kulepas selamanya
Tak juga kupaksakan setitik pengertian, bahwa ini adanya
Cinta yang tak lagi sama|
Lepaskanku segenap jiwamu, tanpa harus ku berdustaKarena kaulah satu yang kusayang, dan tak layak kau dideraDan kini ku berharap ku dimengerti, walau sekali saja pelukku
aku menunggumu kembali, untuk sekadar menuntas perasaan yang mati lali. menampali dengan rindu yang memerca. dan di sana, kita bertukar kenangan seperti hujan dan matahari yang berbagi pelangi.
aku menunggumu, berlabuh seperti mimpi yang usai di pangkal pagi, yang telah lama kita ketahui. seperti janji matahari yang menyepakat, yang lalu jatuh ke bola matamu, yang mesra berbisik sesuatu rahasia.
aku menunggumu, seniscaya satu tambah satu sama dengan dua. lalu di ruah waktu yang tumpah seperti pasir tak tergenggam, kita bersua. mungkin merayakan pertemuan yang tak lagi dibayangi perpisahan.
aku menunggumu, seperti mendung bersiap menggerimis. seperti bumi yang merindu cerap basah yang kuyup. seperti laut yang menanti rinainya kembali bermuara.
aku menunggumu, sebagaimana suara yang meluncur dari bibirmu, menantikan gemanya berpulang. menimpali kata dengan ekor bunyi, seperti kerdam yang menggaung meredam rindudendam.
aku menunggumu, seperti merah menjanjikan senja sebuah lembayung. seperti pagi yang tak jera menghalau malam: pasti, selalu, dan barangkali, selamanya.
aku, memang menunggumu.
Untuk sebuah Mengapa yang tak pernah butuh Karena. Untuk seluruh yang mengutuh di dalam genggaman tanganmu.
Kuingin menguning, lantas mekar menyadur cinta yang sebagai menghelai tersembunyi di tiap kelopak krisan. Menghias pelataranmu penuh seluruh. Datanglah, dengan rindu yang kupu.
Kuingin memerah, selayak gincu yang memoles ranum bibirmu, melekat selamanya sebagai nama yang senantiasa kau eja: entah itu lirih malu-malu atau lantang bertalu-talu.
Kuingin menjingga, maka kuaskan aku untuk menatah makna langit senjamu: fana memburat di kanvasmu, namun tetap abadi dalam niscaya.
Kuingin mengabu, menawar kelam hitam dan tatih putih, seperti kopi yang bertemu susu saban pagi. Lantas kau reguk, teguk, hingga aku pun takluk.
Kuingin menghijau, seperti segar daun teh yang memucuk untuk kau petik, kau jentik. Menunggumu membubuh bongkah gula, hingga manis takdirku..
Kuingin memutih, seperti helai kertas yang mencarik, menunggu kau tulis. Kau bingkai ke dalam uban yang saksi. Menjelma kelak yang penuh gelak.
Dan kuingin merona, seperti gelepar ikan yang dikembalikan ke laut, yang lalu hidup penuh sahaja. Engkau, lautku..
menjadi almanak
tempatmu menghitung hari.
Aku hanya ingin,
memfosilkan bahagia
ke dalam binar di matamu.
Ketika dibagi kita berDUA,
selalu menyisa satu:
entah itu rindu, bahagia, kenangan,
atau bahkan rasa sakit..
Barangkali itu kamu, secabik masa lalu yang menjelma ketika kopiku kelebihan susu. Lalu kamu tertawa samar, mengejek Latte yang tak jadi. Tidakkah kamu seperti itu: gurih kenangan yang menyaru susu, lalu menyisa pahit yang serupa kopi?
Barangkali itu kamu, ketika aku sontak menoleh ke kursimu yang kosong, dengan cangkir kopi Winnie the Pooh milikmu yang sama melompongnya. Seperti seraut bayangan yang tiada, tetapi entah mengapa selalu terlihat berkelebat di sudut mataku. Membuatku ingin menoleh, lagi dan lagi, untuk kemudian mendapati sekerat masa lalu dan wajah-wajah familiar yang seperti memantul dari rumah kaca.
Barangkali itu kamu, sebaris nama yang lantas kueja, tanpa perlu kutahu artinya. Kugantungkan setanda tanya di ujung suara, meragu pada sedekap harap yang kupeluk, tanpa kupaham kapan ia akan kembali meranum matang.
Barangkali itu kamu, pintu yang tak pernah bisa kubuka kembali, ketika aku merogoh saku untuk mencari kunci pintu apartemenku. Dan ketika kudengar suara ketukan di depan pintu, ah, betapa aku berharap itu adalah kamu.
Barangkali, itu kamu. Wajah-wajah yang menatapku kala aku menapak di trotoar untuk berangkat kerja. Refleksimu yang menjelma rindu yang membuntu bisu. Kamu tahu, detik ini juga aku ingin menggenggam tanganmu seperti yang biasa kulakukan saat kita berjalan beriringan menuju kantor. Tapi yang ada hanya kesunyian yang teramat panjang.
Dan barangkali itu kamu, déjà vu yang menjeratku untuk terus lupa: bahwa kamu hanya masa silam. Dan.. barangkali itu juga aku, yang memilih lupa dan tersesat di labirin masa. Terasing dan terpasung seperti pasien sakit jiwa di dalam straitjacket..
Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang. Ada pekak masa lalu yang bercampur dengan desing masa depan yang bergerak melalui roda kereta api yang terus berputar cepat. Aku berbalik, mendapatinya mencoba mengulas senyum. Senyum yang canggung tetapi membuat sesuatu di hati meluruh.
Sejenak, aku ingin memeluknya, dan kurasa dia pun begitu. Tetapi akhirnya tanganku hanya mengejang di tempatnya, sekaku air mata beku yang lama sudah mengering di pelupuk. Kuulas sebuah senyum, sambil menganggukkan kepala padanya. Sedang kerumunan kian riuh sesak seperti merampas oksigen, dan aku sungguhan tak tahu, mana yang lebih berat: kedua koper di lengan atau kenangan yang kusandang di bahu.
Ketika adzan mulai terdengar, kuperhatikan lampu-lampu mulai dinyalakan. Di bawah sorot cahaya yang melemah, kulihat wajahnya yang lusuh dan lelah. Kusam dimakan usia, menyisakan artefak yang secarut keriput dan sekelabu uban-uban di kepalanya. Sesuatu itu kembali hilang dari ulu hatiku..
Aku membopongnya duduk di bangku-bangku yang tersedia di peron. Dia masih terus membisikkan masa lalunya ke telingaku; salah satu tangannya menggamit lengan bajuku. Betapa dia pernah punya seorang suami yang mencintainya, seorang anak lelaki yang paling lucu di dunia, dan sebuah rumah mungil yang bermandikan cinta. Lalu, di satu hari yang naas, perang revolusi merampas segalanya. Suaminya ditembak tentara pemberontak ketika berangkat ke ladang. Mayatnya tak pernah ditemukan.
Ia tetap menjanda, sembari bekerja ke sana kemari, menghidupi anak semata wayangnya. Dan di peron yang sama ini, ia pernah mengantarkan anak lelakinya itu pergi merantau, mencecap ilmu. Wanita itu, renta dalam kesendirian, membayar kepergian anaknya dengan doa-doa setiap malam, setampuk rindu yang membuntu, dan secangkir gelisah setiap pagi. Kudengar dari petugas stasiun, wanita itu setiap hari selalu ke peron, menantikan anaknya pulang…
Dan di matanya kulihat diriku. Bertahun-tahun bergulat dengan waktu, semata untuk menapakkan kedua kaki ke bumi fana, sebelum menemukan diri yang lama sudah tersesat di belantara hidup....
“Engkau mirip anakku..,” Ia berkata. Jelas. Tegas. Dan membuat hatiku mencelos. Aku tersenyum padanya, mengusap lengannya.
“Aku rindu padanya. Aku ingin mendengarnya memanggilku Ibu lagi. Seperti malam-malam ketika petir bergemuruh dan dia ketakutan.” Ada senyum yang tulus dari bibirnya. “Aku memimpikannya semalam. Ia berkata akan pulang. Sudahkah kamu melihatnya hari ini?”
Aksara dan kata kembali melayang dari mulutku. Kelu. Bisu. Berganti panggilan terakhir yang menggema di seluruh stasiun. Kereta api ke Jakarta akan berangkat.
“Mari, Bu…,” Aku menggamit lengannya. “Kita pergi.”
“Tapi aku ingin tetap di sini, menunggu anakku…” Ia menatap dengan matanya yang polos membulat....
Aku terdiam.
Ada sesak yang menyeruak, seolah menimpali pikuk yang memekik, dan aroma perpisahan yang menggantung di udara.
Menghempas seluruh dayaku hingga retak. Pecah. Berkeping-keping. Berserakan..
Bu, ini aku. Anakmu……
Why didn't you burn me to ashes? Then scattered me all over the sky, the sea, and the wind? Then I'd be over you. Somewhere somehow.
Why didn't you melt me to water? Then I'd be the wave, the rain, the dew..anything but loving you.
Why didn't you cut me open? Then you'd see the flesh, the wound, and perhaps the truth. That since the beginning, it had been you.
Why didn't you drown me drunk? Perhaps then we'd forget a little while about me and this obnoxiously absurd us?
Why didn't you take the lights away? Then the dark would let me see the true me: a blind pathetic who didn't learn his lesson well.
Just, why?
Negeri Hujan: Petrichor dan Geosmin (part 2)
ceracau Esdoubleu di 11:42 AM Label: Unfinished ProjectPetrichor terperangah menatap sosok itu. “Salam, penguasa lautan. Namaku Petrichor. Aku mencari Keping Kristal Hujan Terakhir.”
Negeri Hujan: Petrichor dan Geosmin (part 1)
ceracau Esdoubleu di 11:38 AM Label: Unfinished Projectsepasang hati di depan perapian,
membebat rindu dan mengerat rasa,
tanpa bertukar kata.
and then aimlessly wandering the city,
would we meet somehow?
Tak tergenggam, tak teraba, tak tertuju.
Tak bertepi, tak berima, tak berkesudahan.
Sedang kata-kata kehilangan perbendaharaan yang diartikan sebagai 'kita': kau dan aku. Sedang aku masih berlomba menatah satu-satu apa yang disebutnya sebagai setia, sebelum pagi menjelang dan menghentikan segala mimpi.
rindu itu, rinai hujan yang tak menemukan muaranya.
Dan dahaga bersisa jelaga, bertumpuk-tumpuk mengisi gelas-gelas kosong di pelataran rumah. Kureguk ia bersama harap dan do'a yang kulafal berkali-kali. Menjelma baris-baris anonim, sedang titik koma dan spasi entah berada di mana.
rinduitu,senduyangkucanduhinggabaranyahabisdansakaumenjadikansegalanyatakmasukakal,
sepertikalimatyangkehilanganspasi.
#Hujan adalah Sisyphus yang pecah menghantam bumi. Rapuh dan tak berdaya meniti rindu yang ingin ia sematkan untuk langit.
#Patahkan rindumu dan tikam aku dengannya. Barangkali darahku bisa kau pakai membasuh lubang di hatimu.
#Jejakmu merekah di daun yang basah. Menjala kenangan tentang irama yang tak berima.
#Langit dianyam hujan. Atapnya yang bolong mencurahkan bah. Barangkali itu yang hilang dari ceruk matamu.
#Jadikan aku artefak rindu dalam labirin langit. Melarung lara bersama mendung dan merinai cinta bersama hujan.
#Sihir aku menjadi hujan yang berwarna. Maka aku tak perlu matahari untuk mengabarkan indah pelangi kepadanya.
sebongkah rindu
terlalu sarat untuk kau kerat?
*pertama kali di-poskan sebagai komentar untuk si pelukissunyi
I wrote the letters for you. I kept the words for me.
I composed the poems for you.
I burnt all the sentences for me.
Eventually, nothing was left behind but the memories.
Gadis kecil itu masih mengutuk matahari yang terlalu cepat mengkhianati, sedang ia tak pernah ingin bangun dari mimpi. tentang langit yang terlalu luas dan awan yang ia harapkan menaungi. Gadis kecil itu ingin sekali menangis, karena tau awannya tak akan pernah kembali dan ia hanya akan terus sendiri.
Karena itulah aku memanggilnya Chawpi Tuta. Bukan seperti yang diberikan Paulo kepada Gio, ketika lelaki itu duduk diam memandangi kabut malam menciumi wajah sungai (**). Tetapi semata karena kabut di tengah malam, merepresentasikan hal-hal yang begitu dicintainya.
Kadang, ia bertanya-tanya, apakah awan yang mengembara jauh itu, telah kembali untuknya sebagai kabut? Meski hanya dalam mimpi, karena setelah lewat jam 12 malam pun, cinderella harus mengepak sepatu kacanya untuk kembali ke alam nyata...
(*)kolaborasi dengan YD
(**)quoted from Supernova: Akar, Dee
merangkum aksara ke dalam selaksa.
melebur di dalam waktu,
hingga detik berhenti engkau hitung.
di ujung jemarimu, ada ngilu yang kucandu.
dan di puncak nafsu, kujual segalaku,
untuk menghentikan waktu.
Lalu gelap menjelma abadi.
sebanyak itulah aku telah menggiring malam untukmu menuai sebuah awal.