Paid with forever waiting, I'll be drowned in loneliness
to come true.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Keabadian adalah awal yang tak berakhir...
Kadang, kata-kata saja tak cukup.
Kedai itu selalu ramai setiap istirahat siang. Meskipun di sebelahnya ada satu café kopi hasil franchise dari sebuah outlet internasional, orang-orang yang berdatangan hampir selalu memesan kopi. Mulai dari kopi pahit yang sederhana sampai cappuccino atau espresso yang berbuih-buih di permukaannya.
Lalat. Ya, l-a-l-a-t. Kini engkau tahu,
Lalat itu – mati. Mungkin karena kopinya masih panas sekali. Dan aku pun kehilangan seleraku, dan kopiku.
Aku tercengang. Oke, lat, kali ini kau menang. Aku pun bangkit, hendak pulang ke kantor. Dan saat itu, mataku langsung tertuju pada seorang pelayan yang membawa nampan berisi secangkir kopi lain. Matanya sedang mencari-cari nomor meja pemesannya, tapi aku sudah melihat lebih dari cukup.
Dalam perjalanan pulang, aku membayangkan kembali lalat itu. Mendadak timbul secuil perasaan iba.
Hai, lagi apa?
Kubuka kembali draft di menu messaging ponsel. Dan kulihat kembali semua SMS yang urung kukirimkan.
has only one meaning
has only one dream to go
Message not sent
21-Jan-06
Message not sent
12-Feb-06
compared to love sincerely?
Message not sent
14-Feb-06
How are you now?
Message not sent
28-Mar-06
Kuhela napas panjang. Semua kangen ini hanya bermuara pada satu orang..
Aku ingin bertemu.
Message sent
[act 3]
Senja sudah melingsir ketika aku berjalan menapaki trotoar untuk pulang.
Semilir angin yang berembus menerbangkan beberapa helai daun, membuat mataku spontan mengikuti arah jatuhnya daun-daun itu. Aku selalu menyukai pemandangan ini.
Lalu mataku menangkap bayangannya.
Ia sedang berjalan ke arahku, dengan tatapan menerawang ke arah jalanan.
Aku terdiam. Semestaku hilang begitu saja ketika dia berhenti beberapa puluh senti di hadapanku. Untuk sesaat, kami hanya saling berpandangan.
‘Gimana kabar?’
Aku terperanjat. Setelah keheningan selama hampir 30 menit, tak kukira dia akan mulai bersuara.
‘Baik,’ kutatap wajahnya. Dan semua kenangan yang ingin kukunci rapat-rapat di hipokampusku segera meluber dan berhamburan keluar.
Segera kusedot es teh di hadapanku.
‘Apa kabarmu sekarang?’ Aku mencoba menetralisir seluruh kecamuk yang berprahara di benakku.
‘Aku baik. Sekarang sudah pindah kost.’
‘Kenapa?’
Dia tersenyum. ‘Tidak ada alasan khusus. Paling karena aku ngedapetin kos lain yang lebih murah.’
'Rumahnya gimana? Lebih nyaman?’
Dia mengangguk.
Kutatap punggungnya berlalu dari café. Sekali lagi, ia berlalu dari hidupku. Kupenjamkan mata.
Aku masih amat mencintainya. Tapi kata-kata itu kini hanya tinggal artefak usang, yang hanya menjadi penanda bahwa dia pernah hadir dalam hidupku. Tak pernah kukira bertemu kembali dengannya akan menyulitkan seperti ini.
Aku berbalik, menghadapi jalanku sendiri.
Kulangkahkan kakiku yang terasa berat. Sementara hatiku yang lemah sudah porak-poranda.
Aku harus terus…jangan menoleh lagi… itu hanya masa lalu..
Kupenjamkan mataku lagi. Betapa inginnya aku lari dari kenyataan ini.
Tapi…
Kugigit bibirku. Aku tak ingin mengingkari seluruh rasa ini. Aku menoleh.
Dan jalanan yang ramai itu terasa lengang. Aku tak menemukan bayangannya.
***
End of summer’06.
Help me, to be awaken from this long sweet but fake dream
…If you’re not for me, why we had to meet? …
Kugeser sliding door.
Pemandangan malam dengan dinginnya segera menyapa seluruh reseptor rasa di tubuhku. Kudekap kedua lenganku.
Sudah berapa lama?
Balkon ini telah menjadi asosial sejak hari itu.
Aku pun menengadah, mencari kerlip bintang. Kulihat bintang seperti tengah berlomba memenuhi angkasa gelap.
*
“Jangan diam.”
Dia menatapku heran.
“Ketika kamu diam, kamu terlihat menerawang jauh… Dan aku takut, karena aku tak pernah bisa menebak apa yang sedang kau pikirkan. Aku takut tak bisa menyeretmu pulang ke alam nyata, alam di mana aku eksis secara nyata..”
Dia tersenyum. Lalu memelukku, seperti yang sudah-sudah.
*
Aku tak bisa memungkiri, dan tak ingin mungkir, betapa aku kangen padanya. Pada tawanya. Pada matanya yang begitu penuh kehangatan. Pada hari-hari ketika ada dirinya.
Semuanya….
Tapi masa lalu sampai kapanpun hanya akan menjadi masa lalu. Tidak ada apapun yang bisa menghadirkannya kembali.
*
“
“Katakanlah…”
Dia menatapku dengan tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Ketika sekian menit berlalu, dan dia masih membisu, aku mulai khawatir. Sesuatu yang buruk sedang terjadi.
“
“Mungkin sebaiknya kita berpisah saja…”
Berpisah? Kata-kata itu seperti air bah yang tiba-tiba menyeretku dari dataran kebahagiaan, dan menenggelamkanku dalam lautan penderitaan. Dadaku serasa sesak. Untuk sekian detik, aku tak mampu berkata-kata.
*
Aku tersenyum pahit. Tak seharusnya aku terus menghayati semua kenangan ini. Ketika perpisahan tiba, awal yang baru akan kembali bermula. Ketika perpisahan tiba, aku harus merelakan. Aku harus hidup dengan baik, seperti saat-saat sebelumnya.
Mungkin benar, tiada alasan bagi dua orang yang saling mencintai untuk berpisah, kecuali jika cinta itu tak ada lagi. Tapi, cinta saja tak cukup.
Aku yakin, dia pernah amat mencintaiku. Dan itu saja sudah cukup buatku. Semoga dia bisa menemukan mataharinya lagi. Semoga dia bisa menemukan seseorang yang bisa menemani perjalanan panjangnya. Asalkan dia bahagia….
Pernah ga, jatuh cinta?
Hehe, kayaqnya pertanyaan itu retoris yah? Semua orang pasti pernah jatuh cinta, ga soal cinta yang seperti apa. Wong anak SD aja sekarang udah ada yang pacaran. ^^
Tapi biar gito, cinta tetep ajaib. Pengalaman jatuh dan mencinta itu bisa memberikan begitu banyak hal – cemburu, kangen, bahagia, sedih, dll – walaupun kita udah berkali-kali jatuh cinta. Tetap saja, kita ga pernah bener-bener learn the lesson well. Buktinya, masih aja ada yang nangis meraung-raung sampai ngunci diri di kamar begitu putus atau lagi sakit hati karena bertengkar hebat ama pacarnya. Buktinya, lagu-lagu broken heart yang super duper melankolis senantiasa laris manis di chat lagu-lagu – dan gw termasuk salah satu penggemar lagu-lagu kayaq gito. Buktinya, banyak orang yang kaku mendadak bisa jadi puitis gila begitu jatuh cinta. Well?
Sejak dulu ampe sekarang, gw masih percaya kalo mencintai itu adalah proses. Kita ketemu ama seseorang, dimulai dari kesan pertama semacam ‘eh kayaknya dia lucu deh,’ lalu dilanjutkan dengan perasaan pengen deket terus ama si dia, dan akhirnya nembak.
Sampai ke bagian pengen deket-deketen trus, kayaq perangko ama suratnya, rasanya masih adem ayem saja. Rasana masih tersenyum terus mengkhayal yang macam-macam. Tapi gito sampe ke bagian nembak… rasanya belum apa-apa jantung mau copot duluan. Kalo ga ada si rusuk baik hati, kayaqna organ yang malang itu udah lompat keluar duluan.
Bener ga, sih? Jawab ndiri aja, ya?
Nah, sekarang gw ganti pertanyaan di atas :
Ada ga, seseorang yang kamu cintai sekarang?
Kalo jawaban pertanyaan di atas pasti ‘iya’, jawaban untuk pertanyaan yang ini belum tentu iya.
Gw punya seorang temen cewek, inisialnya L. Jangan bicara soal penampilan, yah, tapi gw yakin kalo dia tuh pada dasarnya baik (kalo kamu ngerti, L, jangan ge-er yah). Gw tau kalo dia tuh diam-diam sedang mencintai seseorang, adik kelasnya, sekaligus temen baiknya. Kenapa gw sebut diam-diam? Soale sampe sekarang dia selalu mengelak kalo ditanya, padahal it’s very obvious! Dan sayangnya lagi, si cowok udah punya pacar. Gara-gara dia diamnya kelamaan kali, ya? Tapi si cowok juga udah secara implisit menyatakan kalo dia cuman menganggap si L ini kakak sih..
Gw tahu rasanya diam-diam mencintai seseorang. Hanya bisa berharap dalam hati, dan memilih bungkam di hadapan si dia. Ini satu bukti kalo nembak orang itu bukan something easy..
Tapi
.
.
Gw tetap merasa kalo nembak seseorang yang kita sayangi tuh harus dilakukan. Itu udah kewajiban. Daripada kalah sebelum perang? Daripada diam ga berbuat apa-apa? Daripada hanya bisa menatap si dia dari kejauhan? Meski tau bakal kalah, gw prefer berperang ampe titik penghabisan. Biar kalahnya memberi kepuasan tersendiri.
Karena gw tahu, mencintai seseorang bukanlah dosa. Bukanlah sesuatu yang memalukan. Cinta bukanlah cinta sebelum dipersembahkan…
Tapi banyak juga yang berkilah, cinta kan ga harus memiliki. Asalkan dia bahagia. Dan segala macam hal sejenis lainnya.
Kata gw, kalo cinta tidak untuk dimiliki, apa gunanya? Buang-buang energi, tau! Justru cinta harus diperjuangkan! Tau dari mana dia bakal lebih bahagia ama orang lain? Tau dari mana orang lain bakal lebih mencintai dia daripada kita? Emang, kita ga berhak memaksa, still at least, we must try! Emang, kamu mau, ketika kamu tua ntar, kamu melihat ke masa lalu kamu, lalu bertanya-tanya hal semacam, ‘apa jadinya kalo waktu itu aku nembak?”??
Dan kata sapa cewek ga berhak nembak duluan? Daripada diam dan si cowok terlalu bodoh buat menyadari ada bidadari di hadapan dia? Daripada diam dan si cowok ga mlihat pabrik gula di hadapan dia lalu nyari-nyari permen di luar? Daripada sakit hati trus nangis tiap liat adegan romance di tipi?
Oke, L. Kalo kamu baca ini, semoga kamu ngerti. Klo dia bilang ‘ga’ ke elo, elo baru deh berhak nangis. Dan saat itu, lo harus melanjutkan hidupmu.
Jika sejak awal memang dirimu tak pernah bermakna bagiku
mengapa aku mesti memikirkanmu?
mengapa di benakku hanya ada kamu?
mengapa senyummu terasa bagaikan air di padang tandus?
mengapa suaramu seperti simfoni alam, mendendangkan harmoni indah?
Jika sejak awal aku tau akan seperti ini...
akankah aku memilih yang seperti ini?
esdoubleu.
now falling....
- jika kamu memang bukan untukku, mengapa harus bertemu?-
Lamat-lamat ritme circadian dalam tubuhku membangunkanku dari mimpi. Kubuka mata. Kuhirup napas panjang.
Sinar matahari yang keemasan menembus celah-celah tirai jendela di samping tempat tidurku. Sudah pagi.
Kulirik bantal di sebelahku. Kosong. Seperti biasa. Sekali lagi, kutarik napas panjang.
Aku bangkit, lalu berjalan menuju ke jendela. Kusibak tirai, membiarkan sinar matahari menyengat mataku. Di ufuk timur sana, matahari baru saja menampakkan diri, menjanjikan aroma kesegaran untuk satu hari yang baru.
Kupeluk kedua lenganku. Meresapi sendiri rasa kagum yang membanjiri benak kecilku, meluap tanpa mampu menemukan tempat bermuara.
Ya, karena engkau tak pernah ada di sini bersamaku…
Selalu saja seperti ini.
*
Kupandangi lekat-lekat dua gelas minuman yang tersaji di depanku. Satunya cappuccino, yang lainnya es lemon.
Tiga jam yang lalu, proposal proyekku diterima. Itu berarti aku juga berhak memperoleh promosi. Untuk itu, rekan-rekanku membuatkan sebuah pesta kecil untukku di kantin kantor.
Tapi acara itu belum selesai ketika aku beranjak pergi. Aku ingin merayakannya bersama seseorang.
Dan di sinilah aku sekarang. Di café yang tiap jamnya kian bertambah sepi.
Aku tertawa pahit. Kutinggalkan kehangatan teman-temanku untuk menyongsong dinginnya rasa sepi.
Kuteguk habis kopi yang telah mendingin itu.
Sementara gelas es lemon itu selalu masih utuh dan penuh berisi.
Selalu saja seperti ini.
*
Kunyalakan lampu kamarku. Pemandangan yang sama membentang di hadapanku. Semuanya terasa kosong dan hambar.
Kuambil sekaleng coke dingin dari dalam kulkas. Perlahan aku berjalan ke arah jendela.
Malam terlihat gemerlapan. Tetapi cahayanya tak akan pernah mencapai kegelapan di hatiku. Gelap itu akan terus teronggok dan terlupakan. Gelap yang selamanya akan tetap menjadi gulita.
Mengapa mesti selalu seperti ini?
*
Mimpi buruk yang menggigit kesadaranku membangunkanku dari tidur.
Aku terengah, mencoba memasukkan sebanyak mungkin oksigen ke dalam paru-paru. Jantungku seolah terus berpacu dengan waktu.
Kuseka peluh dingin yang membasahi keningku, lalu kuraih botol minum di samping ranjang.
Baru jam tiga pagi. Dan seperti biasa, bantal di sampingku masih rapi. Secuil perasaan takut meresap di hatiku, mengurung seluruh keberanianku.
Aku membutuhkanmu….
Kupeluk kedua lututku. Hanya kesunyian yang bergema memenuhi seluruh ruang kosong.
Selalu seperti ini.
*
Dari jendela kacaku, kutatap ia memasuki sedan putihnya dan melaju pergi.
Kuhela napas panjang.
Masih adakah arti semua yang kujalani saat ini? Dia tak pernah ada saat aku bahagia. Tak pernah hadir saat aku sedih. Dan tak pernah berada di sampingku, di saat aku paling membutuhkannya…
Aku lelah hidup dalam bayang-bayang seperti ini. Aku tak ingin hanya menjadi pelarian belaka…
Tapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku tak menginginkan perpisahan. Aku mencintainya, dan aku tak memerlukan dia juga mencintaiku.
Kugigit bibirku, berusaha menahan rasa getir yang menggerogoti perasaan sentimental di dalam hatiku.
Seperti biasa, aku gagal melakukannya.
*
Aku diam menatap kamarku.
Kamar yang pernah terasa demikian besar dan penuh, sekarang menjadi demikian lengang dan kecil.
Kuhela napas panjang. Baru setengah jam yang lalu, kuputuskan untuk mengakhiri semua kegetiran ini.
Rasanya demikian tidak adil. Sesuatu yang kubangun bertahun-tahun kini lenyap hanya dalam hitungan detik.
Dia telah berlalu dari kehidupanku. Seharusnya aku gembira dan bahagia. Tetapi hatiku malah dipenuhi rasa kangen. Kangen pada hari-hari yang pernah kumiliki dengannya…
Kutatap langit melalui jendela kaca. Kudapati lembar terakhir daun kuning pohon maple di halaman rumah gugur tertiup angin.
Kini aku mengerti. Pohon besar itu tidak pernah menolak daun-daunnya. Daun-daunnyalah yang memilih luruh ke bumi.. agar daun-daun yang baru dapat kembali bermula.
Aku harus segera membiasakan diri lagi. Karena semua tak akan pernah sama lagi…*END
Kuteguk kopi di cangkirku yang ketiga. Kali ini sampai habis. Dan tanganku kembali terangkat ke atas. Tak lama, cangkir keempatku pun datang, masih mengepulkan asap.
Kunyalakan pemantikku, untuk membakar tembakau rokok. Batang rokok yang kelima. Kuembuskan asapnya ke udara, yang segera berdifusi dan lenyap.
Aku sedang menunggu seseorang, dan menunggu selalu membuatku senewen. Spontan kulirik jam di dinding.
Sepuluh menit lagi…
Lalu gadis itu melangkah masuk. Pelan-pelan, selangkah demi selangkah. Tapi bagiku, saat itu pula seluruh momenku serasa terhenti. . . . .
. . . aku lupa pada diriku sendiri. Aku lupa tarikan napasku. Lupa kedipan mataku. Lupa debaran jantungku.
Ia akan duduk di tempat yang sama. Dan aku akan mengamatinya memberi seulas senyum yang sama pada bartender. Kemudian bibirnya bergerak, memesan segelas es lemon. Setelahnya, ia pun mulai mengamati tamu-tamu lain.
Sesekali ia tersenyum. Dan aku juga akan tersenyum.
Di kali lain, ia bersedih. Dan aku juga akan bersedih.
Ia seperti menularkan emosinya ke atmosfer café yang kecil ini. Dan hanya aku yang tak punya immunitas. Karenanya, hanya aku yang tertular.
But it’s okay…
Begitulah ritual itu melebur dalam rutinitas harianku. Aku, yang berada di pojok gelap kecilku, mungkin tak pernah memiliki arti apa-apa baginya. Ia tak pernah tahu aku eksis di dunia, mengamatinya, dan bahkan menunggu setiap kehadirannya di café ini.
Tapi sekali lagi, it’s okay. Karena ia tak perlu tahu.
Sejam lebih ia di sana. Lalu ia bangkit, melangkah perlahan keluar dari café itu.
Rambut panjangnya yang tergerai begitu saja melambai-lambai di kornea mataku. Punggungnya berlalu ditelan oleh udara luar.
Kumatikan rokokku. Kuhampiri kursi tempat ia duduk tadi.
Aku mengambil posisi tepat di sampingnya. Memandangi segelas es lemon miliknya, yang seperti biasa, masih penuh dan utuh. Enigma yang tak kupahami hingga sekarang. *end
Aku ingin, mendekapmu dalam belaian waktu
yang berlalu diterpa detikan jam
ngilu di sudut jantungku
aku ingin, mendekapmu dalam lalu usia
menatap binar matamu kala bangun pagi
berdebar dan berdetak pelan
d a n m e s r a
aku ingin, mendekapmu di sisiku
menjadi bagian dari jiwa yang terlengkapi
Menjejak nyata dalam segenap rasa
Aku ingin, mendekapmu
sekali saja....
Biarpun seluruh mimpi serasa tak tergenggam
Namun nyata!
----------------------------------------------------------------------------------
aku tahu aku mencintaimu..
menerabas semak belukar dan belati tajam
menikam hatiku yang rapuh dengan hujamannya
Biar!
Biar air mataku yang membasuh lukaku yang berdarah
meneteskan segenap cerita tentang rasaku padamu
Aku hanya tahu aku mencintaimu
meski itu berarti tersayat beling
terhuyung dalam maya tak tergenggam,
tapi tak'kan pernah tersungkur
karena aku hanya tahu..
....aku mencintaimu..
------------------------------------------------------------------------
Kau dengar?
Jantungku tengah berdegup kencang
Tak perlu adrenalin. Cukup kau saja.
Ia akan berpacu dengan perasaan ini
Menandai lembaran-lembaran kangenku padaku.
24 lembar sehari, putri. Dan 24 lembar saja tak akan pernah cukup.
Kau dengar?
Jantungku tengah berdebar
dan setiap bunyinya adalah engkau, putri..
-----------------------------------------------------------------------------------
Rembulan mengawang dalam gelap
sinarnya lembut, memantul di permukaan daun yang basah
terasa mengkilat, menghantarkan sekepul ingatan
yang lama teronggok di sudut otak kecilku
Sejak malam itu,
aku sudah berhenti mengukur dan menghitung
;detik-detik yang kalap dan berlari dengan terburu-buru
;jarak yang menguak nasib antara
.................................................. ........................................
29.04.06
-------------------------------------------------------------------------------
izinkan aku,
mekar mewangi selamanya
menebar keindahan cintaku padamu
izinkan aku
menjadi kelopak terindah
yang tiada 'kan layu, mengabarkan hangatnya mentari
yang menerpaku..
-------------------------------------------------------------------------------------
Senja melingsir di ufuk barat. Warna lembayungnya memayungi langit, membiaskan rona merah yang menggurat angkasa sore.
Spontan kulirik jam di mobil. Angka-angkanya berkedip menunjukkan pukul 5 sore. Kemacetan di hadapan mengisyaratkan aku akan sampai di rumah sekitar jam 9 malam. Kuhela napas. Risiko jalan-jalan ke Bandung di malam minggu.
Sesekali kupalingkan wajahku ke kiriku. Ia telah tertidur rupanya. Kuulas senyum samar.
Mungkin dia terlalu lelah…
Wajah itu begitu polos. Begitu indah. Kubelai anak-anak rambut yang menjuntai di dahinya.
Kugenggam erat kemudiku. Di dalam hatiku sedang berkecamuk satu episode yang lain.
*
‘Kamu akan pergi?’
Kutatap wanita itu. ‘Iya.’
‘Ke mana?’
‘Perlukah kujawab?’
‘Aku menginginkan jawaban, Re.’
Aku mendengus. ‘Untuk apa?’
‘Untuk diriku.’
Kali ini, aku berpaling. Menghadap wanita itu.
*
Kupelankan mobil begitu mencapai gerbang tol. Aku takut membangunkannya. Aku takut membuyarkan mimpi indah yang membuatnya mengulas senyuman.
Aku sayang kamu… karena itu kau harus percaya, aku tak akan pernah menyakitimu…
Kuhayati kembali kenangan perjumpaanku yang pertama dengannya. Sudah berapa lama sejak pertemuan di toko buku itu? Aku kembali tersenyum.
Betapa kehadirannya telah menyajikan kehangatan dan keceriaan dalam kegersangan hidupku.
Tol Cipularang yang sepi membuatku leluasa melajukan mobilku. Aku ingin melarikan diri dari waktu. Dari kenangan. Dari hipokampusku. Tapi betapa pun kerasnya aku berusaha, satu episode lain itu tetap terngiang di kepalaku.
*
‘Kau tak percaya padaku?’
‘Ini bukan soal percaya atau tidak, Re..’
‘Lalu?’
Ia memalingkan wajah.
‘Tak bisakah kau mengerti?’
‘Apa yang harus kupahami, Re?’ Kali ini ia menentang mataku. Dan kulihat sorot yang dibebani kesedihan yang sarat.
‘Percayalah padaku…Aku mencintaimu.’
‘Dengan semua kenyataan ini, Re?’
*
Sebentar kemudian angkasa merah telah berganti dengan senyapnya biru gelap. Kunyalakan lampu kabut, yang membelah aerosol yang didispersikan oleh udara.
Kupelankan AC mobil sambil meliriknya sejenak. Kedua matanya terpenjam.
Aku menyukai binar-binar di matanya yang bulat. Binar-binar yang menyiratkan perasaan gembiranya. Binar-binar yang membuatku tenggelam di dalamnya.
Tapi aku rela. Sekalipun aku harus lenyap demi dirinya, aku rela…
Aku mencintaimu tidak hanya dengan dua kata itu, Re… katanya suatu ketika. Dan sejak itu pula aku berhenti membanding-bandingkan. Berhenti mencari perbedaan antara dua orang yang menitipkan hatinya padaku.
Untuk apa? Toh aku tak pernah bisa memilih.
*
‘Kenyataan apa?’
‘Masih perlu kau tanyakan, Re? Keabsenanmu! Semua ketidakhadiranmu!’
‘Sudah kukatakan, aku tak bisa menemanimu terus-menerus!’
Ia terhenyak. ‘Bukan cuma sekali-dua kali, Re! Selalu! Kau tak pernah hadir dalam sedihku! Bahagiaku! Semua keseharianku!’
‘Bukankah sudah kukabari? Aku sibuk! Mengertilah!’
Ia kembali terperangah. Lalu menggelengkan kepalanya.
Hening. Kuhela napas.
‘Rasanya sakit, Re.. Semua kesendirian ini… semua kepahitan ini… Dan kau tak pernah ada…’ Ia memalingkan wajahnya lagi. Sebentar kemudian, kulihat bahunya bergetar.
*
Kerlip lampu hias kota menyambut kedatanganku di Jakarta. Malam yang gulita terasa demikian meriah. Kulirik kedipan jam digital di mobil. Sudah jam 9.
Kuhela napas. Aku tahu, betapa tak adilnya aku pada mereka berdua. Betapa egoisnya aku.
Tapi, perasaanku tulus pada keduanya.
Truth hurts… Dan kadang, lebih baik bagi semua orang jika aku tetap diam. Untuk apa mengetahui kebenaran jika itu menyakitkan?
*
Kuhela napas panjang. Aku tahu, kesedihan itu telah bermuara tanpa dapat dicegah.
‘Jangan menangis untukku.’
Hening.
‘Aku harus pergi.’ Kulangkahkan kakiku. Dan tepat di depan pintu, ia memanggilku.
‘Re..’
Aku menoleh.
‘Re, kau mencintaiku?’
Aku diam.
‘Re, aku akan menunggumu…’
*
Aku turun dari mobil untuk membuka pintu pagar rumah Airin. Ia masih tidur, dan aku belum ingin membangunkannya.
Kukeluarkan ponselku untuk menelepon orang rumahnya. Lalu kusadari, ada sebuah SMS masuk.
Mei
07/07/06 20:30
When nite comes
Let the twinkle stars
Send my love for you
***End***
Baru saja ingin kubalas. Tapi aku teringat Airin. Kuhapus SMS itu.
Maafkan aku, Mei …
……..Mirror Image
Mirror mirror hanging on the wall…
Embusan napas perlahan-lahan mengotori kebeningan kaca di dinding.
Sesekali, sepasang mata elang itu terpenjam. Seolah dengan begitu, semua galau akan lenyap.
Satu menit...
Dua menit...
Mata itu terbuka. Menatap pemandangan yang terefleksi di depannya.
Sesosok raga ringkih terfokus samar di fovea. Mengirimkan impuls yang membelah lobus optikus.
Dijulurkan tangannya, mencoba menghapus bayangan uap yang tadi menempel.
Sekarang, bayangan itu kian jelas. Tapi, masih saja itu bukan bayangan yang pernah ia kenal...bayangan yang ingin diingkarinya...
*
Mirror mirror i wish you could lie to me...
Ia mundur beberapa langkah. Sekarang ia dapat melihat keseluruhan tubuhnya yang tak terbungkus.
Samar-samar tonjolan tulang rusuk membayang di dadanya.
Dibelainya wajahnya sendiri.
Dan bayangan itu juga melakukan hal yang sama.
Air muka itu segera berubah. Air muka yang kini dicicipi oleh kemuraman.
Ah, betapa anicca telah menggerogoti tubuhnya.
Tidak, bukan hanya ini…
Ada sesuatu yang lebih banyak berubah.
Sekonyong-konyong, hipokampusnya memvisualisasikan tampilan memori..
Mata yang menatap nanar.. Kata-kata yang menghujam... tawa yang menghakimi...
*
You dont hafta tell me, who’s the biggest fool of all...
Tidak!
Prang!
Serpihan itu melayang di udara. Mengirimkan refleksinya ke mana-mana. Jatuh teronggok. Sekarang, ia tak lagi berguna. Hanya setumpuk beling yang berserakan.
Seandainya…
Semua ini hanya ego.
Ego yang memenjarakan.
Pelan-pelan, basah merangkul tatapannya.
Ia menengadahkan kepalanya. Mencoba menghirup napas banyak-banyak. Mencoba menahan kucuran yang berlinang.
Tapi..
Ia jatuh terduduk. Menahan rasa sakit yang menjalari tubuhnya.
Sakit karena belenggu ego kian lama kian menyempit, mencengkram erat jiwanya dengan luka-luka yang tak terlihat.
Tak terlihat namun nyata...
Tangis itu pecah. Tak bersuara, dalam tumpuan kedua lutut. Dalam bekapan sunyi.
---April’05 – Yang terlihat namun terlupakan..
…..750 detik
[578…577…]
Seperti biasa, lidahku kelu. Aku hanya bisa menatapnya dalam diam. Dalam kekagumanku. Dalam keterpesonaanku.
[590…591…]
Padahal aku ingin sekali merengkuhnya. Membisikkan segenap kata-kata sayang yang ada. Membelai anak-anak rambutnya. Menjadi ucapan selamat paginya yang pertama.
Babe…
Tapi, aku masih hanya diam. Menatapnya hampir tanpa berkedip.
[600…601…602…]
Pantaskah aku? Bolehkah aku?
Bukankah kata orang, mencintai bukanlah dosa? Bukan dosa, selama kita tidak menodainya. Dan itulah aku. Aku datang padanya dengan rasa yang murni. Sayang yang tanpa pamrih. Tidak ada tedeng aling-aling.
Justru itu jugalah masalahnya… Aku tidak punya kekayaan. Tidak punya penampilan yang cukup berarti. Duniaku pun jauh dari gemerlapan bintang-bintang. Walaupun aku bahagia, aku menerima semua hidupku apa adanya, bisakah dia melakukan hal yang sama? Bisakah dia memahaminya? Menerimanya?
Ah.. aku mendesah.
[620…621…622…]
Lalu, bukankah seharusnya aku tak peduli akan semua itu?
Karena hatiku adalah samudera luas.. Tidak ada pedang setajam apapun yang bisa meretakkannya.. pun menggoreskan luka di atasnya…
Dan kubuka mulutku, bersiap mengeluarkan kata-kata yang telah kupendam itu. Seperti biasa, lidahku kembali kelu. Kelu dibanjiri adrenalin yang menderas.
[639…640…641…]
God damn*d! It’s been a while and nothing has happened –
yet!
Aku harus menambahkan kata itu. Yet. Dan semoga aku benar. Memang masih ada yet.
Ayolah.. nothing to lose…
Lalu dia berpaling. Dan melangkahkan kakinya. Seperti biasa, aku tak punya pilihan lain selain tergopoh mengikutinya.
[680…681…682…]
Kuraih lengannya. Dia menoleh dan memandangku.
God, matanya… aku rela tersesat selamanya ke dalamnya…
[689…]
‘Aku..aku…’
[691…]
Kutelan ludah. Rasanya tanganku berkeringat.
[694…]
Bagaimana caranya kujelaskan?
[696…]
Dia berpaling lagi. Kali ini langsung kuraih lengannya.
[699…]
‘I love you… And I don’t think I can live without you…’
Aku terkesima pada diriku sendiri. Kata-kata itu mengalir begitu saja.
[715…]
Lalu
[716…]
semuanya
[717…]
terasa
[718…]
bagaikan
[719…]
s l o w
[720…]
m o t i o n . . . . .
[721…]
Aku memandanginya berlalu.
[724…]
Ternyata aku salah. Meskipun hatiku adalah samudera, dan tidak ada pedang setajam apapun yang mampu meretakkannya, samudera itu tak akan ada artinya kalau tiada matahari. Dia akan membeku dalam kesunyiannya…
[750…]
Aku beranjak. Menerima kekalahanku.
[752…]
*end. 080606.
[buat seseorang yang terlihat dekat, namun sesungguhnya jauh banget dari gw.. Andai kugunakan kesempatan pertama itu untuk mengatakannya padamu… Andai…]
tERJAGA
KAMAR berukuran 2 x 4 m itu tidak kelihatan gelap sekalipun lampu yang menjadi penerangan satu-satunya di
Sosok itu masih duduk terjaga di ranjangnya, yang berada tepat di bawah jendela. Matanya menerawang, seakan sedang mencari-cari dalam kegelapan. Pikirannya sekarang adalah sebentuk kanvas putih yang tidak melompong sekalipun kosong. Dan otaknya adalah Sang Pelukis, yang menggenggam kuas dan cat di tangannya. Tapi tangan itu belum juga bergerak, tidak tahu hendak melukis apa. Atau mungkin…inspirasinya terlalu liar, datang bersamaan seperti air bah yang meluap dan menyeret kreativitas pergi bersamanya, sehingga dia merasa blur?
Teng! Jam di dinding berdentang pelan, sekaligus membawa dia pulang dari kesadaran pasifnya. Medula Spinalisnya serentak memberi refleks untuk melirik jam tua itu. Jarum pendeknya sudah sampai di angka tiga. Berarti sudah hampir 240 menit dia duduk di
Ia menguap lebar. Matanya terasa berair.
Saat itu juga disadarinya, suara-suara televisi ribut dari suatu tempat di sebelah tidak lagi terdengar.
Senyap yang tiba-tiba segera melingkupinya, sebelum dalam jeda sepersekian detik, ia kembali menangkap suara detik jam : Sang kakek tua yang memberi definisi detik, menit, dan jam hanya dengan 3 tongkatnya.
Tik-tak-tik-tak—suaranya bahkan kedengaran lebih teratur daripada detak jantung. Tidak dipengaruhi oleh hormon, akitivitas, dan lain-lain. Hanya bertumpu pada baterai. Tidak seribet jantung manusia yang sekepal tangan tapi merepotkan.
Ah, sudahlah!
Laki-laki itu mencoba mengacuhkan bunyi detik yang membuat senewen.
Dibaringkan tubuhnya. Di belakang kepala, kedua lengannya tersilang menopang. Kembali berusaha untuk terlelap.
Satu menit…. Dua menit… Tapi entah mengapa mata itu masih enggan terlelap. Kalau saja dia tahu bagian otak mana yang mengatur rasa kantuk…meskipun dia sadar, mengetahuinya pun tidak akan membawa perubahan apa-apa. Hanya saja, sejak lama topik mengenai otak dan saraf-saraf sudah menarik perhatiannya, sekalipun dia bukan lulusan spesialis saraf. Baginya, menarik sekali mempelajari harta utama manusia itu. Apalagi ternyata manusia belum mampu memanfaatkan potensi otaknya sampai 100 persen.
Sudah lelah dia menepis anggapan insomnia dari rekan-rekannya. Atau saran-saran berlumer rasa simpatik, untuk menggunakan obat-obatan sedatif. Dia merasa belum memerlukannya. Lagipula, tidak akan ada gunanya. Ini adalah masalah yang lain.., dia yakin itu.
Bukan itu saja. Dia masih harus mendengar komentar-komentar soal iris birunya yang kontradiktif dengan kantung matanya yang hitam. Ya, tanpa berkaca pun, dia tahu bagaimana tak karuannya wajahnya.
Eh, bukannya aku sudah hampir tidak pernah berkaca lagi?
Edward tersenyum sendiri. Senyum yang mungkin akan dilabeli senyum orang gila kalau dilihat d i a .
Baru saja ia hendak menutup matanya, sekali lagi, kala gerimis jatuh satu-satu. Hujan membuat angin yang bertiup memasuki kamarnya terasa basah. Dingin. Dingin yang membuat siapa pun akan merindukan matahari, dan berhenti mengeluhkan tentang siang yang terlalu terik. Dibandingkan dengan musim dingin di Mannheim atau
Hey, by the way, what’s the Indonesian for ‘cold’? … dia mulai mengolah otaknya. Sekali lagi, senyum itu tersungging di bibirnya begitu ia mendapatkan jawabannya.
Tiga bulan sudah ia di sini. Kemampuannya berbahasa
Three months already… Tiga bulan yang terasa seperti sudah selamanya. Bagaimana tidak? Hari ini adalah pengulangan kemarin. Yang berbeda mungkin hanya waktu saja. Kata Einstein, semua ini relatif.
Tapi, peduli apa?
Meski begitu, sebagian nuraninya menyuruhnya untuk tetap tinggal di sini. Nuraninya yang bahkan belum tentu menjejak nyata itu enggan meninggalkan
… tidak ada. Atau tidak tahu? Em..
Padahal kalau bicara logika, sudah 30 hari yang lalu dia angkat kaki. Mungkin ke Papua
Well, adalah tidak mungkin seratus persen mengabaikan opini orang. Karena memang begitu nasib manusia sebagai makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri. Ironis, kalau dikaji lagi pepatah homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Manusia yang satu juga sudah membatasi kebebasan manusia yang lain, secara tidak langsung. Tapi pada kondisi ini, manusia tidak punya pilihan lain selain menerima. Menerima.
Ahhhh…..Edward menggeliat. Dengan bertopang pada satu lengannya, ia bangkit melirik jendela sekilas. Sapuan warna terang menyembul di cakrawala. Sebentar lagi pagi. Dan itu cuma berarti satu hal : K E R J A.
Pagi nanti dia harus mengajar. Lewat jalan satu-satunya yang notabene tidak pernah kelihatan berubah setiap harinya. Sia-sia saja berharap alien akan mencul mendadak. Tambahan lagi, dia harus menghadapi orang-orang asing yang masih juga menatapnya seperti menatap seorang turis bodoh. Atau pedagang kaki
What’s in it?
Alangkah naifnya kalau menyalahkan kondisi sebagai penyebabnya. Kondisi bukan hantu, bukan pula Tuhan. Kondisi tidak berkuasa atas manusia.
Dia sendiri mengakui, uang memang hebat : tanpa uang, kau bisa apa? Edward menghela nafas. Materi sudah seperti darah dan daging dalam kehidupan manusia. Tidak heran kalau manusia mengorbankan fisik, mental, dan waktu untuk mengejarnya. Kehidupan sendiri telah berevolusi dalam tangan-tangan yang tak terlihat, sehingga manusia akhirnya lupa. Lupa kalau seharusnya manusia hanya mencari materi, bukan mengejarnya.
Sekonyong-konyong, Edward merasa konyol sendiri. Memangnya siapa dia, yang berhak menghakimi manusia-manusia? Ia sendiri juga manusia. Dia tersenyum lagi. Dan didapatinya lagi dinding kamarnya yang sunyi.
Rutinitas memang membosankannya. Tidak ada yang terlihat benar-benar baru di sini…atau dia saja yang belum menemukannya? Tapi apa yang harus ia temukan? Di mana semua pengalaman baru itu di saat ia ingin mencicipinya? Semua yang terjadi di sini seperti hanya mengikuti sebuah pola sama yang terlihat teratur, padahal sebenarnya tidak. Ketimpangannya berbaris dengan teratur, terlalu teratur untuk dideteksi, membagi manusia dalam dua jajaran besar : manusia yang ikut arus dan manusia yang tetap apa adanya.
Then what about me?...
Hidupnya sudah berubah demikian drastis kalau direferensikan lagi dengan saat-saat pertama kali dia menginjakkan kaki di
Kunyalakan radio mobil. Sekadar mengusir kemonotonan yang disebabkan kemacetan di hadapanku. Interlude lagu yang mengalun memenuhi ruang kosong di mobilku segera mengetuk pintu hipokampusku. Dan pita memori itu pun berhamburan tanpa permisi lagi...
Wina......
*
'Piet, kenalin. Ini Wina. Wina sedang jomblo, lho..'
Aku tersenyum, sementara gadis di depanku itu tengah mendelik pada Livia.
'Win, ini sepupuku, Pieter. Anaknya baik, lho..'
'Hai,' kuulurkan tanganku.
'Nah, sekarang bukan cuma aku yang bisa happy, kan?'
'Thanx, sis. U're the best. Have a happy wedding ever after, sis.' Kupeluk kakak sepupuku itu.
Dan semuanya bermula sejak malam itu...
*
Din! Din!
Suara klakson membuyarkan dialog-dialog usang di kepalaku. Kulirik spion, lalu lampu lalu lintas di depan. Sudah hijau kembali rupanya. Dengan patuh kujalankan mobilku.
Wina...
Ah, tidak. Aku harus berhenti memikirkan dia...
But how? Every corners in this town reminds me about her...
Kulirik keluar jendela. Rasanya tidak ada tempat yang belum pernah kami datangi. Resto di pojok sana. Butik di seberang jalan. Cafe tenda di sebelah kiri sana. Bakery di sebelah kanan butik. Semuanya.. Rasanya masih bisa kuingat setiap dialog yang pernah terjadi di sana..
'Loe ga cocok make baju itu, Piet. Coba yang ini.'
'Roti itu ga enak. Aku pernah nyoba. Mending yang ini.'
'Eh, ini enak. Cobain, deh.'
'Menurutmu gimana? Aku cocok ga dengan baju ini?'
Pernah kucoba untuk lari dari belenggu pita memori yang kusut ini. Lari dari kota penuh kenangan indah yang rasanya pahit ini. Lari dari semuanya... Tapi kemudian kusadari, semakin jauh aku lari, semakin sering pula aku kangen. Semakin sering pula hipokampusku memutar semua pita memori itu, menayangkannya menjadi film bisu berdebu yang seperti berdurasi seumur hidupku.
Dan aku pun kembali. Menyongsong semua kenangan itu. Mencoba mengurai kembali kekusutan pita memori itu. Agar aku kembali lebur bersamanya...
Kuputar kemudiku ke kanan. Dua blok dari jalan ini, ada sebuah toko perhiasan. Tempatku memesan sebuah liontin untuk ulang tahunnya. Liontin berukiran huruf W.
'Happy continuation day, honey.. Semoga kebersamaan kita terus berlanjut..'
Hanya itu pintaku di hari istimewa itu. Tapi tidak sampai tiga bulan kemudian, semuanya berubah.
Ia menghilang dari hidupku begitu saja. Tanpa jejak. Tanpa kabar. Keluarganya bahkan menutup mulut rapat-rapat, menyisakan misteri yang demikian menyiksa.
Aku kangen padanya. Kangen, tapi tak tahu mesti mencarinya di mana.
Dan hujan kembali menganyam langit, jarum-jarum peraknya turun membasahi bumi.
Aku lelah. Aku ingin pulang...
***
Kembali ke momen sekarang
.
.
.
Aku masih terhenyak di belakang kemudiku. Tak lagi kuhiraukan klakson mobil di belakangku.
Kubuka pintu mobilku. Dan berdiri mematung.
Hujan yang menderas segera menghujam tubuhku.
Tapi aku masih bisa melihat jelas. Masih bisa mengingat dengan jelas. Masih bisa mengenali wajah di depanku, betapapun ketidakkekalan telah menggoreskan perubahan di sana.
Aku tersenyum lembut. Ia menatapku tanpa ekspresi.
Wina...
****END
Adalah sepasang sandal jepit yang tinggal sebelah, kumal, berdebu, dengan sedikit noda bekas lumpur di pinggirannya. Sedikit tidak waras, tetapi berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja, sembari berharap suatu saat nanti, ia akan bertemu dengan sebelah sandal jepitnya yang hilang.
Copyright © 2007 - Hanya Inspirasi Sesaat.. - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web