Betapa inginnya ia menyilet hujan. Memotongnya menjadi apa aja. Lalu membuangnya. Menyingkirkannya.
Spesifiknya, payung berwarna biru, yang ia genggam erat, meski hujan tak mencurahi bumi, atau matahari enggan bersinar terik.
Atau barangkali hanya aku yang berhalusinasi. Barangkali di tangannya memang tiada sesuatu. Atau sesuatu itu bukan payung, melainkan gumpalan perasaan. Sedih, bahagia, kecewa, haru, malu, sepi, takut, berani, gentar, dan sebagainya, bercampur menjadi satu. Berakumulasi, seperti flokulan yang menggenapkan kotoran, lalu terendapkan.
Tapi selalu tak ada ekspresi di wajahnya. Atau barangkali, mimik datar juga ekspresi?
Bahkan ketika matahari terlalu menyilaukan mata, atau klakson terlalu ribut. Semua seperti terserap ke dalam benda kecil di genggamannya. Hilang, lenyap. Tak ada jejaknya di udara.
Hingga hari itu tiba. Hari itu, hujan untuk pertama kalinya menetes.
Mencurah. Menderu. Mendebar.
Seperti detak jantung yang tersirami darah.
Bedanya, darah itu berwarna kelabu. Kelabu yang merekah, merenda, dan merengkuh.
Ia membuka benda itu.
Yang lalu bertransformasi menjadi payung.. aku benar.
Dan dia seperti penari. Penari yang meliukkan tubuhnya tanpa getar dan letar.
Penari yang menarikan hujan, mengalahkan pawang.
Penari yang air matanya barangkali lenyap, bersama hujan, karena ia harus tersenyum di hadapan penontonnya..
Ia berhenti melangkah.
Hujan menudunginya, selayak payung menadah semua gerimis.
Hari itu, aku tahu.
Wanita itu mencintai hujan lebih daripada payungnya.
tetapi bukankah cinta tak pernah mengikat?
Seorang ibu tak akan pernah menghalangi anaknya yang ingin terbang lepas.. atas nama darah?
Seorang sahabat tak akan sanggup meminta temannya untuk tinggal..atas nama hati?
Lantas, bagaimana bisa seorang kekasih mengikat cintanya, bahkan atas nama cincin dan cinta itu sendiri?
Buka matamu. Sekalipun aku ada di hatimu, engkau ada di hatiku, kita tak pernah saling mengikat.
Karena darah, hati, dan cinta, tak butuh ikatan...
bintang-bintang rungau.
Justru aku ingin hujan berhenti..
Justru aku ingin hujan berhenti..
Atau tersesat di dalamnya. Dan memilih tak pernah keluar lagi. Mungkin tepat bila kusebut matamu sebagai Eyes of No Return.
Aku rela ditelanjangi oleh matamu.
Bersetubuh dengan cara yang barangkali tak senonoh. Dan memuncak di dalam orgasme yang senyap. Sunyi, karena tak ada suara. Tak ada erangan, ataupun desahan. Itu yang kusebut intim.
Aku rela terkikis habis di dalam matamu.
Atau melayang-layang di dalamnya. Dan memilih melawan arus gravitasi. Meski itu cuma mimpi di siang bolong. Karena bersamamu, aku rela tertidur... Tak perlu ada putri cantik yang membangunkanku, seperti Snow White dibangunkan oleh pangerannya. Tak perlu.
Apakah perasaan membuncah yang kurasakan setiap mendapati sedang memandangiku, hanya kurasakan sendiri?
Apakah sensasi terbakar di wajahku, yang menciptakan warna merah untuk kemudian kau lihat, hanya terjadi padaku?
Apakah pemikiran bahwa dirimu memang sedang menatapku, hanya khayalan dan imajinasi konyol belaka?
Dan masih ada beribu-ribu APAKAH yang berseliweran di kepalaku. Begitu banyak pertanyaan yang jawabannya hanya sesederhana 'YA' atau 'TIDAK', tetapi mendadak selalu terasa konyol. Selalu tak bisa kuyakinkan diriku sendiri, bahwa jawaban darimu memang 'YA'. Membuatku kian nelangsa, kian senewen, dan kian ingin bertanya.
Meski begitu, Engkau tahu, diriku ini sedang menahan lidahku untuk tidak melontarkan abjad-abjad memalukan itu tatkala dirimu berada di dekatku, menanyakan kabarku, atau sekadar bertegur sapa. Kepiting rebus memang enak. Tetapi kalau wajahmu mendadak merah seperti kepiting rebus? Jangan tanya.
Jangan tanya. Jangan tanya. Jangan tanya.
Diulang tiga kali. Biar mantap.
Karena itu, aku akan hanya menunduk. Bukan karena tersipu. Bukan karena malu, mendadak menjadi ABG kembali.
Tetapi lebih karena aku menyerah pada substansi yang kau sebut sebagai CINTA, melalui binar-binar matamu.
Apakah binar-binar itu juga untukku?
@#$%^&*!!
Aku menghela napas. Panjang.
Untung Oma tidak berada di sini sekarang. Kalau tidak, ia pasti akan menceramahiku. Anak kecil kok menghela napas panjang, seperti ada masalah besar saja. Ya, bagi Oma, anak kecil sepertiku bahkan belum benar-benar tahu, apa yang namanya masalah besar itu.
Kulemparkan pandangan ke luar jendela. Jalanan berdebu. Orang-orang tampak penat. Sebagian lainnya tampak lusuh dan tak bersemangat. Langit sama kusamnya. Abu-abu. Monokrom. Membuatmu segera merogoh tas atau ranselmu untuk mencari benda yang bernama payung.
Sesungguhnya, aku bukan punya masalah besar. Aku hanya punya beban berat, yang serasa menghimpit dadaku. Beban yang kadangkala kupikir hanyalah efek dramatisasi diriku sendiri, berkat sisi melankolis yang demikian kental mengalir dalam darahku.
Aku menghela napas lagi. Melemparkan pandangan ke jendela lagi.
Terasa lebih mudah untuk menghakimi orang lain daripada diri sendiri, bukan?
Entahlah. Aku ingin tidur saja.
Ingin rasanya kupakai head-phone. Ingin rasanya aku membekap gendang telingaku dan memilih tuli. Tetapi sebagian besar diriku malah mengharapkan sebaliknya. Aku, si manusia paradoks, begitulah dirimu pernah berujar. Kini, aku berpagut dalam paradoks tentang dirimu. Tentang rasa yang menghinggapi hatiku, diriku, dan jiwaku, seperti parasit. Dan aku inang yang tak bisa hidup tanpa si parasit.
Aku merasa mendengarmu. Meski gelap malam pekat membungkus retina mata. Meski desau angin mendesir, dan membawa pergi semua mimpi. Meski debur laut memecah dan hilang ditimpa surut. Meski hujan mereda dan melarikan semua debu yang penat. Meski aku tak menginginkannya.............
清楚的是心碎 濛濛的是離別 what’s evident is heart-broken, what’s hazy is farewell..
清楚的是你和我吻別 what’s apparent is you and I kiss goodbye
濛濛的是我還不後悔 what’s vague is me not being regretful
你在我心裡究竟下了什麼藥 What drug are you actually using on my heart?
讓我渴望在你的懷抱裡死掉 that makes me wishing to die in your arms?
傷痕已拋不了 幸福只剩一秒 the scar is unable to be cast away, the happiness is only one-second left
眼睜睜看你在我淚眼中溶掉 looking helplessly at you, being dissolved in my tears
你在我心裡究竟下了什麼藥 What drug are you actually using on my heart?
讓我死心塌地覺得剎那也好 that makes me unswervingly feel that (even) one split-second (with you) is enough
任你是非顛倒 接受你對他好 No matter how you turn the right and wrong upside-down, accepting that you being gentle to her
為什麼你的幸福比我的 重要 why is your happiness more important to my own?
煙濛濛雨也濛濛 我濛濛你也濛濛 the fog is hazy, the rain is also fuzzy, I am blurred, you are also blurred
如果一切可以都不懂 If only everything could be needing no clarity..
Namun, jangan sekali-kali kau bilang kau bersimpati. Atau meminta maaf, dan terlebih-lebih lagi, merasa kasihan padaku. Aku tak butuh itu, meski aku tak baik-baik saja. Hei, aku masih hidup di sini. Berusaha membuang-buang energiku untuk mencoba membencimu. Untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku baik-baik saja, tanpamu.
Tanpamu.
Bahkan mengucapkan kata ini saja, membuatku sesak. Membuat duniaku serasa runtuh. Dan ini membuatku malahan membenci diriku sendiri. Yang dengan gampangnya bertekuk lutut, dan mengangkat kedua tanganku di hadapanmu... hanya untuk membiarkan diriku sendiri terbakar dalam api cemburu. Karena bahkan melihatku saja kau tak mau. Menawanku sebagai pampasan perangmu saja, kau tak sudi. Aku benar-benar se-tak-berharga itu ya?
Aku gila. Aku neurotik. Aku delusional.
Karena memilih mencintaimu, di saat aku seharusnya membencimu.
Di saat seharusnya aku mengucapkan selamat atas kebahagiaanmu.
Di saat seharusnya aku melupakanmu dan melanjutkan hidupku.
(meski) Kau keparat! Aku mencintaimu.
Ia tahu, ini semua tak sehat baginya. Ini semua tak baik baginya. Karena itu, pernah ia mencoba mendefinisikan kembali semua rasa. Merangkai jalinan kusut yang saling berpilin. Yang pada akhirnya, hanya bermuara ke entah apa. Dan ia kembali ke titik nol. Berputar-putar dalam lingkaran utuh yang sempurna. Ia nelangsa. Ia merana. Merana karena memilih mencintai dan tersesat dalam melankoli pahit...
Barangkali aku betulan harus angkat kaki dari rumah ini
ceracau Esdoubleu di 3:59 PM Label: Unfinished ProjectTadi malam,
hujan turun.
Bergemuruh,
berderu.
Mendesau,
mendesir.
Dan aku,
bergelung dalam selimut tua
yang kau beri.
Aku,
kangen
padamu.
Aku masih menghela napas setiap kali membaca baris-baris aksara usang itu.
Aku lelah bertanya-tanya. Lelah mereka-reka. Lelah berspekulasi. Lelah menduga-duga.
Mengapa tak kau datang saja ke hadapanku?
Dan mengatakan padaku, apa yang kau pikirkan, apa yang kau rasakan?